Menurut penulis, tidak sepenuhnya demikian karena para pakar bahasa kita mengalami kebingungan dalam menetapkan atau membedakan gelar dokter untuk S-1 dan doktor untuk S-3 yang hanya berbeda pada huruf vokal yang kedua, yaitu huruf e dan huruf o.Â
Baca juga : Penulisan Gelar Akademik di Seputar Kita
Oleh karena itu, untuk solusi termudahnya diputuskanlah bahwa gelar dokter disingkat dengan menggunakan huruf d kecil, dr, dan gelar doktor disingkat dengan menggunakan huruf D besar, Dr.
Ternyata keputusan para pakar bahasa kita membuat para pemegang gelar doktor juga merasa tidak senang. Mengapa? Karena mereka juga telah bersusah payah meraih gelar pada jenjang pendidikan paling tinggi, yaitu S-3.Â
Kalau gelar doktor yang ditulis Dr digunakan para alaumni S-1 fakultas kedokteran, mereka merasa rugi karena orang-orang akan berpikir bahwa mereka bergelar dokter, bukan doktor. Oleh akrena itu, mereka tidak akan menulis gelar doktornya dengan Dr., tetapi dengan D besar dan R besar, yaitu DR.
"Kami sudah mati-matian meraih gelar doktor, mengapa penulisan gelar kami disamakan dengan penulisan gelar dokter dari jenjang pendidikan S-1?," ujar seorang dosen yang bergelar doktor.
Jadi, hingga kini ada 3 jenis penulisan gelar untuk dokter dan doktor, yaitu dr, Dr, dan DR. Dengan gelar yang ditulis pertama, dr, orang langsung tahu bahwa yang bersangkutan bergelar dokter. Demikian juga dengan gelar yang ditulis terakhir, DR (walaupun tidak sesuai ketentuan, karena yang benar adalah Dr), orang langsung tahu bahwa yang bersangkutan bergelar doktor.Â
Baca juga : Antara Penulisan Gelar S.Pd dan tuduhan Komunis.
Sedangkan gelar Dr, orang harus mencari tahu dulu apakah yang bersangkutan telah menyelesaikan pendidikan S-3 atau S-1 di fakultas kedokteran. Setelah itu, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan bergelar doktor atau dokter.
Pakar bahasa menetapkan bahwa penulisan gelar dokter adalah dr. dan gelar doktor adalah Dr., bagaimana kalau pengguna bahasa tidak mau menurutinya dengan argumentasi seperti yang telah dibahas sebelumnya (argumentasinya pun sangat masuk akal)? Idealnya, ketetapan yang telah dibuat (apalagi oleh para pakar) agar kita tertib berbahasa harus diikuti.Â
Siapa lagi yang akan dipedomani kalau pakar saja tidak kita percayai. Kalau mau ikut perasaan atau keinginan masing-masing, kita sendiri yang akan repot. Kekacaubalauan akan senantiasa melingkupi kita.