Mohon tunggu...
Raabiul Akbar
Raabiul Akbar Mohon Tunggu... Guru - Guru MAN 1 Kota Parepare

Universitas Al-Azhar Mesir Konsentrasi Ilmu Hadis SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Ilmu Hadis dan Tradisi Kenabian Anggota MUI Kec. Biringkanaya Makassar

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dampak Kolaborasi Politik Anies-PDIP terhadap Demokrasi Indonesia

24 Agustus 2024   10:53 Diperbarui: 24 Agustus 2024   11:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar channel Youtube Warta Kota

Ada kemungkinan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, akan diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024. Nama Anies telah menjadi bahan perbincangan di kalangan internal PDIP, dan bahkan sempat disebutkan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya yang mengumumkan nama-nama calon kepala daerah dari partai tersebut. Meskipun demikian, PDIP tidak akan mengusung Anies secara otomatis. Partai tersebut telah menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh Anies jika ingin mendapatkan dukungan resmi dari PDIP. Syarat-syarat ini mencakup komitmen terhadap ideologi partai, keberpihakan pada masyarakat kecil, serta pemahaman tentang platform partai dan isu-isu politik tata ruang yang menjadi fokus PDIP. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Anies memiliki peluang untuk diusung, keseriusan dan kesesuaian visinya dengan prinsip-prinsip PDIP menjadi faktor krusial dalam proses pencalonan.

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menekankan bahwa ada beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh Anies Baswedan jika ingin mendapatkan dukungan dari partai tersebut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024. Menurut Hasto, komitmen terhadap ideologi PDIP, keberpihakan kepada masyarakat kecil (wong cilik), serta pemahaman yang mendalam tentang politik tata ruang dan kelestarian lingkungan merupakan aspek-aspek penting yang harus diperhatikan. Selain itu, Hasto juga meluruskan pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang menggarisbawahi bahwa dukungan terhadap Anies harus didasarkan pada komitmen kuat terhadap nilai-nilai demokrasi dan moral yang dipegang oleh PDIP. Ini menunjukkan bahwa PDIP mengutamakan kesesuaian calon dengan prinsip-prinsip dasar partai, dan tidak sekadar mendukung calon berdasarkan popularitas atau kebutuhan politik jangka pendek.

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengungkapkan bahwa Anies Baswedan belum pernah memiliki kedekatan dengan PDIP sebelumnya. Pernyataan ini menjadi salah satu pertimbangan penting dalam keputusan partai mengenai dukungan terhadap Anies untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024. Megawati menilai bahwa hubungan historis antara Anies dan PDIP akan mempengaruhi proses penilaian dan keputusan dukungan partai.
Politikus senior PDIP, Masinton Pasaribu, turut menambahkan bahwa PDIP akan mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pengajuan calon kepala daerah. Masinton memastikan bahwa partai akan mendaftarkan Anies ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta pada tanggal yang telah ditentukan, asalkan semua syarat yang ditetapkan terpenuhi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PDIP berkomitmen untuk mengikuti ketentuan konstitusi dan proses administratif yang berlaku sambil memastikan bahwa setiap calon yang diusung memenuhi standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh partai.

Teori Konformitas Sosial (Social Conformity Theory) memberikan wawasan penting dalam memahami dinamika yang dihadapi Anies Baswedan dalam upayanya untuk mendapatkan dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meskipun Anies dikenal sebagai individu yang independen dengan rekam jejak yang kuat, teori ini mengilustrasikan bagaimana individu dapat merasakan tekanan untuk menyesuaikan sikap dan tindakannya agar sesuai dengan norma dan ekspektasi dari kelompok atau entitas besar seperti PDIP.
Dalam konteks politik, tekanan untuk konformitas seringkali muncul ketika seorang calon berusaha meraih dukungan dari partai besar yang memiliki kekuatan signifikan dalam menentukan hasil pemilihan. Anies, untuk mendapatkan dukungan dari PDIP, mungkin akan menghadapi kebutuhan untuk menyesuaikan pandangan, komitmen, dan tindakan yang sejalan dengan ideologi dan platform partai tersebut.
Teori ini menekankan bahwa individu yang ingin diterima dan didukung oleh kelompok besar sering kali harus menyesuaikan diri dengan harapan dan standar kelompok tersebut, meskipun hal ini mungkin bertentangan dengan posisi atau keyakinan pribadi mereka. Dengan demikian, Anies mungkin harus mempertimbangkan untuk menyesuaikan strategi politiknya agar dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh PDIP, sambil tetap berupaya menjaga integritas pribadinya sebagai calon pemimpin.
Lebih lanjut, penerapan Teori Konformitas Sosial oleh Anies Baswedan dapat membawa sejumlah pengaruh positif dalam upayanya untuk mendapatkan dan memanfaatkan dukungan dari PDIP secara efektif. Dengan menyesuaikan diri terhadap norma-norma dan ekspektasi yang ditetapkan oleh partai, Anies dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dan saling percaya dengan struktur kepemimpinan dan basis konstituen PDIP. Hal ini akan mempermudah proses kolaborasi dan koordinasi dalam merumuskan serta mengimplementasikan strategi kampanye yang solid dan terpadu.

Selain itu, konformitas terhadap nilai-nilai dan agenda PDIP dapat meningkatkan persepsi publik mengenai keselarasan visi dan misi antara calon pemimpin dan partai pendukungnya. Ini berpotensi memperluas basis dukungan pemilih, terutama dari kalangan yang loyal terhadap PDIP, sehingga meningkatkan elektabilitas Anies dalam kontestasi Pilkada Jakarta 2024. Penyesuaian ini juga dapat membuka akses yang lebih luas terhadap sumber daya partai, termasuk jaringan politik, logistik kampanye, dan dukungan kader di tingkat akar rumput, yang semuanya merupakan faktor krusial dalam memenangkan pemilihan.

Di sisi lain, dengan menunjukkan kemauan untuk beradaptasi dan bekerja sama sesuai dengan kerangka kerja partai, Anies dapat memperkuat citranya sebagai pemimpin yang inklusif dan mampu menjembatani berbagai kepentingan politik. Ini tidak hanya penting dalam konteks kampanye, tetapi juga dalam perspektif pemerintahan pasca-pemilihan, di mana dukungan legislatif dan institusional dari partai politik besar akan sangat membantu dalam mewujudkan program-program kerja dan kebijakan publik yang efektif. Dengan demikian, penerapan konformitas sosial secara strategis dapat menjadi langkah taktis bagi Anies untuk mencapai tujuan politiknya tanpa harus sepenuhnya mengorbankan identitas dan prinsip-prinsip independensinya.

Lebih jauh, adaptasi terhadap ekspektasi partai dapat memungkinkan terjadinya dialog dan negosiasi yang konstruktif antara Anies dan PDIP, sehingga tercipta sinergi yang menggabungkan kekuatan dan keunggulan masing-masing pihak. Ini dapat menghasilkan platform kebijakan yang lebih komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta memastikan bahwa kepemimpinan yang dihadirkan mampu menghadapi tantangan kompleks yang dihadapi oleh Jakarta. Pada akhirnya, keseimbangan antara konformitas dan integritas personal ini dapat membentuk fondasi kepemimpinan yang kuat dan berkelanjutan, yang mampu membawa perubahan positif dan pembangunan yang berkesinambungan bagi masyarakat Jakarta.

Namun, penerapan Teori Konformitas Sosial oleh Anies Baswedan juga membawa sejumlah potensi pengaruh negatif yang perlu diwaspadai. Salah satu dampak yang paling jelas adalah risiko tergerusnya independensi yang selama ini menjadi ciri khas Anies sebagai seorang pemimpin. Ketika seorang pemimpin yang dikenal independen mulai menyesuaikan diri secara berlebihan terhadap tuntutan dan norma partai, ada kemungkinan bahwa publik akan melihatnya sebagai sosok yang terlalu kompromistis atau bahkan kehilangan arah. Hal ini bisa merusak citra Anies di mata pendukungnya yang menghargai sikap otonom dan pandangannya yang sering berbeda dari arus utama politik.

Lebih lanjut, konformitas yang berlebihan juga dapat mengurangi ruang gerak Anies untuk menerapkan kebijakan yang sejatinya ia yakini benar, namun mungkin tidak sepenuhnya sejalan dengan agenda atau kepentingan PDIP. Dalam situasi seperti ini, Anies mungkin merasa terpaksa mengorbankan beberapa prinsip atau inisiatif yang dianggapnya penting demi menjaga hubungan baik dengan partai. Akibatnya, inovasi atau perubahan yang diusungnya dapat terbatas, dan kebijakannya menjadi lebih reaktif terhadap kepentingan partai daripada proaktif dalam menangani masalah-masalah krusial yang dihadapi Jakarta.

Selain itu, dari sudut pandang pendukung partai lainnya, konformitas yang terlalu kuat terhadap PDIP bisa menimbulkan persepsi bahwa Anies tidak memiliki keunikan atau diferensiasi yang jelas sebagai calon pemimpin. Ini berpotensi membuatnya kehilangan daya tarik di mata pemilih yang mencari alternatif dari status quo atau yang berharap melihat pendekatan yang lebih segar dan berbeda dalam pemerintahan. Dalam skenario terburuk, hal ini bisa mengakibatkan hilangnya dukungan dari kalangan pemilih yang awalnya tertarik pada kepemimpinan Anies karena sifat independennya.

Terakhir, ketergantungan yang muncul akibat konformitas ini juga dapat membuat Anies lebih rentan terhadap tekanan politik internal dari partai, yang bisa menghambat kemampuannya untuk mengambil keputusan secara mandiri dan cepat dalam situasi kritis. Dengan demikian, sementara konformitas sosial dapat membawa manfaat dalam membangun aliansi politik yang kuat, ia juga menyimpan risiko yang dapat mengancam esensi kepemimpinan Anies serta mengurangi kemampuannya untuk menawarkan solusi yang benar-benar inovatif dan efektif bagi Jakarta.

Jika Anies Baswedan memutuskan untuk menerima syarat-syarat yang diajukan oleh Megawati Soekarnoputri, ada sejumlah implikasi negatif yang dapat berdampak pada keberlanjutan demokrasi di Indonesia, terutama mengingat kondisi demokrasi yang sudah mengalami berbagai tantangan di bawah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Salah satu konsekuensi yang paling nyata adalah semakin terkikisnya prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya mengutamakan kemandirian, kebebasan berpendapat, dan pluralitas politik. Ketika seorang calon pemimpin harus tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh elit partai, hal ini menandakan dominasi oligarki politik yang semakin kuat, di mana keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan kepentingan segelintir elit daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Lebih lanjut, dengan menerima syarat-syarat tersebut, Anies berpotensi memperkuat pola politik patronase, di mana dukungan politik diberikan bukan berdasarkan meritokrasi atau visi pembangunan, melainkan atas dasar loyalitas kepada tokoh-tokoh kuat dalam partai. Ini dapat memperburuk situasi politik di Indonesia, yang sudah mengalami kemunduran dalam hal kebebasan sipil dan hak asasi manusia, sebagaimana terlihat dalam berbagai kebijakan represif yang diterapkan selama pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Dalam konteks ini, tindakan Anies bisa dilihat sebagai bentuk legitimasi terhadap praktik politik yang kurang transparan dan tidak demokratis, di mana kesetiaan kepada elit partai diutamakan daripada akuntabilitas kepada rakyat.

Selain itu, jika Anies tunduk pada syarat-syarat yang diajukan oleh Megawati, ini dapat memperkuat persepsi bahwa pemimpin-pemimpin politik di Indonesia cenderung pragmatis dan siap mengorbankan nilai-nilai demokrasi demi mendapatkan kekuasaan. Ini berpotensi membuat masyarakat semakin apatis terhadap proses politik dan pemilu, karena melihat bahwa perubahan yang diharapkan melalui demokrasi sulit terwujud akibat dominasi elit yang terus berlanjut. Ketidakpercayaan publik ini bisa berujung pada rendahnya partisipasi dalam pemilu, melemahnya legitimasi pemerintahan, dan semakin terpolarisasinya masyarakat.

Terakhir, dalam jangka panjang, tunduknya Anies pada syarat-syarat Megawati juga bisa menghambat upaya untuk memperkuat institusi demokrasi di Indonesia. Ketika seorang calon pemimpin memilih untuk mengutamakan kepentingan elit partai daripada mendorong reformasi yang diperlukan untuk memperbaiki sistem demokrasi, maka peluang untuk mengatasi carut-marut demokrasi menjadi semakin tipis. Hal ini dapat membuat Indonesia terperangkap dalam siklus politik yang tidak stabil dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, yang pada akhirnya merugikan rakyat dan menghambat pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk lebih kritis dan aktif dalam memantau dinamika politik yang terjadi. Apakah kita siap untuk melihat potensi pengaruh negatif dari keputusan politik yang mungkin mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi kepentingan elit? Bagaimana kita sebagai pemilih dapat memastikan bahwa calon pemimpin yang kita dukung benar-benar berkomitmen pada reformasi yang akan memperkuat demokrasi dan tidak sekadar mengikuti arus politik yang ada?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun