Mohon tunggu...
Qori Hani
Qori Hani Mohon Tunggu... Freelancer - blogger writer

Menulis adalah hidup, menjadi kekal dalam ingatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Didi Kempot: Konsisten Bercampursari, hingga Sukses Ubah Mindset 'Ndeso' Orang Jawa

7 Mei 2020   22:52 Diperbarui: 8 Mei 2020   12:46 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepergian Maestro campursari Didi Kempot masih meninggalkan duka yang mendalam bagi penikmat musik Indonesia terutama bagi para 'sobat ambyar', sapaan penggemarnya. Didi Prasetyo atau akrabnya Didi Kempot, mengembuskan napas terakhirnya Selasa (5/5) pagi. Penyanyi yang besar dengan julukan 'Godfather of Broken Heart' ini diduga meninggal karena henti jantung.

Seperti yang kita tahu bahwa beliau tutup usia pada 53 tahun, yang lebih dari setengah hidupnya ia dedikasikan sebagai seorang seniman. Sepanjang tiga dekade, Didi tetap konsisten menjadi penyanyi dan pencipta lagu campursari. Ia merasa berkewajiban melanggengkan pelestarian musik tradisional karena terlahir dari keluarga seniman tradisi. Dan betul selama itu ia hidup dan menghidupkan seni Jawa yang menjadi kebanggaannya.

Sebutan Kempot sebagai nama panggung yang mungkin banyak menjadi pertanyaan, ternyata merupakan akronim dari Kelompok Pengamen Trotoar, sebuah grup musik asal Surakarta yang membawanya hijrah ke Jakarta pada 1987. Ia memulai karier sebagai musikus jalanan di Solo sejak 1984, dan tidak pernah lupa dari mana ia berasal saat sudah jadi besar.

"Saya suka temani Didi kesana kemari, tidak pernah ada yang berubah. Lihat saja penampilannya, gitu-gitu aja dari dulu. Malah suka pakai celana nggembel" Ujar Mas Blontank, sahabat Didi Kempot.

Dimata para sahabat, Didi memang mengispirasi. Bahkan sebelum meninggal pun ia masih menghasilkan karya, ia menciptakan lagu 'Ojo Mudik'. Melalui lagu itu, ia meminta para penggemarnya supaya tidak mudik untuk mencegah penularan Virus Corona.

Ia pun sempat mengadakan konser amal live streaming yang ditayangkan pula di Kompas TV pada 11 April 2020, dan dalam 3 jam berhasil menghimpun donasi sebesar Rp. 5 miliar dari total keseluruhan Rp7,6 miliar untuk penanganan Coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Infografik Didi Kempot. Alinea.id/Hadi Tama.
Infografik Didi Kempot. Alinea.id/Hadi Tama.
Sukses Ubah Mindset 'Ndeso' Orang Jawa

Nama Didi Kempot seperti lahir kembali pada dua tahun belakangan ini. Pengamat musik Bens Leo menuturkan, popularitas Didi yang memuncak itu tak bisa dilepaskan dari peran media massa. Terutama ketika Didi hadir sebagai bintang tamu program talkshow di salah satu stasiun televisi pada 2 Agustus 2019.

Bens mengatakan musikalitas lagu-lagu campursari yang dinyanyikan Didi sangat khas. Meski lirik-liriknya bercerita tentang kepedihan asmara, musik Didi justru kerap membuat para pendengarnya berjoget, bukan menangis.

Maklum, kepergian Didi yang mendadak menjadi terasa menorehkan luka seluruh bangsa. Hal itu, tak bisa dilepaskan dari pengaruh lagu-lagunya yang mengungkapkan kesedihan seputar patah hati.

"Emosi yang dibangkitkan lewat lagu-lagu ciptaannya mewakili dan dekat dengan pengalaman setiap orang," tutur Bens.

Bagi saya sendiri, meledaknya Legenda campursari Didi Kempot pun seperti membawa udara segar. Tidak hanya bagi para seniman daerah, namun untuk masyarakat Jawa pada umumnya. Tidak butuh waktu lama, kemunculan kembali lagu-lagu hits maestro campursari itu jadi perbincangan lintas generasi.

Makin lama, kekuatan pengaruh bahasa Jawa dari lagu-lagunya mampu menggaet penggemar dari berbagai usia dan latar belakang sosial-ekonomi. Karya-karya Didi sudah menorehkan sejarah baru. Sepertinya belum pernah ada satu fenomena bahasa daerah menjadi dicintai anak muda karena disampaikan melalui lagu. Yang kemudian membuat anak muda ini lalu jadi fan fanatik campursari dan Didi Kempot itu sendiri.

Sebelum ini -- sepakat atau tidak -- orang Jawa dan bahasa Jawa yang medok seringkali digeneralisir dengan istilah ndeso atau kampungan. Hal ini membuat banyak orang beraksen Jawa yang kental jadi tidak percaya diri dan berusaha menghilangkan kejawaannya demi terlihat kekinian. Namun hadirnya fenomena fanatik campursari, membuat keadaannya berbalik.

Efek dari lagu bahasa Jawa yang enak didengar dan didukung dengan tema-tema yang dekat dengan setiap orang serta lintas generasi membuat pendengar yang tidak mengerti bahasa Jawa penasaran dan bertanya apa artinya. Selain mengandalkan google atau kamus bahasa Jawa, fenomena ini membuat orang beraksen Jawa kental banyak dicari-cari. Dan Aksen medok yang menjadi mindset ndeso  orang Jawa itu, kini adalah kegemaran. Sebab melalui lagu Didi Kempot, malah banyak orang belajar melafalkan bahasa Jawa dengan baik dan benar.

Dari situlah secara tidak langsung Didi Kempot menjadi wasilah bangkitnya kepercayaan diri masyarakat Jawa pada umumnya. Sosok yang apa adanya, serta karya yang luar biasa akan selalu menjadi memori yang terkenang sepanjang masa. Terbukti, sampai hari ini berbagai stasiun televisi seperti berlomba menyiarkan 'Tribute To Didi Kempot' sebagai bentuk apresiasi untuk seniman yang menghibahkan lebih dari setengah hidupnya dalam berkarya.

Sugeng tindak Pakde.. Semoga Allah memberi tempat terbaik, sebagaimana engkau pergi dengan banyak berbagi dan meninggalkan kisah-kisah baik. Karya-karyamu akan selalu menetap dihati, engkau tidak benar-benar pergi..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun