Kemunculan lembaga survei yang begitu semarak pada gelaran Pilpres 2024 menjadikan beberapa partai politik gamang dalam menentukan calon yang akan diusungnya.Â
Alih-alih percaya diri mengusung kader sendiri justru mengekor hasil lembaga survey dirasa lebih aman dalam mengusung seorang tokoh politik. Aman bagi keberlanjutan partainya karena paling tidak logistik yang akan dimiliki partainya diharapkan ikut melimpah.
Roda pergerakan partai tentu tidak akan berjalan mulus tanpa logistik yang memadai. Satu - satunya jalan untuk menciptakan kondisi tersebut adalah lewat kemenangan tokoh politik yang didukungnya.Â
Dengan ikut berkuasa maka logistik partai juga secara signifikan ikut bertambah. Namanya saja penguasa maka seluruh aspek sumberdaya pasti dimilikinya.
Pragmatisme politik pun mulai bermunculan dalam gelaran pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada bulan November.Â
Gerak-gerik partai politik seperti terimbas oleh hasil survey beberapa lembaga survey . Padahal kader internal partainya sendiri banyak yang memiliki potensi.Â
Takut kalah seperti saat Pilpres yang mana hasil survey seperti merajai pilihan masyarakat sehingga muncul kegamangan dalam menentukan kader internal partai.
Lembaga survey memang tidak bisa disalahkan karena hal tersebut merupakan konsekuensi dari lahirnya demokratisasi di negara ini. Hasil pooling lembaga survey memang seakan menyihir masyarakat dalam menentukan pilihannya.Â
Tidak dapat dipungkiri dalam masyarakat yang belum cukup dewasa dalam berdemokrasi kadang rasionalitas dalam menentukan pilihan kurang dapat difahami.Â
Parahnya lagi lembaga politik yang bernama partai politik juga ikut-ikutan tidak dewasa dalam berpolitik.Â
Menggunakan pragmatismenya demi ikut mencicipi semerbaknya aroma kekuasaan. Itu sehingga masyarakat tidak teredukasi dalam hal memilih calon pemimpinnya. Yang penting mengikuti kemana arah angin paling banyak berhembus.
Memang ada satu dua partai politik yang masih memiliki idealisme tinggi, tetapi akhir-akhir ini lewat pernyataan beberapa kadernya seolah-olah ingin ikut berpragmatisme dalam menentukan calon pemimpin yang akan diusungnya. Sehingga sekolah kader yang sudah sangat baik didirikan partainya seolah tidak berguna sama sekali.Â
Lantas siapakah yang diuntungkan dalam kondisi pragmatisme ini? Tidak lain dan tidak bukan adalah sosok calon pemimpin dan kroni - kroninya yang muncul begitu saja karena memiliki hasil survei tinggi.Â
Entah karena kinerja yang baik ataupun kedekatan dengan penguasa nasional dan bisa jadi menempel ketenaran dinasti politiknya.Â
Secara politik pragmatisme seperti ini tidaklah menguntungkan bagi perkembangan demokrasi. Pergantian pemimpin yang diharapkan berjalan terus menjadi seolah-olah sudah dipersiapkan walaupun dalam koridor demokrasi.Â
Kaderisasi internal partai menjadi tidak berjalan yang berjalan adalah kaderisasi dinasti dan kroni. Ganti pemimpin yang sebenarnya masih sama dengan pemimpin sebelumnya.
Kekhawatiran akan tidak adanya keberlanjutan apabila ganti pemimpin baru seolah - olah dipelihara agar masyarakat takut untuk memilih pemimpin yang baru. Ketakutan yang dipelihara akan melahirkan pilihan yang tidak rasional.Â
Takut tidak lagi menerima bantuan - bantuan pemerintah dan ketakutan - ketakutan lain yang mengakibatkan pilihan masyarakat pun menjadi pragmatis.
Pemerintahan yang baik tentu harusnya dapat menciptakan sistem kesejahteraan masyarakat yang sistematis dan terstruktur sehingga dapat mengentaskan kemiskinan bukan malah menciptakan ketergantungan yang pada akhirnya membuat masyarakat bersikap pragmatis dalam menentukan pilihannya seperti halnya partai politik.
Salam sehat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H