Setelah pembacanya banyak dan tanggapan pembaca cukup baik, si pembuat komik mengeluarkan sticker yang bisa dipakai oleh para pembaca dalam berkomunikasi di media sosial. Sticker ini harus dibeli oleh pembaca, sehingga si pembuat komik mendapatkan uang.Â
Sandi tidak sendirian dalam kesulitannya membedakan ekonomi kreatif dan industri kreatif. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) milik negara pun rancu istilah.Â
Menurut peraturan presiden tahun 2015 no.72 tentang Bekraf, disebut tugas "merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif di bidang aplikasi dan game developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi, dan video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, dan televisi dan radio." Bidang-bidang tersebut mirip definisi "industri kreatif" milik pemerintah Inggris tahun 1998, bukan? Tampaknya Bekraf membatasi kebijakan ekonomi kreatif hanya untuk industri kreatif saja.Â
Kembali ke Gombloh, seorang seniman, yang membutuhkan kreativitas dalam berkarya. Karena hasil karyanya dikomersilkan, maka Gombloh berada dalam industri kreatif.Â
Penggerak industri kreatif dalam kasus Gombloh adalah produsernya. Jika Gombloh memasarkan dan menjual sendiri hasil karyanya, maka baru dia bisa disebut sebagai penggeraknya. Jika Gombloh menggunakan teknologi atau model bisnis yang tidak umum digunakan untuk menggerakkan ekonomi, maka baru dia bisa disebut sebagai pelaku ekonomi kreatif.
Mari tinggalkan kerancuan ini. Pelaku ekonomi kreatif tidak identik dengan seniman, melainkan pedagang.Â
Referensi:
[1] Definisi Creative Economy oleh British Council
[2] Definisi Creative Economy oleh John Howkins
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H