Langkahku akhirnya telah membawa aku sampai di rumahku. Sebelum aku masuk, aku melihat ada sebuah sepatu kulit berwarna cokelat. Rasanya aku tidak punya sepatu seperti itu. kelihatannya mewah dan tampak mahal. Aneh, sepatu siapa ini. bisik hatiku kecil. Namun seribu alasan, mindaku coba merangkai, agar tak timbul syak wasangka berlebihan dalam otakku. Aku membuka pintu. Aku mendengar suara sendok yang berdenting di gelas bagai seorang membuat air. Mmmh…!, senyum simpulku terajut kembali. Istriku masih mau membuatkan teh atau kopi untukku. Kebetulan aku pun sedang haus berat, setelah bercanda dengan panas diluar tadi. Bisik hatiku perlahan. Langkahku ku ayunkan menuju suara gelas itu. Haah…! Betapa jantungku ingin terlepas. Istriku sedang berdua dengan seorang temanku. Iya., dia bahkan teman seperjuanganku dalam berkarya. Dialah Hamid. Sekarang dialah yang bertahta sebagai seorang penyair hebat di Kota Gurindam itu. Namun kenapa ia ada bersama istriku. Rumah pun dalam keadaan tertutup tadi. Aku tak mau menurut emosiku, yang seakan akan ingin membunuh dua sejoli tak pantas itu. Namun aku, melangkah tenang. Dahlia, istriku dan Halid tersontak kaget. Mereka segera mengatur barisan seakan akan berbaris didepan jenderal perangnya.
“Lia, sedang apa kau berdua dengan Hamid di dapur ‘ni?” tanyaku dengan rasa tenang yang bergejolak amarah.
“E…ee..abang, sudah pulangkah dirimu sayang…?” balas istriku gak tergagap dan langsung mendekati aku.
“Awak Mid, kenapa pula awak berdua dengan bini aku ?” tanya masih dengan nada tenang.
“Ops…! Tenang dulu Man, dengarkan dulu penjelasan aku, jangan menaruh curiga dulu, tadi bini kau ‘ni minta tolong aku untuk memasangkan sambungan gas kau ‘ni, kebetulan dia tengah membuat air untuk aku yang bertamu kerumah kau” jawab Hamid dengan muka dan mata yang agak aneh. Sepertinya ia hanya pandai menyusun kata-kata sebagai alasan. Maklumlah penyair konon. Pandai bermadah.
“Lalu kenapa pintu tertutup Lia?” tanyaku kembali kepada istriku.
“Itu tadi karena diluar ada petir bang, jadi Lia tutup, takut bang”.
“Ai, panas berdengkang macam ‘ni ada petir ke?” balasku sedikit heran.
“Iya bang, cuaca panas macam ‘ni tandanya nak hujan, jadi memang ada petir tadi, tanya saja sama tetangga sebelah kalau tak percaya, Lia tak macam-macamlah dirumah bang, lagipun tadi bang Hamid hanya bertamu dirumah kita, dia ‘nak jumpa abang, namun abang tak ada dirumah, jadi Lia suruh tunggu aja. Lagi menunggu, petir meletup, Lia tutup pintunya, ketika Lia ‘nak buat air teh untuk tamu kita ‘ni, Lia minta tolong sekali pasangkan penyambung gas ‘tu” Lia menjelaskan dengan jelas, seolah itu benar-benar nyata. Namun entahlah, aku hanya terdiam.
Dengan tenang aku seolah tak ingin memperpanjang masalah itu. aku layani Hamid selayaknya melayani tamu yang bertandang kerumah orang. Kami bercerita panjang lebar soal sastra dan ketenaran Hamid. Hamid memang luar biasa. Dialah pemegang tahta sastrawan di Kota Gurindam itu. Kini dialah yang dekat dengan pemimpin negeri ini. Hal itu juga yang membuat dia menguasai segala proyek perhelatan seni. Namun kadang aku heran, kenapa Hamid menjadi Mansur atau makan surang atau makan sendiri tanpa mengajak aku dalam segala hiruk pikuk berkesenian di Kota Gurindam itu, atau memang Hamid ingin membalas dendam padaku karena itu aku juga tak pernah mengajaknya dalam segala perhelatan seni di Kota Gurindam itu. Entahlah, aku coba menghilangkan segala su’uzon itu.
$$$