Kecenderungan global konsumsi bahan pangan halal dan baik (halalan thayiban) kian meningkat. Ini bisa dilihat dari nilai transaksi perdagangan bisnis produk halal yang menunjukkan tren terus naik. An, yang patut di syukuri, urusan kehalalan tak sebatas produk pangan saja. Tapi, juga sudah merambah dan menyentuh produk obat dan vaksin, serta kosmetika.
Sayang, sebagian besar produk yang beredar di Tanah Air belum bersertifikat halal. Menurut penuturan Lukmanul Hakim, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga Mei 2010 jumlah produk yang terdaftar mendaftar sertifikat halal MUI baru 23.294 unit.
Guru Besar IPB Bogor, Prof. Dr KH Didin Hafidhuddin mengemukakan, kesadaran mengkonsumsi produk pangan, obat, dan kosmetika, halal, sudah menjadi tuntutan.
Oleh karena itu kehalalan suatu produk merupakan hal yang mesti diperhatikan. Artinya, produk apapun yang dikonsumsi sah menurut hukum syar’i. Berat resiko hukumnya bila mengkonsumsi pangan, obat, atau kosmetika haram.
Dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168 tertulis, yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan baik dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata.”
Lalu disebutkan juga dalam hadits, “Tidak akan masuk surga siapa saja yang dagingnya tumbuh dari makanan yang haram. Neraka lebih utama untuknya.” (HR Ahmad)
Urusan kehalalan, kini, tak sebatas pada foks bidang produk pangan semata. Sebagian produsen pangan misalnya, beramai-ramai mencantumkan label halal. Label ini ditulis dalam huruf latin maupun Arab. Malah, sebagian produsen berani mencantumkan label halal – walaupun belum mengantongi sertifikat dari LPPOM MUI. Pelabelan ini sekadar untuk meyakinkan kepada konsumen kalau produk itu halal.
Konsumsi obat-obatan, vaksin, dan kosmetika, bagi umat Islam sama saja.
Seperti halnya mengkonsumsi produk pangan, maka obat-obatan, vaksin, dan kosmetika pun haruslah produk yang halal. Namun penetahuan konsumen tentang kehalalan produk-produk tersebut masih sangatlah terbatas.
“Malah boleh dibilang kesadaran konsumen muslim mengonsumsi produk halal, termasuk obat, kosmetika, dan vaksin, masih lemah juga. Belum lagi, upaya penyadaran konsumen untuk peduli obat halal, juga dilemahkan oleh pandangan penggunaan obat haram dibolehkan karena alasan daurat,” ujar Ketua Dewan Pengawas Syariah Dompet Dhuafa (DD), Prof Dr Muhammad Amin Suma SH, MS. Oleh karena itu, kata Amin Suma, perlu dibangun kesadaran masyarakat mengonsumsi produk hala. Ini butuh gerakan dari umat.
“Kalau umat tak mengonsumsi produk barang tak bersertifikat halal, mau tidak mau produsen berusaha mencari sertifikat halal,” katanya.
Indonesia mayoritas pnduduknya muslim. Seharusnya, ujar Amin, ada upaya yang sistematis untuk melindungi umat dari penggunaan obat tak halal. Semua mata rantai proses produksi terlibat. Mulai dari produsen farmasi, apoteker, dokter, pemerintah, MUI, pebisnis obat dan vaksin, ilmuwan termasuk perguruan tinggi harus duduk bersama dalam suatu forum untuk memberikan solusi atas permasalahan ini. Sehingga forum bisa dihasilkan benang merah dan langkah strategis harus dikerjakan untuk pemecahan masalah.
Ia menjelaskan, para pemangku kepentingan turut andil. Produsen farmasi, memberi perspektif tentang peluang Indonesia dalam menghasilkan obat dan vaksin halal. ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia) bicara tentang ketersediaan bahan obat halal, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) merekomendasi obat halal untuk pasien. Kepala badan POM menjabarkan kebijaksanaan pemerintah dalam penyediaan obat halal. Komisi fatwa MUI, menjelaskan tentang batasan hukum darurat dalam penggunaan obat, serta LPPOM MUI menjelaskan sertifikasi halal untuk obat.
Disadur dan diedit dari jurnal Republika, edisi Agustus 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H