“Iyalah mak, kami ‘nak jadi orang kaya, bukan ‘nak jadi penjual kue macam mak, atau jadi tukang sondong macam ayah, lihat Toke Sie Lie ‘tu, kaya, punya mobil, punya istri dua, punya rumah besar. Bukan macam kita, jadi penyondong ‘tu tak kaya. Kalau tak kaya mana bisa dapat bini oi mak”
“Astagfirullah Nak, ayah awak sibuk menyondong, berdingin-dingin di tepian pantai ‘tu Nak. Sampai hati kau bercakap macam itu”
Tiba-tiba kayu lantai rumah berderak kuat. Mat rupanya bangkit dari baringnya, ia langsung berdiri dan masuk menuju bilik orang tuanya. Mak Limah langsung bangkit dan menuju masuk ke biliknya mengikuti Mat yang masuk ke bilik. Didalam bilik itu ternyata Mat mencari dimana Mak Limah menyembunyikan uang.
“Mak…! Mana uang hasil mak jual kue ‘tu? Beri kami sini, mak banyak cakap saja, kami ‘ni ‘nak main judi lagi, bukan ‘nak bercakap atau meratap nasib sebagai anak tukang sondong tak guna tu” ujar Mat dengar suara keras, yang mengancam Mak Limah.
“Mat,…sampai hati kau Nak ambil juga uang hasil jual kue ‘tu, itulah yang membuat dapur kita berasap Nak, lagipun itu tak banyak Nak, dengan apa lagi nanti mak ‘nak beli bahan kue Nak” Mak Limah bertutur dengan berlinang airmata yang tak dapat dibendung lagi.
Mak Limah memang tak dapat bersikap banyak terhadap kelakuan anaknya itu. Hanya bisa meratap tangis pilu. Sementara Mat terus mengobrak-abrik bilik itu. tiba-tiba masuk juga abangnya Zul. Namun Setali tiga uang, atau dua dikali lima, Zul malah mengancam Mak Limah, ibunya
“Mana uangnya mak…! Kami ‘nak main judi lagi ‘ni, cepatlah…!, ‘nak jadi kaya tak? Mana uangnya, beri sajalah dengan kami, tak guna juga jual kue ‘tu, tak laku-laku juga”
Mak Limah hanya bisa menangis dan mengurut dada, dengan berat hati, Mak Limah menunjukkan tempat ia menyimpan uang. Sebuah lemari tua, adalah bank bagi Mak Limah menyimpan penghasilan suaminya sebagai tukang sondong dan juga hasil penjualan kuenya. Memang tak banyak, hanya selembar uang lima puluh ribu, dan dua buah uang duapuluh ribu. Hanya sembilan puluh ribu yang tersimpan untuk hari itu. namun uang yang kurang dari seratus ribu itu akhirnya tertawan oleh Zul dan Mat, lemari kayu tua itu dibuka paksa dan isinya diserak-serakkan kemudian dapatlah mereka uang yang tak seberapa itu. mereka pun keluar dari bilik dan keluar dari rumah. Berjudi kembali. Itulah Zul dan Mat.
Mak Limah hanya tertunduk diam, menangis meratap nasib mempunyai anak seperti mereka. Mungkin kata orang kenapa tak sumpah saja layaknya Malin Kundang. Sudah tak zamannya lagi sumpang menyumpah. Tak berlaku lagi sumpah di abad ini. Apa lagi yang bisa dilakukan hanya selain hanya meratap nasib itu.
Satu jam kemudian, pulanglah sang suami, Wak Atan. Ketika Wak Atan melangkahkan kakinya masuk kerumah, terdengarlah sebuah isakan wanita setengah tua dari dalam sebuah bilik. Wan Atan langsung menuju suara isakan itu, ia tahu pasti itu suara istrinya Mak Limah yang sedang menangis. Ketika Wak Atan masuk ke dalam bilik, ia sangat kaget dengan kondisi kamar yang berkecah layaknya kapal pecah. Tampaklah oleh Wak Atan, istrinya sedang terduduk menangis di katil tempat peraduannya. Wak Atan langsung mendekati istrinya dan memeluk istrinya.
“Ada apakah gerangan yang terjadi Limah, anak kita mengamuk lagikah?” Wak Atan bertanya pada istrinya.