SONDONG KEPILUAN
Rendra Setyadiharja
Setiap pagi, disini kami menatap lautan yang selalu bernyanyi dengan ombaknya. Setiap hari kami mencium bau lumpur atau bau asin air laut yang selalu menegur rumah kayu panggung kami. Kami tak pernah bermimpi untuk bisa hidup dan bermain didalam rumah yang dingin dengan dinding beton dan juga merasakan angin elektronik atau Ac. Disini kami hanya merasakan angin laut yang selalu setia bermain dengan kami.
Tersebutlah kisah ini di sebuah kota di Negeri Pantun. Kisah seorang yang tak pernah menyerah melayani hidupnya sebagai seorang tukang sondong, yaitu seorang penangkap udang di tepian pantai. Maka tersebutlah sebuat nama yaitu Wak Atan. Dialah laki-laki yang tak pernah berkeluh kesah melayani hidupnya dan keluarganya, walaupun hanya seorang tukang sondong. Apakah Wak Atan terlalu mencintai pekerjaannya sebagai tukang sondong ? ternyata tidak wahai saudara, kehidupannya sebagai tukang sondong memang salah kehidupannya. Salah kisah hidupnya yang memang lebih mencintai sondongnya dari pada ilmunya. Tapi sekarang udang tak lagi sekampung banyaknya, namun apalagi yang akan dilakukan, walaupun udang tinggal sekantong pun, sondong tetaplah sondong.
Wak Atan beristri dengan seorang penjual kue. Istrinya ini bernama Limah, atau sering di panggil Mak Limah. Dari perkawinannya dengan Mak Limah, Wak Atan memiliki dua orang anak yaitu Zul dan Mat. Kedua anak laki-laki Wak Atan ini ternyata memiliki kisah hidup yang lebih buruk dari ayahnya yang hanya sebagai tukang sondong. jangan kata nak berlumpur menyondong. Kerjanya hanya berjudi saja. Karena mereka berpikir hanya judi yang menjadikan mereka cepat kaya. Tak perlu sekolah, tak perlu Nyondong mereka bakal akan kaya. Karena mereka berdua melihat tetanggannya Sie Lie menjadi orang kaya karena hasil berjudi di Singapura. Memang orang kampung, tak bisa membedakan judi kelas teri dan kelas paus. Berkali-kali kalah main judi tetap saja mereka tak nak menyerah dari pekerjaan haram itu. Berkali-kali tertangkap basah karena razia aparat, tak juga jera akan permainan setan itu. Memang dah beranak pinak agaknya setan dikepala Zul dan Mat.
Sementara Wak Atan tak bisa lagi dapat bercakap atas kelakukan anak-anaknya yang sama sekali tak pernah bisa memberikan faedah kepada kehidupan keluarga mereka. Suatu malam, Mak Limah, istri Wak Atan tengah asik mengadon bahan-bahan kue yang akan dijualnya esok hari. Sementara Wak Atan belum pulang lagi dari pekerjaan sehari-harinya yaitu menyondong. Biasanya menyondong memang dilakukan malam hari oleh tukang sondong di kota kami. Tiba-tiba dengan kondisi setengah mabuk, Zul dan Mat pulang.
“Draakkk…!” suara pintu kayu rumah Awak Atan yang dibuka keras oleh kedua anaknya itu.
“Astaghfirullah…!, Zul, Mat. Apa yang kalian buat ‘ni Nak, pulang-pulang tak pakai salam, tak pakai ketok baik-baik, kenapa langsung mendobrak pintu macam ini nak?” ujar Mak Limah yang terkejut melihat anaknya yang memasuki rumah dengan tidak sopan.
Zul terbaring di kursi, sementara Mat, terkapar dilantai rumah. Mak Limah mendekati mereka berdua. Mak Limah merasa kasihan dengan anaknya itu, dia coba duduk disamping Zul yang terbaring di kursi. namun lain kasih ibu yang tergambar di raut wajah Mak Limah, lain pula sikap sang anak. Zul bangun dan menatap mata ibunya.
“Mak minta duit, kami nak main judi lagi, belum menang lagi ‘ni” ujar Zul seiring hardikan yang kuat membuat Mak Limah terkejut.
“Ya Allah Nak, sudah mabuk macam itu pun ‘nak main judi lagi ?”