Pemilu legislatif AS diadakan 4 tahun sekali berselang-seling dengan pemilihan presiden yang juga 4 tahun sekali. Cuitan warga AS di atas dilontarkan sebelum pemilu legislatif tahun 2018. Wajar jika ada usul no.3 yaitu memilih dengan ranking, karena surat suara pileg berisi banyak nama. Misalnya ada empat caleg yang kita tahu betul-betul baik, maka kita isi urutannya 2, 3, 4, 1 untuk masing-masing caleg daripada memilih satu caleg saja.
Mari kita lihat usul no.4 yaitu pilihan "bukan siapa-siapa". Usul serupa juga dilontarkan oleh orang Indonesia melalui tulisannya tentang fenomena Nurhadi-Aldo. Jika Nurhadi-Aldo dengan nomor urut 10 ini diikutsertakan dalam pemilu, maka rakyat yang tidak suka dengan kedua kandidat capres-cawapres bisa memilih nomor 10 itu. Â
Sangat mungkin keberadaan kotak kosong atau nomor 10 akan meningkatkan partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilu. Kita jadi bisa melihat bahwa sebetulnya yang golput itu tidak peduli pada pemerintah atau sebetulnya peduli namun tidak punya pilihan?Â
Hal lain yang membuat rakyat AS tidak peduli pada pemerintah adalah karena mereka memiliki pemerintahan minimalis. Banyak institusi yang seharusnya diayomi oleh negara tapi malah diserahkan kepada swasta.Â
Pemerintah AS mendukung para kapitalis, sehingga menumbuhkan banyak pengusaha yang sangat besar kekayaannya. Mereka inilah tulang punggung perekonomian negara, sehingga baik-buruknya pemerintah tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian. Contohnya:
- Indonesia punya BPJS Kesehatan yang tujuannya mengayomi semua rakyat dalam memperoleh layanan kesehatan, sedangkan AS tidak punya. Obamacare yang diluncurkan oleh presiden Obama tahun 2010 hanya diperuntukkan bagi pekerja lepas, paruh waktu dan pengusaha kecil yang tidak mendapat asuransi dari kantor. Itu pun tidak disukai oleh warga kelas menengah yang selama ini menikmati asuransi dari kantor, karena perusahaan asuransi kapitalis jadi menarik biaya lebih tinggi.Â
- Indonesia punya hukum ketenagakerjaan yang mengatur cuti tahunan, cuti melahirkan, dsb sedangkan AS tidak memiliki aturan nasional untuk itu. UU no.13 tahun 2003 juga mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja harus melalui peringatan terlebih dahulu, sedangkan di AS perusahaan bisa memecat pekerja secara mendadak. Peraturan ketenagakerjaan bergantung pada perusahaan dan/atau peraturan pemerintah daerah. Kena PHK di AS berarti sial beruntun karena sudah mendadak pun masih diikuti hilangnya asuransi kesehatan.Â
Dibandingkan dengan rakyat AS, sebetulnya lebih sulit bagi kita untuk tidak peduli pada pemerintah. Jika kita tidak ikut memilih, bisa jadi capres-cawapres yang terpilih bukanlah keinginan kita. Bahkan orang AS pun masih kaget pada saat Trump terpilih tahun 2016, karena sepertinya lebih banyak yang menyukai Clinton tetapi Clinton kalah.
Oleh karena itu, mari kita ingatkan elit politik kita. Tidak perlu berlomba-lomba unjuk kebodohan dan kegilaan seperti layaknya pemilu AS tahun 2016. Jangan beralasan "Di Amerika saja begitu" karena itu bukan alasan. Negara kaya belum tentu negara maju. Masa depan negara kita lebih ditentukan oleh suara kita, karena negara banyak berperan dalam kehidupan kita.
Mari kita ingatkan elit politik untuk berlomba-lomba unjuk kepintaran dan kewarasan. Stop kegiatan saling mencela dan melaporkan. Kita yang di media sosial juga sebaiknya berhenti menyebar provokasi dan mulai membicarakan solusi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H