***
Sebelumnya : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Cacian pertama, Elenna tidak menghiraukan. Dan kali ini mereka benar-benar telah berada di dalam ruangan bersekat empat! Lelaki ini adalah Ferian, ia yang barusan saja membukakan pintu untuknya, dan menggiringnya masuk ke dalam.
——————
Ruangan yang lebih besar dari kamat hotel biasanya. Lebih besar dari tipe studio. Terdapat ruang tamu kecil dengan seperangkat sofa, seperangkat kamar tidur berukuran besar, seperangkat meja rias, almari besar, kulkas, lemari yang berisi bermacam wine dan meja kerja. Nuansa kamarnya sangat nyaman. Barangkali Ferian merancangnya untuk dirinnya sendiri. Kamar khusus yang ia rancang untuk ia tempati ketika ia sedang penat dan tak ingin pulang ke rumah seperti yang tadi ia katakan.
Ferian menuju jendela, ia membuka gorden, dari sana terlihat seluruh pemandangan di luar. Elenna menaruh tasnya di atas meja rias, dan menyusul Ferian berdiri dibalik jendela. Baru ia sadari langit Jakarta di malam hari jika dilihat dari sini memang seperti New York! Namun demikian, meski matanya menatap lurus ke luar, pikirannya masih belum mampu mengikuti arah matanya. Kosong. Melompong.
Ia berada di kamar hotel bersama seorang pria yang nota bene suami orang! Tak dapat disangkali, faktanya memang demikian. Meski ia tak melakukan hal tak senonoh sekalipun, jika ada wartawan infotaiment di depan dan mendobrak pintunya, maka penilainnya sudah berbeda tentu saja! Seorang istri pengusaha sedang berada di kamar hotel dengan pria lain. Tak perlu berpikir lama, dengan otak kosongpun tebakan orang akan mengarah ke hubungan seksual. Selingkuh. ML!
“Nikmati saja malam ini dengan santai” Ferian menyadarkan lamunan. Akibatnya suara Ferian yang merdu, efeknya sama dengan suara mercon di malam lebaran.
Nalarnya yang sejak tadi beku, kini perlahan mulai kembali ke batok kepalanya. Selamat tinggal harga diri!
Untuk apa meributkan harga diri? Bukankah melukis di atas kanvas yang ternoda jauh lebih indah ketimbang susah payah menghapus noda itu? Dalam kata lain kepalang tanggung, sudah basah ya nyebur aja sekalian!
Ferian menghempaskan tubuhnya di sofa, menatap bagian belakang tubuh Elenn yang terbuka dengan seksama. Gaun selutut berwarna hitam, dengan leluasa memamerkan pungguh mulus Elenn. Nyaris tidak ada setitikpun noda di sana. Kecuali tatto kupu-kupu tepat di bawah leher belakangnya. Betis jenjang yang telanjang itu adalah salah satu yang menjadi pusat perhatian kaum adam ketika kebetulan memergokinya. Tak terkecuali Ferian pada detik ini. Untuk sesaat, ia dibuat menahan nafas, jika saja Elenna tak balik badan.
Ferian sedikit tergagap dengan apa yang barusan dilakukan. Menonton pemandangan indah anugerah Tuhan secara langsung dan tertangkap basah, sama efeknya dengan lagi nyontek lalu ketahuan guru di jaman sekolah. Untuk menghilangkan kegugupanya, ia menuangkan wine di gelas yang menganga di hadapanya dan menenggaknya.
“Kamu adalah wanita pertama yang aku ajak ke sini, bahkan istriku saja nggak tau tempat persembunyianku di sini,” katanya. Ia telah menguasai diri dari kegugupannya.
Sorot matanya yang hangat, menjalar bagaikan setrum mengaliri tubuh Elenn. Untuk ke sekian kali, Elenn dibuatnya terpesona. Dan untuk ke sekilan kali pula, Elenn mengutuk-ngutuk di dalam hati.
Lelaki itu bangkit dari duduknya, tubuh atletis berbalut kemeja putih itu berjalan dengan gerak yang… alamaak… Sensualnya! Elenn nyaris tak berkedip. Ia menuju ranjang dan merebahkan dirinya di sana. Pandangannya lurus ke langit-langit. Kedua tanganya terhempas bebas, sementara kedua kakinya menjuntai ke lantai. Elenna masih berdiri mematung. Tanpa senyum. Meski demikian, ia sempat melirik bagian dada Ferian yang terlihat tegap, harapan konyolnya adalah, lelaki itu membuka kacing-kancing kemejanya dan membiarkan dirinya menonton six packnya.
Kekonyolan berikutnya adalah, jikapun malam ini iblis menguasai dirinya, barangkali ia tak kan menyesal. Ini adalah sekelebat pikiran gila yang mendadak mampir di batok kepalanya.
Ferian bangkit dan duduk di ujung pembaringan. Kancing bajunya terlepas satu. Bulu dadanya menyembul. Saat Elenn berjalan melewatinya menuju sofa, tangan Ferian mengulur dan menariknya hingga Elenn terduduk tepat di sebelahnya. Untuk sesaat Elenn menatap lelaki di sebelahnya tepat di manik matanya. Ada sorot yang tak bisa Elenn terka. Sorot redup yang kontan meluluhkan hatinya dan merontokkan seluruh tulang-tulang sendinya. Ia lemas.
Gila! Situasi sialan! Sungutnya di dalam hati. Elenna berdiri, mencoba melawan situasi yang dirasa sudah tak karuan. Jantungnya berdebar dan nyaris meloncat keluar!
Bukan Ferian namanya kalau diam saja. Lelaki itu kembali menarik Elenn, kali ini dengan kedua tangan, sedikit kasar! Dan itu nyaris membuat Elenn jatuh tersandung ke depan. Keadaan yang tak menguntungkan ini membuat tubuh Elenn kini berada dalam dekapan Ferian yang masih duduk di ujung ranjang.
Setan alas! Begundal jahanam! Elenna mengutuk karena mati gaya. Tak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali diam! Ia tak tau harus bersorak girang karena dipeluk iblis ganteng ini atau menamparnya kemudian meninggalkanya?
Pada akhirnya, ia membiarkan dekapan tangan Ferian memeluk tubuhnya. Oh God! Ini gila! Wajah Ferian berada tepat di perut Elenna. Ia memejamkan mata. Lalu berucap, “Temani aku malam ini…” Lirih, dengan sorot mata yang.. Astaga!! Elenn hampir semaput.
Pikiran-pikiran isengnya melanglang buana. Berdua dengan suami orang di dalam kamar hotel mewah, bisa saja ia melampiaskan libidonya dengan pria mapan dan mempesona ini. Tapi demi iblis-iblis yang menguasai kamar ini, ia masih punya kesadaran penuh bahwa ia sedang tak berhasrat!
Tapi bukan Elenna jika tak nakal. Ia menantang nalarnya, seberapa bisa ia bertahan. Ia ingin bermain-main untuk malam ini. Permainan yang mungkin bisa saja membuatnya jatuh ke dalam jurang tak berdasar, atau malah membawanya ke langit ke tujuh.
Barangkali seekor dedemit telah bercokol dalam tubuhnya hingga diam-diam kini berharap Ferian berbuat lebih. Ia ingin tau, seberapa sadis lelaki di hadapanya ini? Seberapa berani lelaki ini mengajaknya, dan seberapa ingin lelaki ini merayunya. Astaga! Elenn sendiri nyaris tak percaya dengan isi kepalanya yang tiba-tiba liar.
Tapi nampaknya Elenn sadar, Ferian bukan orang yang suka memaksa. Dengan ketampanan, kesuksesan, kemapaman, dan segala yang ada pada diri Ferian, ia tak akan menggunakan cara-cara paksaan untuk mendapatkan apa yang ia mau. Ia bukanlah pria ketengan yang sembarangan memaksa perempuan. Sepertinya ia paham betul, perempuan akan muak dengan cara-cara kampungan!
“Come on, Ferian… Lakukan apa yang kini mendorong pikiranmu..” Setan di hatinya berbisik.
Sementara reaksi hati dan tubuhnya bertolak belakang. Bukankah memang ini salah satu trik? Ketika seseorang jual mahal, kadang mulut dan hati memberikan reaksi yang terbalik. Dengan malas Elenna mendorong pelan tubuh Ferian ke belakang. Mengendurkan pelukannya.
“Aku harus pulang…,” ucap Elenna. Ia sendiri sadar ada bobot kepura-puraan dalan suara yang barusan ia keluarkan. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu kamar, setelah sebelumnya meraih tas tanganya yang berada di atas meja rias. Meninggalkan Ferian yang memandanginya dengan tatapan berharap.
Elenna masih bermain, ia berhitung dalam hati “Satu… Dua… Tiga” Kalimat terkahir terhenti, tepat saat ia hendak mengulurkan tangan membuka pintu, saat itu pula Ferian menarik lengannya dan membalikan badannya, dengan kasar mendorong tubuh Elenn ke dinding. Mata mereka kini beradu. Elenna dengan tatapan kemenangan, dan Ferian dengan tatapan seribu hasrat menggelora.
—-to be cont——
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI