Mohon tunggu...
R.s Harja
R.s Harja Mohon Tunggu... -

RENDRA SETYADIHARJA. Penyair kelahiran Tanjungpinang tanggal 20 Maret 1986 ini merupakan seorang sarjana Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Sosial dan Politik (STISIPOL) Raja Haji Tanjungpinang. Kecintaannya terhadap sastra membuat penyair ini telah menghasilkan beberapa karya yang dibuku yaitu Gurindam Mutiara Hidup (2010) yang diterbitkan oleh STISIPOL Press, Antologi Karya Tulis Museum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah Jantung Kejayaan Kota Tanjungpinang (2010) dan Antologi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Percakapan Lingua Franca (2010) dan Ketika Lensa Ketika Kata, Kumpulan Foto dan Puisi (2011) yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang. Selain itu karyanya juga pernah dipublikasikan dan diberitakan di media online seperti Sastra Indonesia .Com tentang Gurindam Mutiara Hidup dan juga beberapa karya puisi, esai dan pantunnya pernah dimuat di beberapa media massa di Kota Tanjungpinang. Penyair ini juga Peraih Rekor MURI Berbalas Pantun Terlama Selama 6 Jam Tanpa Berhenti di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada acara Festival Pantun Serumpun Se Asia Tenggara pada tanggal 28 – 29 April 2008 di Jakarta. Karena prestasinya tersebut maka penyair ini diberi gelar TOK oleh Dewan Pemuda Melayu Provinsi Kepulauan Riau. Saat ini membina sebuah Komunitas sastrawan yang diberi nama Pelantar Komunitas Sastrawan Muda ( Kusam ). Pernah membacakan puisi dan pantun dalam event – event tertentu seperti visualisasi puisi pada Malam Kesenian Musyawarah Wilayah Jaringan Sekolah Islam Terpadu se Kepulauan Riau, pembacaan puisi dari Komunitas Sastra Pelantar Kusam keprihatinan terhadap Indonesia – Duka Lara Dalam Kata didepan Walikota Tanjungpinang dan tamu undangan dari Republik Ceko, penampilan pantun di Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang, penampilan pantun dalam Tradisi Lisan se Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta, penampilan pantun di Selanggor Malaysia dan penampilan pantun pada malam kesenian Dialog Pemuda Lintas Agama se Indonesia di Kalimantan Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen - Sajak El Maut

14 Mei 2011   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:43 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAJAK “ EL – MAUT “

Rendra Setyadiharja

Sinar lampu menyinari panggung yang terbangun megah di tepi laut Kota Gurindam. Iringan musik instrumental Melayu dengan rentak khasnya mengema dan memberi rias acara perhelatan seni itu. Maka syahdan, di Kota Gurindam ini, telah banyak mencetak para penyair dan sastrawan. Bahkan Kota Gurindam ini merupakan tanah atau kampung halaman sang Presiden Penyair yang namanya telah mahsyur dikalangan penyair di seantero republik ini yaitu Sutardji Calzoum Bachri. Di Kota Gurindam ini, Bapak Bahasa Indonesia yaitu Raja Ali Haji dilahirkan dan kini jasadnya disemayamkan. Itulah kota kami, Kota Gurindam si Negeri Pantun.

Detik jam berkata, bahwa aku sekarang sedang menunjukkan pukul 20.00 Wib. perhelatan itu dibuka oleh pembawa acara dan disambut tepukan meriah dari para penonton yang menyaksikan perhelatan seni itu. Acara demi acara berlangsung. Ada juga petuah, sepatah kata dari pemimpin negeri kota itu. Tibalah aku, sang penyair yang dijuluki orang dengan Penyair Rajam. Karena sajak-sajakku selalu merajam kehidupan, menyinggung penyimpangan dan mengejek keburukan kelaku para pejabat yang tak baik di negeri itu. Langkahku menderakkan panggung perhelatan seni itu, sinar lampu pun menyinari tubuhku. Gemuruh tepukan pun sahut terdengar ditelingaku.

Mulai aku dari judul madah puisi yang ku racik dengan segala rasa. Aku membacanya bait perbait. Seketika tiba di klimaks puisi itu, aku pun bergaya gaya dengan penuh penghayatan terhadap kata-kata yang aku ucapkan diatas panggung itu. Kemudian sampailah aku pada muara kataku. Ku khatamkan puisiku untuk malam itu. Tepukan pun bergemuruh kembali, bangga atas penampilan Sang Penyair Rajam yang konon kata orang “Akulah Sultan Sang Penyair di Negeri”. Aku menuruni tangga dengan perasaan bangga dan berbisik sedikit kesombongan dihatiku. Akulah yang terhebat. Tanganku dirangkul oleh seorang gadis cantik berkulit halus, berkuldi ranum, berambut lurus hitam harum semerbak mawar di taman. Dialah Dahlia, istriku tercinta.

$$$

Lima tahun yang lalu itu, aku masih menjadi raja, masih menjadi sultan atau bahkan Yang Dipertuan Muda dalam dunia sastra itu.  Bukan hanya itu, aku selalu menjadi manager dalam setiap perhelatan seni, segela macam proyek berkesenian telah membawa aku pada kekayaan. Aku sang yang menguasai segala fi’il yang terkait dengan acara kesenian. Kota Gurindam itu pun menjadi pendukungku untuk menjadi kaya lewat seni. Karena di kota ini, seniman dan sastrawan memang benar-benar dihidupkan. Tuahlah badan hidup di kota budaya ini. Namun  memang benar adanya, roda akan selalu berputar. Malaikat Mikail sang perantara Ya Razak, memang selalu membagikan rezeki kepada semua insan sesuai dengan takarannya. Tak mampu manusia bersombong kini, namun akan papakedana nantinya. Karena sesungguhnya tahta, jabatan dan gelar hanya milikNya. Kini namaku sebagai penyair rajam tak setenar dulu. Lima tahun sejarah telah berkata lain padaku. Melukiskan sebuah keironisan dalam hidupku. Aku tak lagi jadi penyair yang kaya. Meski aku masih kaya akan kata. Namun aku miskin harta.

Kelahiran penyair di kotaku bak jamur yang tumbuh dihari hujan. Sehingga bebatuan yang telah besar pun ditaklukkan. Oleh karena itu, tahtaku telah diduduki oleh penyair lainnya. Segala proyek perhelatan seni yang dulu aku rajai telah juga berganti ke tangan lain. Sehingga habislah aku, papakedana sedikit demi sedikit. Semakin lama, asap di dapurku pun menipis.

Syahdan, Dahlia istriku adalah seorang mualaf yang masuk Islam ketika pernah membaca sebuah sajakku. Ia terperangkap dalam madah aksaraku, sehingga ia penasaran dan akhirnya masuk Islam dan menikah denganku. Sebenarnya bukan karena sajakku yang membawanya ke dalam Islam, namun karena ia lebih mencintai hartaku yang saat itu aku sedang berada di atas daun sebagai seorang penyair ternama di Kota Gurindam itu. Honorku membaca sebuah puisi saja mungkin bisa membelikan ia sebuah cincin emas yang bermata intan. Belum lagi keuntungan dari proyek seni yang aku kuasai saat itu.  Saat itu aku memang sedang di atas angin. Sehingga ketika angin itu bertiup, angin itu pun membawa aku gugur layaknya daun yang gugur ke tanah.

Sekarang setelah aku gugur ke rerumputan, iman istriku pun pudar seiring pudar juga cintanya padaku. Bukan hanya itu, tiga tahun pernikahanku dengan istriku Dahlia, belum juga diberikan zuriat. Sehingga dengan dalih itulah, cintaku istriku memudar dari hari ke hari.   Siang itu, aku sedang tidak dirumah. Hari dimana mentari meneriakkan panas sehingga membahangkan dunia dengan panasnya. Aku berjalan bertemankan debu dan panasnya siang. Aku menelusuri jalan. Niatku adalah memperbaiki dapurku yang sudah lama  berasap halus. Aku ingin bekerja. Hari itu aku mencoba melamar disebuah kantor Koran. Mungkin saja, dengan namaku yang dulu, aku bisa menjadi seorang editor, minimal dirubrik sastranya. Namun, dunia memang aneh, ketenaranku dulu, tak bisa menyelamatkan aku dan memudahkan aku mencari kerja. Aku jadi heran, apa tidak cukup semua nama dan ketenaranku dulu sebagai seorang penyair. Atau aku saja yang tak tahu, bahwa aku memang tak bagus, atau dulu itu hanya ketenaran semu yang diberikan khalayak kepadaku. Siapa yang salah sebenarnya ?

Bak si “Lebai Malang“, aku kembali ke istanaku bertipe-36, disebuah perumahan, rumah itu pun adalah rumah yang paling kecil setelah rumah-rumah besarku ku jual semuanya, untuk biaya hidup setelah aku terpuruk ditelan zaman. Entah, kenapa diriku ini, terkadang aku heran, kenapa ku bisa seterpuruk ini. Kalau pun zaman berganti, namun zaman pun tahu belas kasihan kepadaku, takkanlah aku bisa seterpuruk ini.

Langkahku akhirnya telah membawa aku sampai di rumahku. Sebelum aku masuk, aku melihat ada sebuah sepatu kulit berwarna cokelat. Rasanya aku tidak punya sepatu seperti itu. kelihatannya mewah dan tampak mahal. Aneh, sepatu siapa ini. bisik hatiku kecil. Namun seribu alasan, mindaku coba merangkai, agar tak timbul syak wasangka berlebihan dalam otakku. Aku membuka pintu. Aku mendengar suara sendok yang berdenting di gelas bagai seorang membuat air. Mmmh…!, senyum simpulku terajut kembali. Istriku masih mau membuatkan teh atau kopi untukku. Kebetulan aku pun sedang haus berat, setelah bercanda dengan panas diluar tadi. Bisik hatiku perlahan. Langkahku ku ayunkan menuju suara gelas itu. Haah…! Betapa jantungku ingin terlepas. Istriku sedang berdua dengan seorang temanku. Iya., dia bahkan teman seperjuanganku dalam berkarya. Dialah Hamid. Sekarang dialah yang bertahta sebagai seorang penyair hebat di Kota Gurindam itu. Namun kenapa ia ada bersama istriku. Rumah pun dalam keadaan tertutup tadi. Aku tak mau menurut emosiku, yang seakan akan ingin membunuh dua sejoli tak pantas itu. Namun aku, melangkah tenang. Dahlia, istriku dan Halid tersontak kaget. Mereka segera mengatur barisan seakan akan berbaris didepan jenderal perangnya.

“Lia, sedang apa kau berdua dengan Hamid di dapur ‘ni?” tanyaku dengan rasa tenang yang bergejolak amarah.

“E…ee..abang, sudah pulangkah dirimu sayang…?” balas istriku gak tergagap dan langsung mendekati aku.

“Awak Mid, kenapa pula awak berdua dengan bini aku ?” tanya masih dengan nada tenang.

“Ops…! Tenang dulu Man, dengarkan dulu penjelasan aku, jangan menaruh curiga dulu, tadi bini kau ‘ni minta tolong aku untuk memasangkan sambungan gas kau ‘ni, kebetulan dia tengah membuat air untuk aku yang bertamu kerumah kau” jawab Hamid dengan muka dan mata yang agak aneh. Sepertinya ia hanya pandai menyusun kata-kata sebagai alasan. Maklumlah penyair konon. Pandai bermadah.

“Lalu kenapa pintu tertutup Lia?” tanyaku kembali kepada istriku.

“Itu tadi karena diluar ada petir bang, jadi Lia tutup, takut bang”.

“Ai, panas berdengkang macam ‘ni ada petir ke?” balasku sedikit heran.

“Iya bang, cuaca panas macam ‘ni tandanya nak hujan, jadi memang ada petir tadi, tanya saja sama tetangga sebelah kalau tak percaya, Lia tak macam-macamlah dirumah bang, lagipun tadi bang Hamid hanya bertamu dirumah kita, dia ‘nak jumpa abang, namun abang tak ada dirumah, jadi Lia suruh tunggu aja. Lagi menunggu, petir meletup, Lia tutup pintunya, ketika Lia ‘nak buat air teh untuk tamu kita ‘ni, Lia minta tolong sekali pasangkan penyambung gas ‘tu” Lia menjelaskan dengan jelas, seolah itu benar-benar nyata. Namun entahlah, aku hanya terdiam.

Dengan tenang aku seolah tak ingin memperpanjang masalah itu. aku layani Hamid selayaknya melayani tamu yang bertandang kerumah orang. Kami bercerita panjang lebar soal sastra dan ketenaran Hamid. Hamid memang luar biasa. Dialah pemegang tahta sastrawan di Kota Gurindam itu. Kini dialah yang dekat dengan pemimpin negeri ini. Hal itu juga yang membuat dia menguasai segala proyek perhelatan seni. Namun kadang aku heran, kenapa Hamid menjadi Mansur atau makan surang atau makan sendiri tanpa mengajak aku dalam segala hiruk pikuk berkesenian di Kota Gurindam itu, atau memang Hamid ingin membalas dendam padaku karena itu aku juga tak pernah mengajaknya dalam segala perhelatan seni di Kota Gurindam itu. Entahlah, aku coba menghilangkan segala su’uzon itu.

$$$

Mentari kembali bersinar di hari esoknya. Allah masih memberikan izin kepadaku untuk menatap senyum mentari hari itu. Namun senyumnya tak sesumringah semalam, yang terik menertawakan dunia. Kota Gurindam hari itu sepertinya akan dikunjungi hujan. Pagi itu terlihat awan hitam mulai mengantri untuk melakukan proses penguapan air laut atau kondensasi. Mungkin siang nanti hujan mulai bernyanyi di Kota Gurindam. Namun dengan kondisi cuaca yang seperti itu, aku tak menyerah. Hari itu aku akan coba menjumpai temanku yang bekerja di sebuah Koran lokal, meski bukan Koran yang ternama, namun jadilah kalau aku dapat berkerja disitu, asalkan aku bisa mendapat gaji yang layak dan cukup untuk membuat dapurku berasap kembali. Aku berpamitan dengan Dahlia pagi itu. ketika jam menunjukkan pukul 09.00 Wib. Aku melangkahkan kakiku dengan penuh yakin, Allah akan mendengarkan keluhan hambaNya.

Sampailah aku di kantor Koran temanku itu. kami bertemu dan bersembang dengan beberapa obrolan. Puji syukur. Aku akhirnya dapat diterima bekerja di Koran itu. sebagai redaktur budaya. Betapa aku sangat bersyukur pada Allah yang telah mendengar keluhan hambaNya. Kesenangan hatiku disambut dengan turunnya hujan dengan deras yang menghias Kota Gurindam. Namun meski hujan, aku ingin sampaikan pada Dahlia, kalau aku telah mendapatkan sebuah pekerjaan. Hujan deras aku terobos. Aku naiki angkot langsung menuju rumahku. Sampai aku tiba juga di rumahku.

Aku tiba dirumahku, hujan masih bermain dengan rintiknya menemaniku sampai kerumah, sehingga badanku sedikit kuyup. Namun kabar gembira itu, telah memberikan kehangatan padaku. Sehingga aku tak memperdulikan kuyup badanku. Aku melihat pintu rumah tidak tertutup dan tidak ada lagi sepatu mewah yang mencurigakanku lagi. Aku membuka sepatuku yang basah, kulepas kaos kakiku. Ku ucapkan salam. Namun tidak ada yang menjawab, padahal rumah dengan tipe-36 itu dengan suara pelanku akan terdengar sampai ke bagian dapur. Pasti Lia sedang tidur, bisik hatiku. Aku melangkah menuju pintu. Namun…!

Suara itu, suara suling wanita yang sedang bergejolak bermain ombak. Suara alunan kenikmatan dalam kesyahduan yang didukung suasana hujan. Suara itu, ya suara yang sering aku dengar, ketika aku dan Dahlia bermain kecapi cinta kami. Suara kehangatan. Suara kedamaian, suara yang berakhir dengan peluh kepuasan. Namun siapa yang memainkan kecapi cinta itu, sehingga suara itu mengalun dengan merdunya. Aku melangkah pelan menuju pintu kamarku yang tampaknya terbuka tak lebih dari sepuluh sentimeter. Aku coba mengintip. TERNYATA…! Jantungku mengeluarkan magma amarah, mataku meneteskan air bah tsunami. TIDAAAAAKKK…! Hamid….? Ya, Hamid. Dia dan Dahlia sedang bermain kecapi cintaku. Mataku menatap, kuldinya telah terpetik tangan haram, lembahnya telah dihunjam ranting busuk. Aku tersontak. Namun aku mundur selangkah demi selangkah. Panikku mengantarkan aku ke dapur, sebilah pisau tertawa padaku sambil berkata “ambil aku, dan putuskan tali kecapi cinta mereka”. Aku kalap, aku hantam pintu yang terbuka sepuluh sentimeter tadi. Aku bancuh kenikmatan yang sedang membara antar Hamid dan Dahlia dengan panik dan kalapku. Simbah merah darah membasahi katil kehormatanku dulu bersama Dahlia. Dua sejoli haram itu, telah ku tebas urat nadi lehernya. Menjadikan mereka lebih cepat menjumpai Sang Penciptanya. Mati dalam kenikmatan kesyahduan, dan kehangatan  yang tabu. Tak kusangka Dahlia, istriku melakukan hal yang bejat dengan teman karibku, Hamid, yang sehari sebelumnya  ada dirumahku, bersama istriku dan sempat pula bersembang kata-kata denganku. Kini mereka mati dalam kebejatan itu.

$$$

Dulu, aku adalah sastrawan, lalu menjadi pecundang, kini menjadi narapidana, namun tak pernah sesal dalam otakku tersusun dengan apa yang aku lakukan. Kini aku juga redaktur sastra namun bukan di sebuah media. Melainkan redaktur kehidupan di lembaga pemasyarakatan. Kejadian bejat itu, telah menghantarkan aku pada sebuah tulisan yang paling sempurna bagiku. Kejadian bejat itu, aku rangkai menjadi madah berjudul “ Sajak El Maut “, sajak yang bercerita tentang matinya aku sebagai sastrawan dan matinya kisah kehidupanku yang aku porak-porandakan,  terlebih lagi dengan kejadian yang juga telah membinasakan semua kisahku sebagai manusia yang mengalun madah.

Tanjungpinang, 13 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun