Mohon tunggu...
Fiksiana

Pahitnya Kopi Hitam

9 November 2015   20:40 Diperbarui: 10 November 2015   07:50 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Malam itu hujan mengguyur deras kota Madya, dinginnya menyebar menusuk sampai tulang. Bersamaan dengan rumor tak benar yang mencekikku erat-erat didalam penjara rantai bagai siksaan api neraka yang bergejolak, melahap semua yang ada dilihatnya.

7 hari penuh siksa iblis jahanam yang menebar benih beracun penuh fitnah, sukma terasa sesak  sudah tak sanggup lagi untuk bernafas. Ingin kuerupsikan guruh gunung berapi dihatiku keluarkan semua amarah dan rasa kesal memuncak tiada tara.

Namun, Rasulullah bersabda “orang yang hebat bukanlah orang kuat melainkan orang yang dapat menahan emosi serta hasratnya.”

“ Alhamdulillah”  kulontarkan penuh harapan  terhadap sang pencipta tiada tanding. Tapi sungguh kecewa racun mematikan yang hilang tanpa suara tidak membawa pergi iblis terkutuk yang tidak tahu menahu.

Hari demi hari terantai dibalik jeruji besi yang dingin bak es di kutub, terasa jauh lebih menyiksa. pisau lidah terus menyayat, lirikan maut tanda merendahkan harga diri semakin memperlebar luka batin daku.

Diri ini terasa seperti bongkahan sampah yang dilumat ibu pertiwi. Ingin diri ini melayang, terbang jauh menuju tempat yang lebih hijau…

Namun, apa aku ini? Bila masalah bodoh semacam itu membuat jiwaku menciut. Ambigu menyelip dicelah kecil hati ini. Benakku saling adu pukul, bertanding tanpa henti layaknya petinju profesional Chris John.

Semua ambigu dalam hati berbalik kearahku. Kutegaskan diriku, pikiran membulat sambil kusinsingkan lengan baju. Hancur lebur semua batasanku, tidak ada yang dapat melawan diriku. Semua rantai serta jeruji besi kurobohkan, semua terkejut dengan tanda tanya nampak jelas di masing-masing wajah mereka.

Tekadku tidak dapat dibendung lagi. Tanpa beralaskan sandal maupun sepatu, kutapakkan kakiku satu persatu, helaian kain katun warna kuning telur menyibak dengan lemah gemulai. Suara bel dari kiri bawah pergelangan kakiku terdengar nyaring, mengisi kesunyian yang mencekam.

Semua mata tertuju padaku, menatap lekat bagaikan daku seekor hewan purbakala dari Zaman Paleozoikum. Tak sehembus angin maupun rintikan air berani menggubris peristiwa yang tengah kujalani.

Perlahan rautku mulai berubah. Kutarik nafas panjang dalam-dalam seperti melakukan pernafasan garuda dalam dunia MP (merpati putih). Perlahan kubuka bibir kecil ini “Namaku Qouran Qissamaa,aku tak pernah sedikitpun keluar dari rumahku, kecuali hari ini. Semua hal yang kalian bicarakan tidak ada yang benar. Aku hanyalah seorang gadis muda yang tak ingin membuat kalian melontarkan kata-kata fitnah.”

Semua tercengang, membatu seperti prajurit cina yang terbuat dari batu. Perlahan jalan misterius mulai terbentuk ditengah kerumunan, kata “apa” mulai terbesit dibenakku. Beberapa detik kemudian sesosok lelaki bertubuh tegap dengan wajah yang membuat jiwaku terpukau dan hampir melejit keluar hasrat kecilku “Masyaallah…” berhembus pelan didalam batin.

Dia datang mendekati diriku, perlahan tubuhku katakan pergi, semakin mendekat semakin melangkah menjauh. Ia berada tepat didepanku, melihat kebawah dan menekuk lututnya. Posisinya sangat aneh seperti seseorang yang hendak melamar.

Ambigu mengacak-acak otakku. Emosiku bercampur aduk layaknya es campur dimbah susu vanilla yang kental serta kaya akan kalsium. “maukah engkau menikah dengan daku?” lamunanku terhentak seketika. Aku tercengang tidak tahu harus bertingkah seperti apa.

Dalam 3 detik kemudian semua mulai bersorak sorai. Semua orang kampung berteriak menggoda tanda senang seperti dalam pesta panen tahun lalu. Kakiku melemas seperti sehelai mie pasta. Jatuh terkejut diri ini.

“Sebenarnya kami tidak menyebar fitnah maupun menuduhmu, namun ini merupakan salah satu strategi agar engkau mau keluar dari naungan kecilmu tersebut, sehingga Ahmad dapat menyatakan perasaannya tersebut.” Aku tertelan dalam lamunan panjang dan semua menjadi hitam kelam seperti palung laut tanpa ujung, aku merasa seperti terontang-anting di dalam puting beliung tanpa akhir.

Ahmad, lelaki bertubuh tegas mulai membuka mulutnya untuk kedua kalinya “sungguh maafkanlah diriku, kami tak bermaksud membuatmu marah ataupun sedih. Namun tidak ada cara lain untuk membuatmu keluar dalam 2 tahun terakhir ini.” Lontarnya dengan wajah bersalah. (Sungguh manis)

Otakku kembali dipermainkan untuk yang kesekian kalinya, sebuah kalimat tanpa sadar keluar tanpa ada ferifikasi dari main control  “Selama ini kau telah mencoba membuat diriku keluar? Mengapa?”

Mungkin tanpa ada impuls apapun dia spontan menjawab “ Karena aku mencintaimu sejak pandangan pertama, 2 tahun yang lalu ketika pertama kali aku sampai di kampung arab ini.” Aku benar-benar tak tahu harus apa aku merasa terbodohi sekaligus sangat senang tiada tanding.

Jeruji kecil itu roboh, tiada ada lagi rantai yang mengekangku, aku bebas seperti burung kecil dilangit yang biru. Semua bersorak sorai segala macam bentuk kebahagiaan tertulis jelas di wajah mereka. Aku sangat bersyukur, ya ALLAH…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun