Sumpah Pemuda adalah keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan itu menegaskan cita-cita "Tanah Air Indonesia", "Bangsa Indonesia", dan "Bahasa Indonesia". Keputusan ini menjadi asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan agar "disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan"
Tiga Keputusan Kongres
Istilah "Sumpah Pemuda" sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan setelahnya. Yang tertera di bawah ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisan menggunakan ejaan van Ophuijsen.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia Bukan Lagi Menjadi Kebanggaan KitaÂ
Dari 3 poin di atas, poin pertama dan kedua, masih dapat dinyatakan ada. Artinya, kita masih mengakui adanya Tanah Indonesia dan bangsa Indonesia. Namun, untuk poin ketiga, bahasa Indonesia, saya angkat tangan, menyerah. Artinya, bahasa Indonesia bukan lagi menjadi kebanggaan kita. Padahal kita mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan kita. Setiap daerah punya bahasanya masing-masing. Sebagai penduduk daerah A, kemungkinan besar Mr. X tidak bisa memahami bahasa yang digunakan di daerah B. Demikian juga sebaliknya bagi penduduk yang ada di daerah B. Apalagi di daerah C, D, E, F dan seterusnya.Â
Karena itu, bahasa Indonesialah yang dapat mempersatukan semua penduduk di Indonesia  yang berada di daerah A-Z. Namun, anehnya, meski kita mengakui bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, ternyata pengakuan kita tidak tulus. Kita juga bangga bila bisa berbahasa asing, cas-cis-cus.  Bahkan rasa bangga itu lebih besar daripada bangganya kita terhadap bahasa Indonesia. Dengan kebanggaan kita yang lebih besar terhadap bahasa asing berarti sejatinya kita lebih mencintai bahasa asing itu daripada bahasa Indonesia.Â
Para Pejabat Kita
Dari mana saya dapat berkesimpulan bahwa kita  lebih bangga terhadap bahasa asing daripada terhadap bahasa Indonesia? Para pejabat kita suka menyisipkan istilah-istilah asing  kalau diwawancara atau berpidato. Secara implisit, sang pejabat merasa naik gengsinya dengan mengucapkan istilah-istilah atau kata-kata  dalam bahasa asing.Â
Para Artis Kita
Demikian juga para artis kita. Mungkin karena merasa didinya sebgai public figure, apa yang diucapkannya akan ditiru oleh penggemarnya. Dia juga merasa bahwa para penggemarnya akan merasa senang melihat artis idolanya dapat berbahasa asing atau mengucapkan istilah-istilah dalam bahasa asing. Dia tidak menyadari bahwa istilah asing yang diucapkannya justru bisa membuat 'pening" penggemarnya yang tidak tahu istilah atau kata asing  yang diucapkannya itu.Â