Wajahnya berseri-seri setelah tiba di Kantor Dinas Ketenagakerjaan Provinsi NTB. Perempuan 45 tahun ini sudah tidak sabar bertemu dengan anak dan keluarganya di Desa Kukin Kecamatan Moyo Utara Kabupaten Sumbawa.
Dia adalah Sumartini, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal NTB yang lolos dari hukuman mati di Saudi Arabia dan diterbangkan ke Indonesia pada tanggal 23 April 2019 lalu.
Mulai bekerja di Saudi tahun 2008, mimpi Sumartini tidak muluk-muluk. Ia ingin hidup kedua anaknya lebih baik dari dirinya yang berstatus janda. Ia berangkat lewat perusahaan resmi. Di beberapa surat kabar lokal, Sumartini menyebut tempatnya bekerja tidak sesuai dengan dokumen awal yang disepakatinya dengan PJTKI yang mengirimnya.
Ia dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Muhammad Al Dwiyan di sebuah kampung yang jauh dari pusat kota. Dua tahun bekerja tak ada masalah. Hingga tibalah petaka itu. Salah satu anggota keluarga sang majikan tiba-tiba hilang. Berhari-hari dicari tapi tidak ketemu. Abitsam nama yang hilang itu. Konon Abitsam menghilang di dalam kamarnya meski pintu kamar dikonci dari luar.
Meski akhirnya Abitsam kembali ke rumah, majikan mencurigai Sumartini. Kecurigaan majikan juga di luar bentuk kecurigaan biasa. Sumartini dicurigai punya ilmu sihir yang menyebabkan Abitsam hilang.
Secara budaya, saya kira hanya di Indonesia kleniknya masih kental. Ternyata di Arab Saudi juga demikian. Sumartini jadi korban tuduhan memiliki ilmu sihir. Ada "azimat" yang dibawanya yang lalu menjadi sumber kecurigaan. Benarlah kata salah seorang politisi belum lama ini. Kalau bekerja ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi, mohon jangan membawa azimat, karena itu bisa membawa masalah.Â
10 tahun Sumartini dipenjara akibat tuduhan yang tidak bisa dibuktikan dengan bukti materil itu (kenapa bisa disidangkan di pengadilan juga jadi pertanyaan saya tentang model hukum di Saudi). Tidak itu saja, ia harus menerima hukuman cambuk. Ini belum seberapa dibanding dengan siksaan yang dialaminya dari majikan.
Pengakuannya di hadapan wartawan, ia diikat dan disetrum, dipaksa mengaku punya ilmu sihir. Karena tidak kuat disiksa, Suhartini memilih mengaku. Ia mengira pengakuannya itu akan mengakhiri deritanya.
Ternyata tidak. Pengakuannya itulah yang menjadi dasar majikan melaporkannya ke aparat hukum. Tahun 2011 vonis hukuman matinya dicabut dan diganti dengan hukuman 10 tahun penjara dan cambuk 1000 kali.Â
Problem utama yang paling nampak dalam kasus Sumartini ini apa? Ternyata soal skill pengantar. Yang saya maksud dengan skill pengantar adalah penguasaan bahasa dan kultur tempatnya bekerja.
Ini bukan soal Sumartini saja, tetapi menyangkut banyak tenaga kerja kita yang berangkat menjadi TKI tanpa skill pengantar yang memadai. Tak ada masalah dengan semangat kerja Sumartini. Semua pekerjaan rumah beres ia kerjakan. Lancar-lancar saja.
Cuma mirisnya di komunikasi. Bayangkan, caranya berkomunikasi dengan keluarga majikan adalah memakai bahasa isyarat. Perintah majikan juga banyak disampaikan lewat tulisan. Setelah ditulis di kertas, Sumartini lalu mencari artinya dan kemudian paham. Belakangan, kelemahan soal bahasa inilah yang mengantarnya menuju derita panjang. Saya tidak bisa bayangkan kesulitannya menjelaskan kepada majikan bahwa tuduhan-tuduhan yang ada tidak benar.Â
Skill pengantar sangat penting saat bekerja di negara orang. Pertanyaannya, sudah maksimal kah para pihak terkait menyiapkan skill bagi para tenaga kerja? Para pihak di sini tentu tidak satu. Misalnya negara. Bekerja dimana saja itu hak sepanjang sesuai ketentuan yang berlaku.
Nah karena bekerja itu hak, negara tidak boleh abai menyiapkan skill mereka, terutama skill berbahasa. Saya mengamati hal ini belum maksimal. Skill pengantar bagi para TKI tidak periodik dan terencana dengan baik.
Padahal sejak dulu Indonesia adalah sumber tenaga kerja besar. Yang ada adalah pendidikan-pendidikan "dadakan", hanya waktu singkat sebelum mereka berangkat keluar negeri.
Pendidikan skill pengantar bagi mereka sepertinya tidak punya kurikulum yang jelas. Jika bahasa saja mereka tidak kuasai, bagaimana mereka akan menguasai juga adat istiadat dan tradisi orang-orang tempat mereka bekerja? Pendapatan negara dari TKI sangat - sangat besar. Semua sudah tau itu. Sumbangsih yang besar harus dibalas setimpal dengan menyiapkan kualitas SDM tenaga kerja yang baik dan berdaya saing.
Pelatihan skill pengantar mesti tuntas. Artinya, tak cukup dadakan, tak cukup sekedar pelajaran teori yang hanya beberapa kali pertemuan hanya untuk menyelesaikan kewajiban.
Berbahasa dan berkomunikasi itu soal praktek. Soal kebiasaan berbicara dengan orang asli negara yang dituju. Ini pentingnya patihan harus disusun secara periodik dengan kurikulum yang jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H