SAJAK “ EL – MAUT “
Rendra Setyadiharja
Sinar lampu menyinari panggung yang terbangun megah di tepi laut Kota Gurindam. Iringan musik instrumental Melayu dengan rentak khasnya mengema dan memberi rias acara perhelatan seni itu. Maka syahdan, di Kota Gurindam ini, telah banyak mencetak para penyair dan sastrawan. Bahkan Kota Gurindam ini merupakan tanah atau kampung halaman sang Presiden Penyair yang namanya telah mahsyur dikalangan penyair di seantero republik ini yaitu Sutardji Calzoum Bachri. Di Kota Gurindam ini, Bapak Bahasa Indonesia yaitu Raja Ali Haji dilahirkan dan kini jasadnya disemayamkan. Itulah kota kami, Kota Gurindam si Negeri Pantun.
Detik jam berkata, bahwa aku sekarang sedang menunjukkan pukul 20.00 Wib. perhelatan itu dibuka oleh pembawa acara dan disambut tepukan meriah dari para penonton yang menyaksikan perhelatan seni itu. Acara demi acara berlangsung. Ada juga petuah, sepatah kata dari pemimpin negeri kota itu. Tibalah aku, sang penyair yang dijuluki orang dengan Penyair Rajam. Karena sajak-sajakku selalu merajam kehidupan, menyinggung penyimpangan dan mengejek keburukan kelaku para pejabat yang tak baik di negeri itu. Langkahku menderakkan panggung perhelatan seni itu, sinar lampu pun menyinari tubuhku. Gemuruh tepukan pun sahut terdengar ditelingaku.
Mulai aku dari judul madah puisi yang ku racik dengan segala rasa. Aku membacanya bait perbait. Seketika tiba di klimaks puisi itu, aku pun bergaya gaya dengan penuh penghayatan terhadap kata-kata yang aku ucapkan diatas panggung itu. Kemudian sampailah aku pada muara kataku. Ku khatamkan puisiku untuk malam itu. Tepukan pun bergemuruh kembali, bangga atas penampilan Sang Penyair Rajam yang konon kata orang “Akulah Sultan Sang Penyair di Negeri”. Aku menuruni tangga dengan perasaan bangga dan berbisik sedikit kesombongan dihatiku. Akulah yang terhebat. Tanganku dirangkul oleh seorang gadis cantik berkulit halus, berkuldi ranum, berambut lurus hitam harum semerbak mawar di taman. Dialah Dahlia, istriku tercinta.
$$$
Lima tahun yang lalu itu, aku masih menjadi raja, masih menjadi sultan atau bahkan Yang Dipertuan Muda dalam dunia sastra itu. Bukan hanya itu, aku selalu menjadi manager dalam setiap perhelatan seni, segela macam proyek berkesenian telah membawa aku pada kekayaan. Aku sang yang menguasai segala fi’il yang terkait dengan acara kesenian. Kota Gurindam itu pun menjadi pendukungku untuk menjadi kaya lewat seni. Karena di kota ini, seniman dan sastrawan memang benar-benar dihidupkan. Tuahlah badan hidup di kota budaya ini. Namun memang benar adanya, roda akan selalu berputar. Malaikat Mikail sang perantara Ya Razak, memang selalu membagikan rezeki kepada semua insan sesuai dengan takarannya. Tak mampu manusia bersombong kini, namun akan papakedana nantinya. Karena sesungguhnya tahta, jabatan dan gelar hanya milikNya. Kini namaku sebagai penyair rajam tak setenar dulu. Lima tahun sejarah telah berkata lain padaku. Melukiskan sebuah keironisan dalam hidupku. Aku tak lagi jadi penyair yang kaya. Meski aku masih kaya akan kata. Namun aku miskin harta.
Kelahiran penyair di kotaku bak jamur yang tumbuh dihari hujan. Sehingga bebatuan yang telah besar pun ditaklukkan. Oleh karena itu, tahtaku telah diduduki oleh penyair lainnya. Segala proyek perhelatan seni yang dulu aku rajai telah juga berganti ke tangan lain. Sehingga habislah aku, papakedana sedikit demi sedikit. Semakin lama, asap di dapurku pun menipis.
Syahdan, Dahlia istriku adalah seorang mualaf yang masuk Islam ketika pernah membaca sebuah sajakku. Ia terperangkap dalam madah aksaraku, sehingga ia penasaran dan akhirnya masuk Islam dan menikah denganku. Sebenarnya bukan karena sajakku yang membawanya ke dalam Islam, namun karena ia lebih mencintai hartaku yang saat itu aku sedang berada di atas daun sebagai seorang penyair ternama di Kota Gurindam itu. Honorku membaca sebuah puisi saja mungkin bisa membelikan ia sebuah cincin emas yang bermata intan. Belum lagi keuntungan dari proyek seni yang aku kuasai saat itu. Saat itu aku memang sedang di atas angin. Sehingga ketika angin itu bertiup, angin itu pun membawa aku gugur layaknya daun yang gugur ke tanah.
Sekarang setelah aku gugur ke rerumputan, iman istriku pun pudar seiring pudar juga cintanya padaku. Bukan hanya itu, tiga tahun pernikahanku dengan istriku Dahlia, belum juga diberikan zuriat. Sehingga dengan dalih itulah, cintaku istriku memudar dari hari ke hari. Siang itu, aku sedang tidak dirumah. Hari dimana mentari meneriakkan panas sehingga membahangkan dunia dengan panasnya. Aku berjalan bertemankan debu dan panasnya siang. Aku menelusuri jalan. Niatku adalah memperbaiki dapurku yang sudah lama berasap halus. Aku ingin bekerja. Hari itu aku mencoba melamar disebuah kantor Koran. Mungkin saja, dengan namaku yang dulu, aku bisa menjadi seorang editor, minimal dirubrik sastranya. Namun, dunia memang aneh, ketenaranku dulu, tak bisa menyelamatkan aku dan memudahkan aku mencari kerja. Aku jadi heran, apa tidak cukup semua nama dan ketenaranku dulu sebagai seorang penyair. Atau aku saja yang tak tahu, bahwa aku memang tak bagus, atau dulu itu hanya ketenaran semu yang diberikan khalayak kepadaku. Siapa yang salah sebenarnya ?
Bak si “Lebai Malang“, aku kembali ke istanaku bertipe-36, disebuah perumahan, rumah itu pun adalah rumah yang paling kecil setelah rumah-rumah besarku ku jual semuanya, untuk biaya hidup setelah aku terpuruk ditelan zaman. Entah, kenapa diriku ini, terkadang aku heran, kenapa ku bisa seterpuruk ini. Kalau pun zaman berganti, namun zaman pun tahu belas kasihan kepadaku, takkanlah aku bisa seterpuruk ini.