Mohon tunggu...
si qoqon
si qoqon Mohon Tunggu... -

pengembara yang tak bisa berhenti belajar. pernah tinggal di jabodetabek dan dipanggil si qoqon. masa itu banyak mengenal berbagai manusia dari seluruh indonesia. masa kini sesekali bercuit di @siqoqon :)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Belajar dari Golput Pemilu di Amerika

9 Januari 2019   09:05 Diperbarui: 11 Januari 2019   12:08 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, seorang warganet Amerika Serikat berkicau di Twitter. Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut.

Sistem pemilu yang sempurna menurut saya:

1. Setiap warga negara yang umurnya memenuhi syarat akan otomatis masuk daftar peserta pemilih.

2. Hari pemilu dijadikan hari libur nasional.

3. Memilih dengan memberi ranking.

4. Kertas suara berisi pilihan "tidak memilih siapa-siapa"

Dengan membaca suara rakyat AS tersebut, kita jadi paham mengapa di AS ada cukup banyak jumlah golput. Menurut data di Wikipedia, sejak tahun 2000 jumlah peserta pemilih berkisar kurang lebih 55 % saja. Dalam arti, angka golput cukup tinggi sekitar 45 %.

Sedangkan di Indonesia sejak pemilihan presiden secara langsung, angka golput cukup rendah di kisaran 28-29 % namun masih lebih tinggi dibandingkan pemilu-pemilu terdahulu. Dari grafik di atas, terlihat sangat rendahnya golput sebelum ada pemilihan presiden secara langsung.

Dari cuitan warga AS di atas, kita sudah punya kondisi nomor 1 dan 2. Bisa jadi, rendahnya tingkat golput Indonesia dibanding AS adalah karena hal itu. Untuk ikut pemilu, rakyat cukup merujuk KTP masing-masing. Hanya yang sedang di perantauan saja yang perlu mendaftar di lokasi setempat supaya masuk daftar pemilih. 

Di Indonesia, hari pemilu adalah libur nasional. Rakyat tidak perlu datang terlambat ke kantor maupun menghabiskan jatah cuti (yang memang sudah pas-pasan di AS) demi memilih anggota parlemen dan presiden. 

Rakyat AS cukup ogah-ogahan menjadi pemilih, apalagi pemilihan presiden di AS sebetulnya tidak benar-benar langsung. AS memiliki sistem electoral college, yang beranggotakan 538 orang yang disebar ke 50 negara bagiannya. Setiap negara bagian diwakili oleh 3 s.d. 55 anggota tergantung jumlah penduduk masing-masing. Suara rakyat hanya dihitung di negara bagian. Misalnya jutaan rakyat memenangkan Clinton di California yang punya 55 orang anggota electoral college, maka secara nasional Clinton mendapat 55 suara. 

Pemilu legislatif AS diadakan 4 tahun sekali berselang-seling dengan pemilihan presiden yang juga 4 tahun sekali. Cuitan warga AS di atas dilontarkan sebelum pemilu legislatif tahun 2018. Wajar jika ada usul no.3 yaitu memilih dengan ranking, karena surat suara pileg berisi banyak nama. Misalnya ada empat caleg yang kita tahu betul-betul baik, maka kita isi urutannya 2, 3, 4, 1 untuk masing-masing caleg daripada memilih satu caleg saja.

Mari kita lihat usul no.4 yaitu pilihan "bukan siapa-siapa". Usul serupa juga dilontarkan oleh orang Indonesia melalui tulisannya tentang fenomena Nurhadi-Aldo. Jika Nurhadi-Aldo dengan nomor urut 10 ini diikutsertakan dalam pemilu, maka rakyat yang tidak suka dengan kedua kandidat capres-cawapres bisa memilih nomor 10 itu.  

Sangat mungkin keberadaan kotak kosong atau nomor 10 akan meningkatkan partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilu. Kita jadi bisa melihat bahwa sebetulnya yang golput itu tidak peduli pada pemerintah atau sebetulnya peduli namun tidak punya pilihan? 

Hal lain yang membuat rakyat AS tidak peduli pada pemerintah adalah karena mereka memiliki pemerintahan minimalis. Banyak institusi yang seharusnya diayomi oleh negara tapi malah diserahkan kepada swasta. 

Pemerintah AS mendukung para kapitalis, sehingga menumbuhkan banyak pengusaha yang sangat besar kekayaannya. Mereka inilah tulang punggung perekonomian negara, sehingga baik-buruknya pemerintah tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian. Contohnya:

  1. Indonesia punya BPJS Kesehatan yang tujuannya mengayomi semua rakyat dalam memperoleh layanan kesehatan, sedangkan AS tidak punya. Obamacare yang diluncurkan oleh presiden Obama tahun 2010 hanya diperuntukkan bagi pekerja lepas, paruh waktu dan pengusaha kecil yang tidak mendapat asuransi dari kantor. Itu pun tidak disukai oleh warga kelas menengah yang selama ini menikmati asuransi dari kantor, karena perusahaan asuransi kapitalis jadi menarik biaya lebih tinggi. 
  2. Indonesia punya hukum ketenagakerjaan yang mengatur cuti tahunan, cuti melahirkan, dsb sedangkan AS tidak memiliki aturan nasional untuk itu. UU no.13 tahun 2003 juga mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja harus melalui peringatan terlebih dahulu, sedangkan di AS perusahaan bisa memecat pekerja secara mendadak. Peraturan ketenagakerjaan bergantung pada perusahaan dan/atau peraturan pemerintah daerah. Kena PHK di AS berarti sial beruntun karena sudah mendadak pun masih diikuti hilangnya asuransi kesehatan. 

Dibandingkan dengan rakyat AS, sebetulnya lebih sulit bagi kita untuk tidak peduli pada pemerintah. Jika kita tidak ikut memilih, bisa jadi capres-cawapres yang terpilih bukanlah keinginan kita. Bahkan orang AS pun masih kaget pada saat Trump terpilih tahun 2016, karena sepertinya lebih banyak yang menyukai Clinton tetapi Clinton kalah.

Oleh karena itu, mari kita ingatkan elit politik kita. Tidak perlu berlomba-lomba unjuk kebodohan dan kegilaan seperti layaknya pemilu AS tahun 2016. Jangan beralasan "Di Amerika saja begitu" karena itu bukan alasan. Negara kaya belum tentu negara maju. Masa depan negara kita lebih ditentukan oleh suara kita, karena negara banyak berperan dalam kehidupan kita.

Mari kita ingatkan elit politik untuk berlomba-lomba unjuk kepintaran dan kewarasan. Stop kegiatan saling mencela dan melaporkan. Kita yang di media sosial juga sebaiknya berhenti menyebar provokasi dan mulai membicarakan solusi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun