Semua sedang menghadapi dampak pandemi Covid-19, termasuk daerahku, Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data resmi Gugus Tugas Penanganan Covid-19 NTB per 6 September 2020 menunjukkan angka warga yang terjangkit  2.828 orang, dengan angka kesembuhan 2.155 dan meninggal dunia sudah mencapai angka 167 orang.Â
Corona telah menyebabkan kerugian yang banyak di segala bidang terutama di bidang ekonomi. Sebagai contoh, industri pariwisata yang selama ini menjadi penopang ekonomi utama daerah ini, belum bisa dianggap sudah normal telah di-launching kembali beberapa waktu lalu.Â
Angka keterisian kamar hotel masih belum menggembirakan. Dan kondisi ini terjadi bukan saja sejak Corona, melainkan sejak terjadinya peristiwa alam gempa bumi tahun 2018 lalu. Jadi pariwisata Lombok dan Sumbawa dihantam oleh dua badai ; gempa bumi dan Corona.
Sudah sekian banyak uang yang digelontorkan oleh pemerintah daerah untuk menangani Covid-19 ini. Kondisi fiskal masing-masing kabupaten/kota menyedihkan. Proyek-proyek pembangunan strategis terpaksa tertunda karena anggarannya diarahkan untuk pengananan Covid-19, terutama untuk kegiatan sosialisasi protokol kesehatan di masa tatanan baru ini.Â
Sebagai bentuk ketegasan, sampai sekarang pemerintah daerah belum mau membuka sekolah hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Jika angka Corona masih belum landai, kemungkinan sekolah tatap muka di NTB bisa dimulai awal tahun depan. Sekolah dikhawatirkan akan menjadi klaster baru Covid-19 jika dipaksakan dibuka. Kekhawatiran terhadap sekolah tidak sama dengan kekhawatiran untuk tempat publik lainnya seperti mall, tempat wisata , restoran dan lainnya.
Protokol kesehatan harus dilaksanakan dengan baik oleh warga. Bila perlu dengan pemaksaan. Maka di NTB lahirlah Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2020 tentang penanggulangan penyaki menular. Di dalamnya tercantum penerapan disiplin protokol kesehatan yang berlaku mulai 14 september. Warga yang tidak menggunakan masker saat keluar rumah akan kenda denda. Perda ini adalah aturan turunan dari Inpres nomor 6 tahun 2020 yang diteken Presiden Joko Widodo yang diteken 4 Agustus lalu.
Sayang sekali, dana rakyat yang besar yang dipakai untuk penanganan Corona, tercoreng oleh apa yang dipertontonkan politisi kita hari-hari belakangan ini, terutama saat tahapan Pilkada dimulai. Di NTB, ada beberapa daerah melaksanakan Pilkada serentak, diantaranya Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan Lombok Tengah.Â
Ada pemandangan yang mengecewakan saat para calon mendaftar di KPU di tiga hari terakhir kemarin. Mereka rata-rata membawa pendukung yang banyak. Â Tidak terlihat ada penerapan protokol Covid-19 dalam kegiatan berkurumun itu.Â
Pendukung tak menjalankan aturan jaga jarak. Sebagian juga tidak menggunakan masker. Ada yang memakai masker, tapi dipasang dengan tidak menutup mulut dan hidung, hanya sekedar formalitas saja. Mereka berdesak-desakan, berebut dekat dengan calon kepala daerah yang mereka antar.
Apa yang dipertontonkan oleh politisi saat yang lain dipaksa menerapkan protokol kesehatan membuat masyarakat menganggap ada ketidakadilan. Pertama, politisi seharusnya jadi contoh. Diantara calon kepala daerah itu, ada yang merupakan petahana. Karena petahana, merekalah yang membuat regulasi soal protokol kesehatan Covid-1.Â
Merekalah yang bertanggungjawab menggunakan uang rakyat di APBD untuk biaya Corona. Merekalah yang bertanggungjawab memutuskan anak-anak kita sekolah tatap muka atau daring. Â Merekalah yang meneken aturan denda bagi warga yang ketahuan tidak memakai masker. Lalu sekarang? Mereka memberikan contoh yang tidak baik kepada masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat kepada mereka bermasalah.
Kedua, masyarakat akhirnya bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh aparat terkait dengan pemandangan kumpul-kumpul politik yang tidak menggunakan protokol itu? Masalahnya, di tempat lain, polisi bersama Pol PP gencar menggelar razia masker di banyak titik jalan. Pemandangan ini berbeda saat mereka mengawal calon menuju kantor KPU. Mereka seperti tidak berbuat apa-apa.
Ketiga, ini penting. Tahapan Pilkada masih cukup panjang. Potensi pengumpulan massa oleh politisi masih ada terutama di masa kampanye nanti. Semua pihak harus satu komitmen menekan kasus Covid-19. Karena apa? Karena kita sudah kadung menggelontorkan ratusan miliar untuk virus ini.Â
Jangan sampai pengorbanan uang yang tidak sedikit plus kesabaran masyarakat menjalankan aturan, rusak seketika oleh tahapan-tahapan Pilkada ini. Pilkada tetap penting, tetapi menjamin kesehatan masyarakat adalah hal penting lainnya. Karena itu Pilkada harus diatur denga ketat. Show of  force politisi dengan menghadirkan banyak pendukung harus dibatasi. Dengan cara itu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah soal Covid-19 ini tidak surut. Salam...  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H