Mohon tunggu...
Qory Firdan Kurniawan
Qory Firdan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN, Content Creator

Belajar, berbagi dan memberi manfaat!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pencitraan untuk Perbaikan? Begini Teori dan Strateginya

31 Januari 2022   09:51 Diperbarui: 31 Januari 2022   10:33 2368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bogor (31/1) - Kita sering mendengar kata "pencitraan" yang dikonotasikan negatif dalam upaya menunjukkan suatu sikap yang seperti tidak nyata (untuk menutupi keburukan). Padalah makna yang sesungguhnya tidak demikian. Menirit KBBI, pencitraan artinya proses, yaitu cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu, atau juga dapat diartikan sebagai upaya penggambaran terhadap sesuatu (bisa orang, jenama, istitusi dan lain sebagainya). Jadi "pencitraan" itu sendiri tidak sepenuhnya bermakna negatif, namun juga memiliki arti penting bagi setiap individu, instansi, perusahaan maupun seseorang dalam rangka memberikan gambaran (arti penting, posisi) nya di masyarakat. Bagaimana teori dan strateginya? berikut penjelasan singkat yang dirangkum dari Hltzhausen, Derina & Zerfass, Ansgar (2015) dalam bukunya The Routledge handbook of Strategic Communication.

Teori Citra (Image Theory)

Menurut Holtzhausen (2015), image atau citra adalah semua hal tentang persepsi atau pandangan, yaitu sebuah kesan yang diberikan kepada kita. Atau dalam kata laun citra adalah kesan yang dimiliki seseorang terhadap organisasi. Citra merupakan sesuatu yang bersifat abstrak karena berhubungan dengan keyakinan, ide dan kesan yang diperoleh dari suatu objek tertentu baik dirasakan secara langsung, melalui panca indra maupun mendapatkan informasi dari suatu sumber (Ruslan, 2010:80).

Citra dapat berupa tanggapan positif yang berbentuk dukungan, ikut serta, peran aktif serta tindakan positif lainnya dan tanggapan negatif yang berbentuk penolakan, permusuhan, kebencian atau bentuk negatif lainnya. Citra sendiri akan melekat pada setiap diri individu maupun instansi. Tanggapan positif maupun negatif tergantung pada proses pembentukannnya dan pemaknaan dari objek sasaran pembentukan citra. Serta, semua orang memiliki hak untuk memaknai citra personal maupun instansi.

Sedangkan menurut Frank Jefkins (2003) dalam bukunya menyebutkan bahwa image dibagi dalam beberapa kelompok yaitu mirror image (citra bayangan), current image (citra kini), wish image (citra keinginan), corporate image (citra perusahaan), multiple image (citra serbaneka) dan performance image (citra penampilan).

Adanya kemungkinan terjadinya citra buruk terhadap sebuah organisasi atau individu menurut Holtzhausen (2015) terjadi karena beberapa factor seperti ;

  1. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, seperti waktu, uang dan sumberdaya lainnya
  2. Adanya peristiwa yang terjadi diluar kendali kita, sehingga bisa merubah atau menghancurkan citra
  3. Adanya kesalahan dan kekurangan yang dimiliki
  4. Terdapat individu-individu dalam sebuah organisasi yang memiliki prioritas yang bebeda sehingga bisa menimbulkan adanya krisis citra

Menurut Holtzhausen, bahwa rusaknya citra atau reputasi dapat berakibat fatal, seperti turunnya kepercayaan, bahkan menyebabkan hancurnya sebuah jenama, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya persuasi seperti pembelaan, penjelasan, pembenaran, permintaan maaf dan lainnya sehingga bisa memperbaiki reputasi organisasi atau diri.

Teori Perbaikan Citra (Assumption of Image Repair Theory)

Holtzhausen (2015) dalam bukunya The Routledge Handbook of Strategic Communication menyebutkan bahwa asumsi mengapa teori perbaikan citra tercipya adalah karena dua faktor. Pertama, bahwa komunikasi adalah tujuan utama dalam melakuan kegiatan baik organisasi maupun individu. Yang kedua adalah,bahwa mempertahankan reputasi atau citra positif adalah tujuan utama komunikasi.

Dikutip dari tulisan Karjodihardjo (2019), menurut William L. Benoit yaitu seorang profesor komunikasi dari Ohio University, yang mencetuskan sebuah teori pemulihan citra atau Image Restoration Theory. Bahwa reputasi tokoh, nama baik partai politik, dan pencitraan korporasi atau organisasi bisa saja tiba-tiba runtuh karena sebuah kejadian tertentu.

Ia mengatakan bahwa merupakan hal yang sangat prinsip bahwa setiap orang atau organisasi ingin selalu memiliki citra yang baik, positif dan terhormat, meskipun saat melakukan sebuah kesalahan. Oleh karena itu, akan diupayakan langkah-langkah dengan berbagai cara untuk bisa mengembalikan citra positifnya. Benoit melalui buku “Account, Excuses, and Apologies” pada tahun 1994 memberikan gambaran yang jelas mengenai teori pemulihan citra ini.

Dikatakan, bahwa teorinya tersebut bertujuan untuk mempertahankan citra atau reputasi positif. Reputasi yang negatif atau citra yang rusak, bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu karena disengaja (oleh dirinya sendiri atau pesaing) atau pun tidak disengaja (karena salah perkataan atau perbuatan). Ketika hal tersebut terjadi, maka tokoh atau organisasi tersebut bermasalah dengan citra.

Benoit menciptakan teorinya pada asumsi bahwa, karena citra yang buruk, maka komunikator akan berupaya maksimal atau termotivasi untuk mengembalikan nama baik atau citranya ke tingkat yang diharapkan. Pada tahap berikutnya, Benoit menyatakan bahwa terdapat lima strategi dalam teori perbaikan reputasi atau citra, yaitu Denial, Evading of Responsibility, Reducing Offensiveness of Event, Corrective Action dan Mortification.

Denial

Strategi ini berupa penyangkalan terhadap sebuah fakta atau kondisi (simple denial). Namun selain menyangkal, ada juga yang melakukan pengalihan kesalahan kepada orang lain (shifting the blame).

“Tentu kami tidak akan pernah melakukan hal itu, karena tidak sesuai dengan budaya kerja dan kode etik organisasi. Namun kami akan mempelajari lebih lanjut kejadian tersebut.

“Setelah kita evaluasi, ternyata ini adalah dampak dari kebijakan yang dilakukan oleh daerah, secara SOP harusnya ini tidak terjadi, kami akan melakukan pendalaman lebih lanjut untuk menangani permasalahan tersebut.

Evading of Responsibility

Strategi ini dilakukan dengan cara penghindaran atau menghindari dari tanggungjawab atas pekerjaan atau tindakan yang telah dilakukan/ yang telah terjadi. Tujuannya untuk mengurangi tanggungjawab atas konsekuensi tindakannya (kesalahan) tersebut. Beberapa langkah yang sering dilakukan dalam strategi ini seperti ;

  • Provocation, yaitu pengakuan bahwa hal tersebut dilakukan karena terpancing oleh suatu hal. “Tindakan yang dilakukan oleh staff kami karena dipicu oleh aksi dan sikap petugas yang langsung brutal, sehingga ini adalah sika spontan membela diri.
  • Defeasibility, yaitu pengakuan bahwa hal tersebut dilakukan karena kekurangan informasi dan kemampuan yang cukup. “Tim teknis kami dilapangan melakukan sudah sesuai prosedur, dan tidak mengetahui adanya kejadian tersebut. Jika ada komunikasi sebelumnya, pasti petugas akan mengambil langkah atau SOP yang berbeda.
  • Accident, yaitu pengakuan bahwa semua hal terjadi karena karena tidak terduga. “Kejadian itu diluar prediksi kami, namun demikian tim kami dilapangan sudah melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.
  • Good Intention, yaitu pengakuan bahwa semuanya berawal dari niat yang baik, sama sekali tidak ada maksud untuk membuat kesalahan. “Tentu tidak ada niat yang buruk dari kami, kejadian ini semuanya tidak terduga, oleh karena itu saat ini kami telah bekerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk segera menangani kejadian tersebut.

Reducing Offensiveness of Event

Dalam strategi ini, dikondisikan bahwa pihak yang melakukan kesalahan pantas diberikan keringanan. Beberapa cara yang dilakukan seperti ;

  • Mengutip tindakan-tindakan positif yang sudah dilakukan dimasa lalu dan bisa diterima publik dengan baik (bolstering). “Kami mohon agar publik tetap tenang, kami telah melakukan tindakan perbaikan dan penanganan krisis seperti yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga kami jamin semua data aman.
  • Melakukan upaya-upaya yang bisa mengurangi perasaan negatif dengan cara-cara persuasi kepada publik, sekaligus meyakinkan publik bahwa yang terjadi tidaklah seburuk seperti yang dipikirkan atau dipersepsikan, atau yang terjadi (minimization). “Kejadian ini tidak akan berpengaruh atau mengurangi keamanan dana yang disimpan pada kami, dana dan data kami pastikan aman. Dan kebocoran ini sudah tengah ditangani oleh tim kami, jadi kami harap masyarakat agar tetap tenang dan tidak terpancing oleh informasi hoax atau yang tidak benar.
  • Membuat perbedaan perlakuan atas kesalahan yang dilakukan dengan yang dilakukan orang lain yang juga melakukan hal yang sama (differensiasi). “Kami tidak menutup akses, seperti yang dilakukan oleh pihak lain. Kami akan tetap membuka akses namun hanya membatasi sebagian transasi, saat perbaikan dilakukan. Hal ini diharapkan akan mengurangi dampak dan tetap mengutamakan kenyamanan masyarakat dalam bertransaksi.
  • Membandingkan suatu kejadian tetapi dalam konteks yang berbeda (trancendence). “Kondisi ini tentu berbeda dengan krisis yang pernah dialami pada tahun lalu yang dialami di Jl. Adi Sucipto. Kami sudah melakukan langkah-langkah cepat dan terukur serta langsung berkoordinasi dengan pihak terkait agar dampaknya tidak berpengaruh pada layanan kami.
  • Metode attack user, yaitu menyerang kredibilitas yang menuduh, dengan mempertanyakan kompetensi dan hal lainnya, dan perhatian publik pun berpindah ke penuduh. “Sebenarnya masalah ini sudah kami tangani dengan baik, justru kami mempertanyakan pihak ABC yang mengeluarkan statemen tersebut, ABC tidak mengetahui dengan baik kondisi sebenarnya dilapangan, dan kami juga yakin bahwa ABC juga belum pernah mengangani permasalahan seperti demikian, sehingga ini perlu diklarifikasi dan ditanyakan.
  • Compensation, adalah memberikan ganti rugi sebaggai bentuk tanggungjawab atau menebus kesalahan yang terjadi, sehingga perbuatan diampuni dan reputasi balik menjadi baik. “Sebagai kompensasi atas keterlambatan armada tujuan Singaparna, silakan bagi pengguna jasa Garuda Trip dapat mengambil lunch box yang telah disediakan di counter pendaftaran dengan menunjukkan tiket.

Corrective Action

Strategi corrective action ini dilakukan dengan cara menjanjikan bahwa tindakan (kesalahan) yang terjadi akan diperbaiki lebih baik lagi ke depannya. Dengan janji-janji yang meyakinkan, diharapkan citra positifnya kembali lagi.

“Saat ini permasalahan telah ditangani, dan layanan sudah berjalan normal kembali. Ini menjadi pejaran berharga buat kami, dan menjadikan ini sebagai salah satu indikator yang kedepan harus menjadi perhatian agar tidak terulang lagi.

Mortification

Strategi mortification adalah dengan mengakui kesalahan, dan dengan jelas meminta maaf atas tindakan yang dilakukan. Srategi “penyiksaan diri” ini oleh Benoit disebut merupakan tema utama tulisa pakar komunikasi lainnya, yaitu Burke.

Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk mengembalikan citra, memulihkan reputasi, atau menjaga nama baik tetap berada di level yang diharapkan. Tentu saja semuanya harus dihitung dampak publik yang akan terjadi jika kita memilih salah satu strategi Benoit.

Strategi Perbaikan Reputasi (Image Repair Strategies)

Menurut Benoit, kunci dari teori strategi perbaikan reputasi tersebut adalah untuk mempertimbangkan memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap serangan atau keluhan yang terjadi pada masa krisis. Dua komponen yang menurut Benoit perlu diperhatikan adalah ketika terjadi krisis dengan pencitraan adalah, organisasi harus memberikan tanggung jawab dengan melakukan tindakan, dan yang kedua adalah tindakan yang dibangun tersebut harus berkaitan dengan mempertimbangkan efek yang akan muncul dan diharuskan efek yang ditimbulkan tersebut memunculkan reaksi yang positif.

Dikutip dalam Holtzhausen (2015), Benoit juga menyampaikan bahwa untuk melakukan perbaikan reputasi atau citra perlu diperhatikan persiapan menghadapi krisis, mengidentifikasi sifat krisis yang terjadi, mengidentifikasi audiens yang relevan dan kemudian menghadapi krisis tersebut.

Perencanaan Menghadapi Krisis (Preparing Crisis Response Plan)

Holtzhausen (2015), menjelaskan bahwa perencanaan menghadapi krisis memungkinkan kita untuk mencari dan memberikan tindakan yang potensial untuk memperbaiki reputasi dan menyiapkan respon baik berupa jawaban maupun tindakan tanpa kepanikan (baik karena tekanan pikiran maupun waktu). Membuat perencanaan untuk menghadapikrisis bertujuan untuk mengantisipasi potensi terjadinya krisis serta menyiapkan rencana daruratnya.

Dalam menyusus perencanaan menghadapi krisis perlu diperhatikan bagaimana mengidentifikasi krisis, audiens yang relevan dan bagaimana menghadapi atau merespon krisis tersebut.

Sumber Bacaan

Hltzhausen, Derina & Zerfass, Ansgar (2015).  The Routledge handbook of Strategic Communication.  Routledge : New York

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun