Mentari kembali bersinar di hari esoknya. Allah masih memberikan izin kepadaku untuk menatap senyum mentari hari itu. Namun senyumnya tak sesumringah semalam, yang terik menertawakan dunia. Kota Gurindam hari itu sepertinya akan dikunjungi hujan. Pagi itu terlihat awan hitam mulai mengantri untuk melakukan proses penguapan air laut atau kondensasi. Mungkin siang nanti hujan mulai bernyanyi di Kota Gurindam. Namun dengan kondisi cuaca yang seperti itu, aku tak menyerah. Hari itu aku akan coba menjumpai temanku yang bekerja di sebuah Koran lokal, meski bukan Koran yang ternama, namun jadilah kalau aku dapat berkerja disitu, asalkan aku bisa mendapat gaji yang layak dan cukup untuk membuat dapurku berasap kembali. Aku berpamitan dengan Dahlia pagi itu. ketika jam menunjukkan pukul 09.00 Wib. Aku melangkahkan kakiku dengan penuh yakin, Allah akan mendengarkan keluhan hambaNya.
Sampailah aku di kantor Koran temanku itu. kami bertemu dan bersembang dengan beberapa obrolan. Puji syukur. Aku akhirnya dapat diterima bekerja di Koran itu. sebagai redaktur budaya. Betapa aku sangat bersyukur pada Allah yang telah mendengar keluhan hambaNya. Kesenangan hatiku disambut dengan turunnya hujan dengan deras yang menghias Kota Gurindam. Namun meski hujan, aku ingin sampaikan pada Dahlia, kalau aku telah mendapatkan sebuah pekerjaan. Hujan deras aku terobos. Aku naiki angkot langsung menuju rumahku. Sampai aku tiba juga di rumahku.
Aku tiba dirumahku, hujan masih bermain dengan rintiknya menemaniku sampai kerumah, sehingga badanku sedikit kuyup. Namun kabar gembira itu, telah memberikan kehangatan padaku. Sehingga aku tak memperdulikan kuyup badanku. Aku melihat pintu rumah tidak tertutup dan tidak ada lagi sepatu mewah yang mencurigakanku lagi. Aku membuka sepatuku yang basah, kulepas kaos kakiku. Ku ucapkan salam. Namun tidak ada yang menjawab, padahal rumah dengan tipe-36 itu dengan suara pelanku akan terdengar sampai ke bagian dapur. Pasti Lia sedang tidur, bisik hatiku. Aku melangkah menuju pintu. Namun…!
Suara itu, suara suling wanita yang sedang bergejolak bermain ombak. Suara alunan kenikmatan dalam kesyahduan yang didukung suasana hujan. Suara itu, ya suara yang sering aku dengar, ketika aku dan Dahlia bermain kecapi cinta kami. Suara kehangatan. Suara kedamaian, suara yang berakhir dengan peluh kepuasan. Namun siapa yang memainkan kecapi cinta itu, sehingga suara itu mengalun dengan merdunya. Aku melangkah pelan menuju pintu kamarku yang tampaknya terbuka tak lebih dari sepuluh sentimeter. Aku coba mengintip. TERNYATA…! Jantungku mengeluarkan magma amarah, mataku meneteskan air bah tsunami. TIDAAAAAKKK…! Hamid….? Ya, Hamid. Dia dan Dahlia sedang bermain kecapi cintaku. Mataku menatap, kuldinya telah terpetik tangan haram, lembahnya telah dihunjam ranting busuk. Aku tersontak. Namun aku mundur selangkah demi selangkah. Panikku mengantarkan aku ke dapur, sebilah pisau tertawa padaku sambil berkata “ambil aku, dan putuskan tali kecapi cinta mereka”. Aku kalap, aku hantam pintu yang terbuka sepuluh sentimeter tadi. Aku bancuh kenikmatan yang sedang membara antar Hamid dan Dahlia dengan panik dan kalapku. Simbah merah darah membasahi katil kehormatanku dulu bersama Dahlia. Dua sejoli haram itu, telah ku tebas urat nadi lehernya. Menjadikan mereka lebih cepat menjumpai Sang Penciptanya. Mati dalam kenikmatan kesyahduan, dan kehangatan yang tabu. Tak kusangka Dahlia, istriku melakukan hal yang bejat dengan teman karibku, Hamid, yang sehari sebelumnya ada dirumahku, bersama istriku dan sempat pula bersembang kata-kata denganku. Kini mereka mati dalam kebejatan itu.
$$$
Dulu, aku adalah sastrawan, lalu menjadi pecundang, kini menjadi narapidana, namun tak pernah sesal dalam otakku tersusun dengan apa yang aku lakukan. Kini aku juga redaktur sastra namun bukan di sebuah media. Melainkan redaktur kehidupan di lembaga pemasyarakatan. Kejadian bejat itu, telah menghantarkan aku pada sebuah tulisan yang paling sempurna bagiku. Kejadian bejat itu, aku rangkai menjadi madah berjudul “ Sajak El Maut “, sajak yang bercerita tentang matinya aku sebagai sastrawan dan matinya kisah kehidupanku yang aku porak-porandakan, terlebih lagi dengan kejadian yang juga telah membinasakan semua kisahku sebagai manusia yang mengalun madah.
Tanjungpinang, 13 Mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H