Kasus Amanda dan Afi punya kemiripan, yaitu:
- Kedua remaja ini belum paham efek buruk internet, sehingga mau terbuka di tempat umum tanpa mempersiapkan diri untuk memahami konsekuensinya. Amanda dengan unjuk kemampuan fisiknya, bisa menarik pencari sensasi biologis untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Afi dengan unjuk kemampuan berpikirnya, bisa menarik pencari sensasi kata-kata untuk mendapatkan pengakuan.
- Kedua remaja ini sama-sama masih labil, mudah terbuai dengan pujian, sehingga menganggap para pemuja benar-benar menyukai mereka. Amanda menyuguhkan dadanya, dan Afi menyuguhkan tulisan hasil plagiasi. Padahal, orang-orang dewasa ini bisa jadi cuma melampiaskan kehampaan diri mereka masing-masing. Sedangkan orang-orang dewasa yang bersikap proporsional, tidak reaksioner, menjadi tidak menarik buat mereka.Â
- Kedua kasus ini menjadi parah karena keterlibatan orang-orang dewasa yang memperberat beban para remaja ini. Amanda mendapat beban sebagai bintang porno, sedangkan Afi mendapat beban sebagai ikon persatuan bangsa. Tulisan senada dengan pendapat saya ini bisa ditemukan di akun Facebook Sunardian Wirodono. Kutipan dari tulisan itu: "Masyarakat yang reaktif tapi tidak responsif. Masyarakat yang eksploitatif tapi tidak eksploratif. Masyarakat by product bukannya by process."
Sikap reaksioner orang dewasa ternyata bisa membahayakan. Jadi, sekarang saatnya kita benar-benar melihat ke diri sendiri dan mencoba berbenah. Maukah kita disamakan dengan penyebar foto provokatif Amanda? Karena kita juga menyebarkan pemikiran Afi lewat media lain yaitu wawancara TV, pertemuan dengan tokoh-tokoh, sampai puji-pujian di media massa. Kenapa kita tidak biarkan Afi tetap di akun Facebook-nya, sambil dia belajar dewasa menghadapi reaksi-reaksi yang datang kepadanya?
Siapa lagi yang ingin saya ajak introspeksi? Yaitu para bully! Di kasus Amanda, bully-nya adalah anak-anak remaja seusianya. Tapi di kasus Afi, bully-nya adalah kita orang-orang dewasa juga!
Mari belajar dari kasus Amanda! Alasan kenapa tulisan ini saya juduli dengan namanya, karena bullying tidak pernah benar. Jika kita dengan sengaja ingin membuat orang lain merasa buruk, maka sebetulnya kita sendiri yang merasa buruk sampai tidak mampu melihat kebaikan diri kita sendiri. Karena kita terlalu fokus pada keburukan, maka keburukan orang lain terlihat begitu berkilau di mata kita. Itulah kenapa korban bully merasa seperti sampah, tidak berarti dan ingin lenyap dari dunia ini, sehingga pada beberapa kasus berakhir dengan bunuh diri.Â
Setiap remaja bisa berbuat kesalahan, walaupun orangtuanya menyayangi dan melindunginya. Namanya juga remaja, masih labil. Sayangnya, tidak semua orang dewasa mau melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa kesalahan itu bisa saja kita lakukan juga. Mari kita sebagai orang dewasa menyadari ini. Seorang pembuat kesalahan perlu dimaafkan dan diajak berpikir tentang masa depan yang lebih baik, bukannya di-bully. Kita sudah tahu dia salah, kenapa kita masih perlu membuatnya merasa buruk?
Jika seorang remaja sampai depresi karena di-bully, tidak berarti dia lebay. Justru depresi itu tanda-tanda bahwa bebannya terlalu berat. Tanda-tanda bahwa para bully sudah keterlaluan. Jika kita malah berperan sebagai penambah bebannya, maka introspeksilah!
Bagaimana tindak lanjut kasus Amanda? Ibunya menyayangkan kenapa ketika dia melapor ke polisi tentang pria penyebar foto Amanda, tidak terlalu mendapat tanggapan. Saran polisi hanya supaya Amanda menutup semua akun online-nya. Setelah Amanda bunuh diri, polisi baru bereaksi sigap. Dengan menugaskan 20 orang untuk memecahkan kasus ini, akhirnya polisi menemukan pelakunya yaitu seorang pria dari Belanda berusia 35 tahun. Dia ternyata sudah punya 39 korban di Eropa, Amerika, dan Kanada. Baru tahun ini si pelaku divonis hukuman penjara 10 tahun. Ibu Amanda, yang awalnya berkata "Sampai saya mati, saya akan terus penasaran dengan siapa capper yang sudah melakukan ini ke Amanda" akhirnya lega mendengar keputusan hukum ini.
Hal lain yang bisa kita pelajari dari kasus Amanda adalah soal melindungi anak-anak dan remaja waktu berinteraksi dengan orang asing secara online. Di Kanada, ada kasus serupa dengan kasus Amanda, di mana pelakunya adalah seorang pria muda berusia 21 tahun yang dikenal pemalu dan tidak berani menatap mata lawan bicaranya. Tidak ada yang menyangka bahwa pria ini mampu berlaku seperti itu, karena semua yang dia lakukan tersembunyi di kamarnya. Demikian juga bagi para korbannya, para remaja ini tidak terlihat dari luar. Seorang korban, mengaku diajak lepas busana oleh pria ini, bahkan ketika ibunya sedang menonton TV tidak jauh darinya. Hanya dengan menutup pintu kamar, ibunya tidak tahu apa yang terjadi. Untung pelaku segera tertangkap, sehingga tidak terjadi depresi berkepanjangan pada korbannya.
Bagi para orang orangtua:
1. Jadilah ahli situs-situs online. Ajak ngobrol anak-anak, apa yang lagi menarik buat mereka. Ayah Amanda yang punya password anaknya untuk mengecek chatting-nya pun tidak tahu ada situs seperti Younow!
2. Pastikan komputer mati benar-benar mati. Ada kalanya, anak mengaku sudah mematikan komputer, tapi setelah orangtua tidur dia kembali menyalakannya. Ayah Afi sempat menyita ponsel anaknya selama 10 hari. Coba bikin tempat penitipan ponsel dan laptop di kamar orangtua saat jam tidur?