Mohon tunggu...
Qowiyyun Amin
Qowiyyun Amin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masyarakat Madani dan Keberagaman: Mencari Jalan Toleransi

20 September 2021   10:56 Diperbarui: 20 September 2021   10:58 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negeri yang beragam dalam berbagai aspek. Tak terkecuali agama dan keyakinan. Indonesia mengakui adanya keberagaman itu dengan memberikan kelaluasaan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, tercantum dalam konstitusi, UUD 1945. Keberagaman disatu sisi merupakan suatu ke-khas-an bangsa Indoensia, namun disisi lain memunculkan permasalahan. Yaitu tentang bagaimana hidup rukun, adil, tidak saling sikut antar umat beragama.

Perdebatan mengenai keberagaman agama atau selanjutnya disebut pluralisme agama untuk mencapai titik temu menarik untuk dibahas. Konsep pluralisme agama dalam panggung nasional terkadang berpotensi menjadi perpecahan, karena pluralisme ini menawarkan gagasan setiap agama baik, dan kebaikan suatu agama tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak atau agama universal. Sehingga dalam konteks Indonesia, gagasan ini tidak serta merta menemui jalan mulus guna menjadi alternatif atas terciptanya masyarakat madani.

Lantas bagaimanakah hubungan keberagaman atau pluralitas dan toleransi dengan terciptanya masyarakat madani?

Pluralisme Agama: Asal Mula dan Problem Definisi 

Kelahiran Pluralisme berangkat dari peradaban barat yang sarat akan hegemoni gereja. Menurut Adian Husaini, peradaban barat menjadi sekuler karena tiga masalah yakni problem sekarah Kristen, problem teks bible, dan problem teologi Kristen[1]. Ketiga permasalahan ini yang membuat peradaban barat mensekulerkan diri dan membebaskan diri dari pengaruh gereja. Sehingga bagi mereka, urusan agama merupakan urusan pribadi induvidu. 

John Hick sebagai tokoh penting pluralisme, menyerukan untuk kita semua memahami agama lebih dari cara pandang inklusif, ia menawarkan konsep bahwa sebenarnya semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun dengan jalan yang berbeda. Mesipun memiliki berbagai macam aliran, pada umumnya tren pluralisme ini terlahir dari Rahim peradaban barat.

Mengenai definisi pluralime itu sendiri, Ahmad Fuad fanani mendefinisikan sebagai sebuah pengakuan bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu kelompok.[2] Senada dengan itu, Muhammad Ali mendefinisikannya sebagai sikap mengakui, memahami dan meyakini kemajemukan sebagai realitas yang mengandung kebajikan.[3] Definisi pluralisme sebenarnya tidak memiliki definisi tunggal atau tetap, mengingat banyaknya para akademisi dan ilmuan yang memaparkan gagasannya. Namun, definisi ini menimbulkan pertanyaan sekaligus permasalahan teknis yaitu, bagaimana cara kita mengekspresikan sikap saling menghargai itu? 

 

Masyarakat Madani dan Keberagaman: Mencari Jalan Toleransi 

Di dalam Islam perlu dibedakan antara pluralisme teologis dan pluralisme sosiologis. Pluralisme teologis mengarahkan kita pada kesamaan tauhid setiap agama. Hal inilah yang ditentang oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Menurutnya konsepsi tuhan dari masing-masing agama tidaklah sama dan saling berlainan satu sama lain.[4] Pluralisme sosiologis adalah suatu realitas dimana pada hakikatnya masyarakat memang plural atau majemuk. Artinya secara empiris, masyarakat tidak diciptakan hanya pada satu golongan saja. Melainkan bermacam-macam. Sesuai dengan firman Allah, Surat Al-Hujurat ayat 13. Dimana secara sunnatullah kita diciptakan beragam untuk saling mengenal dan pada ujungnya yang paling mulia adalah yang bertakwa disisi Allah. 

Islam sebagai agama tidak memisahkan antara masyarakat, agama dan negara, ketiganya merupakan tata kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh adalah piagam madinah sebagai pemersatu diantara beragamnya suku di Madinah. Piagam madinah mengatur hubungan antar kelompok baik yahudi dengan Islam atau dengan lainnya. Umat agama lain dibiarkan melaksanakan agamanya menurut apa yang diyakini dan Nabi tidak pernah menyerukan bahwa semua agama sama, relatif, apalagi mengandung kesalahan sehingga harus dilengkapi dengan agama lain. Sehingga di bawah payung Piagam Madinah, masyarakat hidup berdampingan dan tercipta masyarakat madani.

Dalam kaitannya dengan toleransi, Di dalam al-Quran, Allah menyerukan tidak ada paksaan dalam memeluk Islam (la ikhraha fi al-din). Ayat tersebut merupakan asas pokok dakwah Islam. Meskipun Rasullullah mengharapkan setiap orang menyambut dakwahnya, namun pilihan beriman atau tidak diserahkan kepada individu masing-masing. Namun jika ia memilih agama Islam maka ia dianggap sebagai bagian dari Muslim. Berbeda jika memilih menjadi selain Islam, maka kita tidak boleh menghujat, menghakimi, atau bahkan membunuh dan diberi ruang untuk mereka menjalankan agamanya masing-masing (al-Kafirun: 6).

Senada dengan ini, Islam memiliki tiga prinsip persaudaraan. Yaitu ukhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah insaniah,(persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah wataniah (persaudaraan berlandaskan kesamaan tanah air). Pembedaan tersebut tidak menunjukkan bahwa Islam itu eksklusif, melainkan Islam mengatur secara komprehensif antara hubungan sesama Muslim, manusia, dan bernegara. Dalam praktik teknisnya, kita perlu mengembangkan dialog dan pendekatan kerukunan agar tercipta masyarakat madani atau civil society.

Kesimpulan

Dalam perjalanannya, pluralisme perlu dibedakan menjadi dua: pluralisme teologis dan pluralisme sosiologi. Pluralisme teologis dapat mengarahkan pada pengakuan bahwa semua agama benar. Sedangkan pluralisme sosiologis lebih kepada keberagaman masyarakat sebagai suatu keniscayaan. Dalam kaitannya dengan toleransi, Islam menjawab melalui peristiwa historis peradaban Islam, sejak zaman Rasulullah.

Dengan tetap berlandaskan al-Quran dan Hadis, umat Islam perlu mengedepankan dialog, musyawarah, dan tidak mudah mengkafirkan orang lain dan memberikan ruang untuk agama lain beribadah sesuai kepercayaannya sesuai dengan surah al-Kafirun ayat 6. Pun dalam konstitusi UUD 1945pasal 28 E ayat 1 dan pasal 29 mengakui hal tersebut. Sehingga bukan mustahil untuk menciptakan masyarakat madani di tengah keberagaman yang ada.

 

Catatan Kaki 

[1] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hlm. 29.

[2] Ahmad Fuadi Fanani, 12 September 2005, "Islam, Pluralisme, dan Kemerdekaan beragama" https://islamlib.com/

[3] Muhammad Ali, 2 Oktober 2005, "Tantangan Pluralisme dan Kebebasan Beragama" https://islamlib.com/

[4] Sjafril, Akmal. (2017). Buya Hamka Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. hlm. 96.

Daftar Pustaka

Sjafril, Akmal. (2017). Buya Hamka Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. Bogor: Afnan Publishing

Alamsyah. "Pluralisme Agama dalam Pandangan Al-Quran dan Implementasi Pendidikan Islam". Jurnal Tarbawi. Vol 2, No.1.

Zainudin Asroful (2014). Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama: Studi di Desa Balum Kecamatan Turi Kabubaten Lamongan (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2014) http://digilib.uinsby.ac.id/179/

Mas'udi, Wawan. "Masyarakat Madani: Visi Etis tentang Civil Society. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol.3, N0.2, November 1999 (19 September 2021)

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun