Dengan iringan isakan, Mak Limah hanya bisa mengangguk dipelukan suaminya.
“Sudahlah Limah, tak banyak lagi yang dapat kita lakukan terhadap kelakuan budak-budak ‘tu Limah, biarkan saja Allah yang menunjukkan kepada mereka, atas perbuatan mereka itu. sekarang, awak berehat saja Limah, bilik ini biarkan abang yang kemas, begitu juga dengan adonan kue itu. Besok awak tak usahlah berjualan dulu, Alhamdulillah rezeki hari ini, dapat mengasapkan dapur kita Limah”
Dengan penuh kasih sayang, Wak Atan perlahan membaringkan Mak Limah di katil bilik itu. Setelah itu, ia pun membereskan semua pakaian dan barang-barang yang telah berkecah di dalam bilik, kemudian ia mengemas, alat-alat dan adonan kue istrinya di ruang tengah.
Fajar menyembulkan senyumnya, malam kelam itu telah dilewati oleh Mak Limah dan Wak Atan. Kejadian seperti malam tadi bukanlah malam pertama bagi Mak Limah dan Wak Atan. Sudah sangat sering kedua anaknya mengamuk. Namun apalah daya kedua orang lanjut usia itu. Wak Atan dan Mak Limah hanya bisa terdiam, dan bersabar melihat tingkah polah anaknya yang tak bisa lagi ditobatkan dengan nasehat orang tua.
Pagi cerah itu, Wak Atan sedang membersihkan alat sondongnya, dan memperbaiki beberapa bagian yang rusak pada alat sondong tersebut. Sementara Mak Limah sedang berada di dapur mengadon ulang tepung yang akan ia buat menjadi sebuah kue. Sebut saja nama kue itu adalah tepung gomak. Salah satu kue berwarna hijau yang bermandikan tepung di bagian badan kue tersebut. Tepung gomaklah yang selama ini Mak Limah jual baik dengan cara berjaja atau dititipkan di warung dekat rumahnya.
Suasana rumah tua di pesisir pantai itu masih hening, hanya deburan ombak genit saja yang mengusik suasana heningnya pagi itu. pelantar di pesisir Negeri Pantun itu sudah berderak dengan kuat. Langkah kaki melaju dengan tatapan mata tajam. Hembusannya nafasnya masih bau minuman neraka itu yaitu khamar. Langkah kaki kekarnya terayun dengan tegap, ada aroma keberingasan tampaknya. Dari derak pelantar itu, tampaknya bukan hanya seorang yang berjalan dengan langkah yang kuat dan tegas itu. Ternyata mereka lanon keluarga Wak Atan. Siapa lagi kalau bukan Zul dan Mat. Pagi itu entah kelaku apa lagi yang meraka ingin lakukan. Kedua manusia yang seharusnya dikutuk jadi batu atau pulau atau apa saja bak dongeng dimasa lalu, melangkah dengan penuh keberingasan. Arah langkah mereka tampaknya menuju kerumah mereka. Ternyata benar. Zul dan Mat menuju rumahnya.
Beberapa meter sebelum masuk kerumah, Zul dan Mat berhenti sejenak dan melihat ayahnya Wak Atan sedang duduk di beranda rumah kayu tua di tepian pantai itu. Kedua adik beradik itu saling menatap dengan tampang penuh dengan kebencian terhadap orang tuanya yang hanya tukang sondong dan penjual kue.
“Apa lagi yang ‘nak kita rampas dari orang tua kita yang miskin papakedana ‘tu bang?” tanya Mat kepada Zul.
“Kau tenang saja” jawab Zul dengan tampang yang sedikit memikirkan rencana mereka selanjutnya untuk mendapatkan barang atau uang yang tak lain tak bukan mereka ingin gunakan untuk berjudi, tapi, entahlah pagi itu, masih belum tobat juga mungkin kedua pemuda itu, setelah semalam membuat emaknya menangis dengan kelaku mereka.
“Jom kita kerumah, aku tahu, barang apa yang kita akan ambil, lalu kita jual, dari hasil menjual barang itu, kita bisa main judi lagi” Zul mengajak Mat masuk ke rumah.
Dengan langkah cepat Zul langsung merampas sondong yang sedang dibersihkan ayahnya Wak Atan. Wak Atan pun langsung jatuh terduduk di lantai setelah sondong kesayangannya dirampas oleh anaknya.