Yang namanya menabung, pasti sudah kita lakukan sejak kecil. Ayah atau ibu membelikan kita celengan. Lalu dijelaskan kepada kami, anak-anak, untuk suka menabung.
"Kalau diberikan uang jajan, jangan dihabiskan semuanya," jelas ibu. "Mengapa? Karena kalau dihabiskan semuanya, kalian tidak bisa menabung. Tentu saja toh? Uangnya sudah habis, mau menabung bagaimana? Mau pakai daun jeruk, pakai batu, pasti tidak bisa. Berbeda dengan uang. Kalau uang yang kalian tabung, lalu makin banyak, uang itu pasti berguna. Kalian bisa beli apa saja dengannya. Bisa beli sepatu baru, bisa beli baju baru."
"Kalau kalian tidak boros, dengan menabung, uang kalian akan menggunung, menjadi banyak. Kan ada pepatah yang berbunyi, Â 'sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit'. Itu betul. Coba setiap hari kita kumpulkan satu batu bata. Kalau setahun bisa jadi 365 jumlahnya. Jadi, kalau setiap hari kalian menabung Rp5 ribu, sebulan bisa jadi Rp150 ribu. Setahun bisa jadi R1,8 juta atau sejuta delapan ratus ribu rupiah. Banyak kan uang itu?" jelas ayah sambil tersenyum.
"Kalian kan bukan hanya dapat uang dari Ayah dan Ibu, tapi juga dari Om-om atau Tante-tante kalian," ujar Ibu lagi. "Nah, kalau uang itu hanya digunakan sebagian kecil saja, dan sebagian besarnya ditabung, pasti kalian bisa beli barang yang kalian impikan selama ini."
               Â
"Ayah, Ibu saya mau rajin menabung, asal Ayah dan Ibu rajin memberikan kami uang. Setiap hari, seharusnya kami dapat uang jajan, bukan cuma saat sekolah saja, saat tidak sekolah pun kami harus diberi uang jajan," sahutku setelah ayah dan ibu selesai memberi penjelasan kepada kami.
"Uang jajan itu kan diberikan karena kalian bersekolah. Di sekolah kan perlu makan. Sedangkan bila tidak sekolah, kalian kan makan di rumah. Jadi, tidak perlu uang jajan," jawab ayahku.
Kisah di atas adalah flashback  saat aku masih kecil.
Saat duduk di bangku SMP dan SMA, aku suka menabung. Waktu di bangku SD, aku cuma menabung di celengan. Wah, betapa bahagianya, saat celengan itu penuh. Terlebih saat dipecahkan dan melihat jumlah uang yang banyak. Kebahagiaanku kian besar.
Saat di SMP, aku sudah punya buku tabungan. Aku suka ngajak teman saat menabung.
"Wah, uangmu banyak, Cad. Lima ratus ribu rupiah," ujar temanku saat pertama kali melihat buku tabunganku.
"Wei, tabunganmu sudah berjumlah satu setengah juta rupiah, Cad," ujar temanku lagi. "Sudah banyak itu."
"Astaga, uangmu sudah sepuluh juta rupiah lebih!" ujar temanku lagi di saat yang berbeda, sebulan kemudian.
"Kenapa uangmu bisa banyak begitu?" tanya temanku.
"O, itu. Belum lama ini ada dua pamanku yang bertamu ke rumah," jawabku. "Yang pertama, datang dua minggu lalu. Dia memberikanku uang tiga juta rupiah. Sedangkan yang kedua, datang minggu lalu. Dia memberikanku uang dua juta lima ratus ribu rupiah.  Mereka itu pelaut. Jadi, uangnya banyak. Mereka tidak pernah memberikan aku dan adikku uang hanya ratusan ribu rupiah  selalu bernilai jutaan rupiah."
"Wah, hebat dong kalau begitu, pamanmu," komentar temanku.
Karena sering menemaniku menabung, temanku itu jadi ketularan suka menabung. Meski  uang tabungannya tidak besar, tetapi aku jadi senang. Ternyata, yang kulakukan berdampak positif padanya.
Kesukaan menabung ini tetap kulakukan hingga aku kuliah. Bahkan, saat ayahku sebagai anggota polisi memasuki masa pensiun, aku baru duduk di kelas 3 SMA. Namun, aku tidak khawatir, apakah aku bisa kuliah atau tidak. Karena uang yang kumiliki cukup untuk membiayai kuliahku hingga selesai, yaitu ratusan juta rupiah. Hampir mendekati setengah M. Luar biasa, bukan?
Selama ini, selama menabung, dari uang tabunganku yang sudah banyak sejak kelas 1 SMP, hanya sedikit yang kuambil. Itu pun kugunakan untuk hal yang memang sangat kuperlukan. Misalnya, beli komputer.
Akhirnya Aku Tertarik Ikut Asuransi
Saat kuliah, ada seorang agen asuransi yang menawarkan kepadaku untuk ikut asuransi. Â Namun, aku tidak mau. Aku meragukannya. Pokoknya, aku tidak tertarik.
Pada suatu hari, seorang tetanggaku yang adalah seorang pemuda, datang kepadaku. Darto namanya. Ia rupanya seorang agen asuransi. Ia menawarkan kepadaku untuk ikut asuransi. Rupanya, pemuda tetanggaku itu sama dengan seorang agen asuransi yang pernah datang kepadaku. Keduanya berasal dari sebuah perusahaan asuransi yang sama. Karenanya, aku tidak tertarik.
Seminggu kemudian, aku terkejut. Seorang tetanggaku yang lain mengabarkan kepadaku bahwa  Darto meninggal dunia akibat kecelakaan. Saat itu, ia dibonceng temannya hendak ke pusat kota. Belum sampai di pusat kota, motornya tabrakan dengan mobil bak terbuka. Keduanya mengalami luka parah dan berdarah-darah. Belum sampai di rumah sakit, keduanya telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
Meski Darto baru 5 bulan ikut asuransi, tapi ia menerima ratusan juta rupiah. Padahal preminya tiap bulan tidak terlalu besar.
Akhirnya, aku tertarik untuk ikut asuransi. Setiap minggu aku selalu ikut pertemuan di grupku. Dalam pertemuan itu, pengetahuanku tentang asuransi bertambah. Setelah ikut ujian, aku lulus menjadi agen asuransi. Karenanya aku menjadi percaya diri. Aku akan mempraktikkan bagaimana cara meyakinkan orang lain yang belum ikut asuransi untuk ikut asuransi.
Bila aku mendapat downline, sekian persen dari premi yang dibayarkannya setiap bulan, akan masuk ke rekeningku. Â Itu kalau 1 orang. Bagaimana kalau aku bisa dapat 10 orang atau lebih besar lagi dari itu. Ternyata, ikut asuransi itu menyenangkan.
Dengan menjadi peserta asuransi, kita bisa percaya diri. Kalau sakit, kita masuk rumah sakit, kita akan mendapat pelayanan yang luar biasa. Rupanya dengan kartu asuransi yang kita miliki, pelayanan yang diterima jauh lebih baik daripada kartu kuning atau kalau sekarang disebut kartu BPJS.
Dengan menjadi peserta asuransi, sama dengan kita sudah menyiapkan payung sebelum hujan. Siapa yang tahu bahwa saat kita keluar rumah, hujan akan turun. Tapi saat hujan turun pun, kita bisa berjalan dengan santai, karena kita membawa payung. Jadi, sama dengan asuransi, karena kita rajin bayar premi setiap bulannya, kalau sakit kita tidak perlu repot-repot memikirkan bagaimana cara memperoleh uang untuk bayar di rumah sakit selama kita sakit. Mengapa? Karena semuanya sudah ditanggung oleh pihak asuransi.
Begitu juga kalau tiba-tiba peserta utama asuransi meninggal dunia. Keluarga yang ditinggalkan tidak akan 'pusing' lagi memikirkan bagaimana keluarga yang ditinggalkan dapat menghidupi diri mereka. Mengapa? Karena mereka yang ditinggalkan sudah disiapkan dana yang cukup oleh perusahaan asuransi karena yang bersangkutan telah menjadi peserta dari perusahaan asuransi itu.
Hal-hal itulah yang akan aku sebarkan dan yakinkan kepada orang lain yang belum paham tentang manfaat dari asuransi. Saya justru berpikir, bahwa bila sebagaian besar rakyat Indonesia, katakanlah sampai 80 %, ikut menjadi peserta asuransi, pasti masalah yang dialami pemerintah di masa pandemic sekarang ini, tidak akan separah yang dialami sekarang ini. Â Ya, itu sangat saya yakini.
Sementara itu, tentang makroprudensial yang menjadi bagian dari pihak Bank Indonesia, biarlah itu menjadi bagian mereka. Mereka yang akan mengatur, kapan bantuan pemerintah kepada pihak bank yang terkena imbasnya akibat pandemi ini disalurkan atau apalah namanya. Itu menjadi bagian dari kerja pihak bank sentral kita.
Saya sangat yakin, kalau seluruh rakyat Indonesia bergotong royong membantu pemerintah, khususnya menjadi peserta asuransi, dampak buruk terhadap perekonomian kita tidak akan menjadi kian parah. Yang penting, kita tetap bersatu padu taat pada protocol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah.
Dengan demikian, bangsa kita tetap sehat karena taat pada protokol kesehatan. Bangsa kita juga tetap bahagia karena secara ekonomi tetap terbantu dengan menjadi peserta asuransi.
Bergotong royong kita tak akan doyong karena kita saling menopang. Jayalah bangsaku, jayalah negeriku.
Oleh Richard Tuwoliu Mangangue
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H