Mohon tunggu...
Fiksiana

Pahitnya Kopi Hitam

9 November 2015   20:40 Diperbarui: 10 November 2015   07:50 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua tercengang, membatu seperti prajurit cina yang terbuat dari batu. Perlahan jalan misterius mulai terbentuk ditengah kerumunan, kata “apa” mulai terbesit dibenakku. Beberapa detik kemudian sesosok lelaki bertubuh tegap dengan wajah yang membuat jiwaku terpukau dan hampir melejit keluar hasrat kecilku “Masyaallah…” berhembus pelan didalam batin.

Dia datang mendekati diriku, perlahan tubuhku katakan pergi, semakin mendekat semakin melangkah menjauh. Ia berada tepat didepanku, melihat kebawah dan menekuk lututnya. Posisinya sangat aneh seperti seseorang yang hendak melamar.

Ambigu mengacak-acak otakku. Emosiku bercampur aduk layaknya es campur dimbah susu vanilla yang kental serta kaya akan kalsium. “maukah engkau menikah dengan daku?” lamunanku terhentak seketika. Aku tercengang tidak tahu harus bertingkah seperti apa.

Dalam 3 detik kemudian semua mulai bersorak sorai. Semua orang kampung berteriak menggoda tanda senang seperti dalam pesta panen tahun lalu. Kakiku melemas seperti sehelai mie pasta. Jatuh terkejut diri ini.

“Sebenarnya kami tidak menyebar fitnah maupun menuduhmu, namun ini merupakan salah satu strategi agar engkau mau keluar dari naungan kecilmu tersebut, sehingga Ahmad dapat menyatakan perasaannya tersebut.” Aku tertelan dalam lamunan panjang dan semua menjadi hitam kelam seperti palung laut tanpa ujung, aku merasa seperti terontang-anting di dalam puting beliung tanpa akhir.

Ahmad, lelaki bertubuh tegas mulai membuka mulutnya untuk kedua kalinya “sungguh maafkanlah diriku, kami tak bermaksud membuatmu marah ataupun sedih. Namun tidak ada cara lain untuk membuatmu keluar dalam 2 tahun terakhir ini.” Lontarnya dengan wajah bersalah. (Sungguh manis)

Otakku kembali dipermainkan untuk yang kesekian kalinya, sebuah kalimat tanpa sadar keluar tanpa ada ferifikasi dari main control  “Selama ini kau telah mencoba membuat diriku keluar? Mengapa?”

Mungkin tanpa ada impuls apapun dia spontan menjawab “ Karena aku mencintaimu sejak pandangan pertama, 2 tahun yang lalu ketika pertama kali aku sampai di kampung arab ini.” Aku benar-benar tak tahu harus apa aku merasa terbodohi sekaligus sangat senang tiada tanding.

Jeruji kecil itu roboh, tiada ada lagi rantai yang mengekangku, aku bebas seperti burung kecil dilangit yang biru. Semua bersorak sorai segala macam bentuk kebahagiaan tertulis jelas di wajah mereka. Aku sangat bersyukur, ya ALLAH…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun