Mohon tunggu...
r. t.  mangangue
r. t. mangangue Mohon Tunggu... Dosen - Peduli terhadap permasalahan yang dialami masyarakat yang dicurangi, , dibully, dibodohi, dll.

Penggemar berat catur, penulis, ghost writer, pengajar, dan pecinta sastra Dapat dihubungi di alamat email: r_mangangue@yahoo.com. Facebook: richard mangangue. Tinggal di Manado.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

dr. Dr. dan DR.

2 September 2019   07:30 Diperbarui: 23 Juni 2021   14:19 20768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa tidak pernah lepas dari pemakainya. Itu sebabnya ada pepatah yang berbunyi, "Bahasa menunjukkan bangsa." Ini adalah pepatah yang sudah akrab di telinga kita. 

Dari bahasa yang digunakan seseorang dapat kita ketahui dari suku atau bangsa apa seseorang itu berasal. Bahkan tabiat seseorang dapat kita ketahui dari cara ia berujar atau apa yang ia ujarkan.

Berarti ada benarnya juga bila ada yang berpendapat bahwa dari segi bahasa kita adalah orang yang tinggi hati. Maksud tinggi hati ini bukan berarti negatif tetapi merupakan hal yang wajar. Apa yang dituntut tidak berlebihan, justru merupakan hal yang wajar. Misalnya, mereka yang berprofesi sebagai dokter. 

Untuk meraih gelar dokter, seorang mahasiswa fakultas kedokteran harus mengikuti kuliah atau pendidikan kedokteran yang jauh lebih lama daripada mahasiswa yang mengikuti studi atau kuliah di luar fakultas kedokteran. 

Tidaklah mengherankan bila mereka "marah" terhadap para pengambil keputusan di bidang bahasa Indonesia di negara kita ini, yaitu para pakar bahasa Indonesia dari lembaga Pusat Bahasa. 

Baca juga :Apoteker, Baktimu Lebih Penting daripada Sekadar Penulisan Gelar

Sepertinya kuliah mereka yang jauh lebih lama itu tidak dihargai para pengambil keputusan itu. Mengapa tidak dihargai? Karena gelar S-1 yang mereka peroleh, yaitu dokter, yang harus dipasang di depan nama mereka, diputuskan oleh para pakar bahasa kita itu ditulis dengan huruf d kecil, dr, bukan huruf D besar, Dr.

"Mengapa hanya kami yang diputuskan untuk menggunakan gelar dengan huruf kecil? Mengapa sarjana-sarjana lainnya tidak? Sudah bersusah payah mengikuti kuliah, gelar yang diperoleh hanya dihargai dengan huruf d kecil. 

Bisa jadi, orang yang belum tahu akan menduga bahwa kepanjangan dr adalah bukan dokter, melainkan dapur" ujar seorang dokter yang tidak suka dengan keputusan itu dengan nada bergurau.

Untuk menunjukkan ketidaksenangannya terhadap keputusan itu, ia tetap mencantumkan gelar dokter di depan namanya dengan huruf D besar, Dr, seperti yang tertera di papan namanya di tempat praktiknya. Penulis yakin, bukan satu atau dua orang dokter saja yang menuliskan gelarnya dengan huruf D besar, Dr, melainkan banyak.

Apakah kesalahan ini harus ditimpakan kepada para pakar bahasa Indonesia dari lembaga Pusat Bahasa kita? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun