keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang seorang anak. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi seorang anak, sebelum mereka mengenal lembaga pendidikan lainnya (Munib, 2016:77). Penelitian Arifin (2022) menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam mendukung pendidikan siswa di rumah. Pendidikan yang diterima di lingkungan keluarga tidak hanya mencakup aspek akademis, tetapi juga non-akademis, seperti nilai-nilai kehidupan, budi pekerti, serta keterampilan sosial yang tentunya sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku anak kedepannya.
LingkunganLingkungan keluarga yang baik membantu anak dalam pengembangan kognitif yang lebih baik (Rashmi, 2016: 54). Dalam konteks ini, lingkungan keluarga yang baik terdiri dari beberapa elemen kunci. Pertama, yaitu komunikasi yang terbuka dan saling menghormati antar anggota keluarga. Ketika orang tua memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak, terciptalah suasana yang aman dan nyaman. Dengan demikian, anak merasa dihargai dan didukung dalam setiap usaha yang mereka lakukan. Selain itu, adanya lingkungan yang tenang dan harmonis, serta bebas dari konflik, tentunya berkontribusi pada stabilitas emosional anak, sehingga mereka merasa dapat lebih fokus pada pembelajaran dan pengembangan diri mereka.
Selanjutnya, lingkungan keluarga yang baik juga ditandai dengan keteladanan yang diberikan oleh orang tua. Sebagai panutan, orang tua menunjukkan nilai-nilai seperti kejujuran, kerja sama, dan rasa hormat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memberikan pendidikan yang baik serta mendukung minat dan bakat anak, orang tua berperan penting dalam membantu anak mengembangkan potensi mereka secara optimal. Situasi keluarga yang mendukung dapat memberikan efek positif yang berdampak pada peningkatan pada motivasi belajar siswa (Zuhrotunnisak, 2018). Sebaliknya, lingkungan keluarga yang kurang mendukung dapat menciptakan lingkungan yang tidak kondusif, sehingga anak menjadi kurang fokus dan merasa tertekan sehingga akan berdampak pada menurunnya motivasi mereka untuk belajar. Lingkungan keluarga yang tidak kondusif adalah di mana seorang anak di dalam keluarga tidak menerima dukungan emosional, perhatian, serta rasa aman yang cukup.
Lingkungan keluarga yang tidak kondusif dapat dikenali melalui berbagai karakteristik tertentu. Beberapa di antaranya adalah adanya konflik internal antara kedua orang tua, penerapan pola asuh yang terlalu keras atau otoriter, komunikasi yang kurang efektif, serta kurangnya kehadiran kedua orang tua dalam mendampingi proses belajar anak. Adanya konflik internal dan tekanan psikologis dalam lingkungan keluarga, dapat menyebabkan anak menjadi rentan terkena masalah mental dan psikis, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kualitas belajar mereka. Suasana keluarga yang harmonis dan kondusif akan mendorong anak untuk disiplin dalam proses pembelajaran, dan sebaliknya pada suasana keluarga yang tidak harmonis, kurang menyenangkan, ditambah dengan keterlibatan orang tua yang berlebihan dengan urusan pribadi mereka, serta kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan belajar, akan cenderung membuat siswa menjadi malas dalam belajar sehingga hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan pencapaian hasil belajar yang kurang memuaskan (Sasmito, dkk.,2012).
- Studi Kasus
Seorang anak berinisial A, siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), menghadapi kesulitan serius dalam berkonsentrasi selama belajar di sekolah. Masalah ini erat kaitannya dengan kondisi lingkungan keluarganya yang kurang mendukung. Ayahnya, yang terperangkap dalam rutinitas kerja yang padat, sering kali tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan A. Ketidakhadiran emosional ini semakin diperburuk oleh seringnya konflik antara kedua orang tuanya, menciptakan suasana tegang dan penuh kecemasan di rumah. A merasa ketakutan setiap kali mendengar suara pertengkaran, dan tentunya ini mengganggu ketenangannya, sehingga sulit baginya untuk fokus dalam belajar nya.
Pola asuh ayahnya yang keras serta otoriter menambah beban psikologis yang dirasakan A. Dalam pandangannya, ayahnya bukan hanya pelindung, tetapi juga sumber tekanan. Kata-kata merendahkan yang kerap dilontarkan membuatnya merasa tidak berharga dan kehilangan semangat belajar serta melanjutkan pendidikannya. Ketegangan di rumah membuat A cenderung memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya, berusaha mencari pelarian dari suasana yang tidak menyenangkan serta kekhawatiran yang menghantui. Meskipun berasal dari keluarga kelas menengah hingga atas di mana banyak orang menganggapnya memiliki segala yang dibutuhkan, namun A merasa kosong dan tidak bahagia dengan semua itu.
Di sekolah, A tampak sering melamun, terperangkap dalam pikirannya sendiri saat guru menjelaskan materi pelajaran. Ia kehilangan fokus dalam belajar, yang berdampak negatif pada prestasi akademiknya. Meskipun ayahnya bekerja di bidang yang relevan dengan jurusan yang diminatinya, kenyataannya, A tidak mendapatkan bimbingan atau dukungan belajar di rumah. Alih-alih merasa didampingi dan diarahkan.
Situasi ini merefleksikan dampak dari lingkungan keluarga yang tidak kondusif terhadap kualitas belajar anak. Ketidakharmonisan dalam keluarga, kurangnya perhatian dan dukungan emosional, serta kesibukan orang tua yang tidak menyediakan waktu untuk anak, berpotensi menghambat perkembangan akademik dan mental anak tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan ini, terdapat beberapa solusi yang berlandaskan teori-teori psikologi pendidikan yang dapat diterapkan, seperti pendekatan humanistik dan behavioristik. Kedua pendekatan ini memberikan arahan yang jelas mengenai cara membangun lingkungan rumah yang mendukung perkembangan akademis dan emosional anak.
1. Pendekatan Humanistik
Teori humanistik dalam psikologi, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Carl Rogers dan Abraham Maslow, menyoroti pemenuhan kebutuhan dasar manusia untuk meraih potensi optimalnya. Menurut Abraham Maslow, pendekatan humanistik berfokus pada pengkajian potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, dengan tujuan untuk mendukung perkembangan diri secara menyeluruh (Kurniawati, 2019). Pendekatan humanistik sangat sesuai untuk diterapkan pada anak berinisial A, mengingat penekanannya pada pemenuhan kebutuhan emosional dan pengembangan diri secara menyeluruh. Pendekatan ini menyoroti pentingnya memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti rasa aman dan kasih sayang, yang sangat relevan bagi A yang mengalami kecemasan akibat ketidakharmonisan di lingkungan keluarganya.