Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Nah apasih sebenarnya ijtihad itu?
Mujtahid adalah istilah yang perlu dipahami sebelum mencoba melakukannya. Sekarang ini kita banyak mendengar istilah Mujtahid. Bahkan sudah banyak yang menjadi dari bagian Mujtahid. Tapi tahukah kalian jika Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Banyak orang yang berijtihad padahal sebenarnya mereka belum mumpuni dan tidak memiliki modal pengetahuan yang mencukupi. Nah apasih sebenarnya ijtihad itu?
Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtahadan yang merupakan derivasi dari kata jahada. Secara bahasa, makna nya adalah upaya atau kemampuan. Namun sebagai suatu istilah, ijtihad memiliki beragam definisi dan penjelasan. Salah satunya adalah usaha dan upaya yang dikerahkan oleh seseorang yang disebut "Mujtahid", dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menggali dan menemukan hukum-hukum syariat.Â
Baca juga:Â Mengenal Peran dan Problematika Mujtahid dalam Pengambilan Hukum
Dari definisi tersebut, kita tahu bahwa tidak semua orang bisa menjadi mujtahid. Syarat utama yang paling dasar harus dimiliki seorang mujtahid adalah: Islam, Baligh, Berakal, dan Adil. Adil yang dimaksud adalah Mujtahid haruslah orang yang benar-benar menjaga dirinya dari perbuatan maksiat atau yang merusak harga dirinya. Seorang Mujtahid haruslah istiqomah dalam jalan syariat.
Ketentuan-ketentuan Seorang Mujtahid
Seorang mujtahid harus Islam. Jelas! Karena obyek pengambilan hukum adalah teks-teks keagamaan yang menjadi sumber ajaran dalam Islam. Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (ahliyah). Syarat pertama yaitu syarat umum (yang berhubungan dengan kepribadian) ada tiga, yaitu: Islam, yang meliputi keimanan kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya.Â
Beriman kepada Rasulullah SAW dan segala wahyu dan petunjuk-petunjuk yang dibawanya. Syarat kedua yaitu Baligh, ini penting karena anak yang belum baligh, belum dapat dijadikan sandaran hukum atas kata-katanya, sehingga belum dibebani suatu tanggung jawab (belum mukallaf). Ketiga yaitu Berakal, karena akal itulah yang merupakan dasar taklifi. Selain itu, cukup umur dan memiliki kebijaksanaan dalam berpikir tentu saja menjadi unsur penting dalam proses penggalian hukum Islam.
Syarat yang kedua yaitu syarat-syarat ahliyah (yang berhubungan dengan kemampuan), antara lain: Mengetahui nash al-Qur'an dan sunnah, paling kurang yang berkaitan dengan masalah yang dibahasnya. Al-Qur'an merupakan sandaran utama hukum-hukum Islam dan sumber-sumber pokok bagi ijtihad. Oleh sebab itu harus mengetahui maknanya, baik lughawi, maupun syar'i dan 'illat yang berkaitan dengan hukum-hukum, serta tujuan- tujuan yang akan diwujudkan oleh syara', untuk mendatangkan mashlahat bagi manusia dan mencegah dari mafsadah.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus mendalami 'ulumul Qur'an misalnya: Asbab an-Nuzul, Nasikh dan Mansukh, Makkiyah dan Madaniyah, Al-'Am dan al-Khash, Muthlaq dan Muqayyad, Muhkam dan Mutasyabih.
Apabila seorang mujtahid tidak mengetahui 'ulumul Qur'an, maka tidak dibenarkan menetapkan suatu hukum halal atau haram sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi'i bahwa tidak berhak seseorang mengatakan sesuatu; ini haram atau halal, kecuali dengan pengetahuan tentang al-Kitab, Sunnah, dan ijma'.Â
Pengetahuan tentang Kitabullah membutuhkan pengetahuan tentang bahasa Arab dan demikian juga untuk mengetahui hukum-hukum Kitab Allah, fardhunya, adabnya, ibahanya, nasikh mansuknya, 'am dan khasnya. Para ulama sepakat mensyaratkan bagi mujtahid, mengetahui ayat-ayat hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah ayat yang harus diketahui.Â
Baca juga:Â Problematika Mujtahid dan Peranannya dalam Pengambilan Hukum
Seorang mujtahid tidak disyaratkan menghafal seluruh ayat al-Qur'an, tetapi alangkah baiknya jika ia menghafal seluruh ayat al-Qur'an, kerena memudahkan bagi mujtahid mengetahui hukum-hukumnya dan menemukan dikala ia membutuhkannya. Para ulama ushul sepakat pula, bahwa disyaratkan bagi mujtahid untuk mengetahui hadis-hadis yang berhubungan dengan hukum-hukum. Adapun batas jumlah hadis hukum yang harus diketahui mereka berbeda pendapat. Salah satunya menurut Ibnu al-Qayyim, bahwasanya hadis-hadis yang merupakan pokok-pokok hukum, berkisar pada lima ratus dan ia dirinci dalam empat ribu hadis.
Tingkatan-tingkatan MujtahidÂ
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat dikalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya pintu ijtihad. Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih.
Mujtahid Mustaqil (independent) adalah tingkat tertinggi, oleh Abu Zahra disebut sebagai al-Mujtahid fi al-Syar'I, atau disebut juga Mujtahid mutlaq. Untuk sampai ke tingkat ini, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka disebut Mujtahid Mustaqil, yang berarti independen, karena mereka terbebab dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbath (ushul fiqih) maupun dalam furu' (fiqih hasil ijtihad). Mereka sendiri mempunyai metode istinbath, dan mereka sendirilah yang menetapkan metode istinbath itu dalam berijtihad untuk membentuk hukum fiqih.
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqih, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqih salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada ushul fiqih Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan salah satu mujtahid mustaqil.
Mujtahid fi al-madzhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqih dan furu' bertaqlid pada imam mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam mengistinbathkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku madzhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fiqih madzhabnya.
Baca juga:Â Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai madzhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI