Afi Nihaya Faradisa kembali di-bully oleh netizen, karena videonya dianggap mencontek video Amanda Todd. Padahal, Afi tidak mencontek video Amanda. Lalu, siapakah Amanda Todd?
Amanda adalah seorang remaja dari Kanada yang pada tahun 2012 bunuh diri di usia 15 tahun karena cyber bullying. Sebagian netizen menganggap bunuh diri Amanda adalah konyol. "Di-bully aja kok begitu? Lebay!" Dan itulah juga komentar yang sekarang terjadi di antara netizen Indonesia, yaitu menganggap Afi lebay. Di tulisan saya sebelumnya, sudah tergambar tentang reaksionernya orang-orang dewasa di Indonesia.Â
Mari tidak reaksioner. Coba tarik nafas panjang dan pasang hati untuk membaca paragraf-paragraf berikut ini.
Video yang diunggah oleh Amanda di Youtube 5 minggu sebelum kematiannya adalah rangkuman dari kisah hidupnya, perjalanannya mengapa dia di-bully. Singkat cerita, Amanda baru kelas 7 (SMP) waktu diberi laptop oleh ayahnya. Ayahnya kadang mengecek rekaman chatting Amanda di laptop dan merasa tidak ada yang aneh. Yang ayahnya tidak tahu adalah Amanda aktif di sebuah situs seperti younow.com. Di situs itu, siapapun bisa buka kanal live dengan webcam masing-masing dan bisa menerima perkenalan dan tatap muka online. Ada yang menyanyi, main musik, curhat, atau cuma bengong.
Amanda adalah anak yang suka menyanyi dan menari sejak kecil, dan sudah akrab dengan Youtube di mana dia mengunggah video pertamanya menyanyi umur 9 tahun. Sejak menemukan situs live untuk webcam ini, Amanda lebih tertarik menunjukkan kebolehannya di situ. Dia bisa interaksi dengan penontonnya layaknya penyanyi di panggung ditepukin tangan. Awalnya Amanda hanya menyanyi, sampai akhirnya ada seorang pria dewasa yang ngefans berat, dan minta dia menari lebih banyak. Karena terus dipuji-puji suara dan goyangannya, Amanda jadi terlena. Saat itu, dua sahabat Amanda mengetahui hal ini, dan mereka memahami kenapa Amanda mau menunjukkan dadanya tanpa penutup kepada pria itu. Ketiga abege ini menganggap kesalahan kecil ini akan segera terlupakan.
Namun, pria dewasa itu adalah salah satu dari jaringan pembuat capture dari video-video live para remaja ini, disebut "cappers". Bahkan mereka punya buletin mingguan yang menampilkan update "bintang baru minggu ini" lengkap dengan biodatanya. Tentu saja remaja-remaja ini tidak tahu kalau mereka punya penggemar gelap! Amanda cukup menarik, sehingga ada penggemar yang ingin melihat Amanda beraksi lebih lanjut. Tentu saja Amanda menolak. Pria ini kemudian mengunggah foto Amanda di sebuah situs porno dan mencari nama orangtua dan teman-teman sekolah Amanda. Ibu dan teman-teman sekolahnya dikirimi foto itu. Bahkan polisi sampai mendatangi rumah Amanda jam 4 pagi, mengabarkan bahwa foto kontroversial dan data dirinya telah tersebar online.Â
Inilah awal Amanda di-bully di sekolah. Dijuluki pelacur, perek, dan tidak ada yang mau berbicara dengannya. Lalu orangtuanya memindahkan Amanda ke sekolah lain, sekaligus pindah rumah. Tapi sejak inilah Amanda depresi dan jadi mencoba alkohol dan narkoba.
Setahun kemudian, si pria dewasa ini beraksi lagi. Setelah emailnya diblokir oleh Amanda, dia mengkontak Amanda lewat Facebook dan memintanya beraksi lewat webcam untuk memuaskan nafsu seksualnya. Karena Amanda menolak lagi, si pria ini membuat akun palsu sebagai anak SMA dan mengkontak para pelajar di sekolah baru Amanda. Dengan pesan perkenalan, "Aku akan masuk ke sekolahmu minggu depan, bolehkah kita berteman?" maka banyak sekali yang menerima pertemanan. Lalu si pria ini mengganti foto profilnya dengan foto kontroversial Amanda yang masih disimpannya. Akhirnya Amanda kembali di-bully di sekolah yang baru. Selalu sendirian waktu makan siang.
Orangtua Amanda sampai pindah kota demi kenyamanan putrinya di sekolah yang lebih jauh dari sekolah lama. Namun, kondisi mental Amanda sudah cukup mengkhawatirkan karena sangat ketakutan akan ada penyebaran fotonya lagi. Sempat mencoba bunuh diri dengan meminum obat pemutih, dia selamat karena segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah mencoba mengiris kulit tangannya, Amanda dibawa ke rumah sakit jiwa untuk menjalani perawatan mental. Kondisinya lalu lumayan membaik, namun setelah kembali ke sekolah dia di-bully lagi. Bahkan banyak meme bertebaran tentang "si penenggak obat pemutih" dan "si penghuni rumah sakit jiwa". Yang paling kejam adalah komentar, "Kenapa kamu gak bunuh diri aja, sih?"Â
Inilah pencetus Amanda membuat video itu. Tujuannya untuk proses pelampiasan emosi secara kreatif. Dengan kertas-kertas dan spidol hitam, dibuatlah rangkuman kisah sedihnya selama 3 tahun dalam video itu. Tampaknya Amanda tidak kuat menanggung kesedihan sehingga akhirnya bunuh diri. Video Amanda itu baru viral setelah dia meninggal.Â
Seorang remaja bernama Catherine Olek mengunggah video untuk mengecam para pem-bully Amanda. Remaja ini menggunakan kata-kata kasar dalam videonya, karena sangat marah dan tidak habis pikir terhadap kelakuan para pem-bully. Bahkan, dia mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah orang brengsek, tapi dia masih punya hati tidak akan mem-bully orang seperti Amanda. Nah, video Catherine inilah yang ditiru oleh Afi.
Kasus Amanda dan Afi punya kemiripan, yaitu:
- Kedua remaja ini belum paham efek buruk internet, sehingga mau terbuka di tempat umum tanpa mempersiapkan diri untuk memahami konsekuensinya. Amanda dengan unjuk kemampuan fisiknya, bisa menarik pencari sensasi biologis untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Afi dengan unjuk kemampuan berpikirnya, bisa menarik pencari sensasi kata-kata untuk mendapatkan pengakuan.
- Kedua remaja ini sama-sama masih labil, mudah terbuai dengan pujian, sehingga menganggap para pemuja benar-benar menyukai mereka. Amanda menyuguhkan dadanya, dan Afi menyuguhkan tulisan hasil plagiasi. Padahal, orang-orang dewasa ini bisa jadi cuma melampiaskan kehampaan diri mereka masing-masing. Sedangkan orang-orang dewasa yang bersikap proporsional, tidak reaksioner, menjadi tidak menarik buat mereka.Â
- Kedua kasus ini menjadi parah karena keterlibatan orang-orang dewasa yang memperberat beban para remaja ini. Amanda mendapat beban sebagai bintang porno, sedangkan Afi mendapat beban sebagai ikon persatuan bangsa. Tulisan senada dengan pendapat saya ini bisa ditemukan di akun Facebook Sunardian Wirodono. Kutipan dari tulisan itu: "Masyarakat yang reaktif tapi tidak responsif. Masyarakat yang eksploitatif tapi tidak eksploratif. Masyarakat by product bukannya by process."
Sikap reaksioner orang dewasa ternyata bisa membahayakan. Jadi, sekarang saatnya kita benar-benar melihat ke diri sendiri dan mencoba berbenah. Maukah kita disamakan dengan penyebar foto provokatif Amanda? Karena kita juga menyebarkan pemikiran Afi lewat media lain yaitu wawancara TV, pertemuan dengan tokoh-tokoh, sampai puji-pujian di media massa. Kenapa kita tidak biarkan Afi tetap di akun Facebook-nya, sambil dia belajar dewasa menghadapi reaksi-reaksi yang datang kepadanya?
Siapa lagi yang ingin saya ajak introspeksi? Yaitu para bully! Di kasus Amanda, bully-nya adalah anak-anak remaja seusianya. Tapi di kasus Afi, bully-nya adalah kita orang-orang dewasa juga!
Mari belajar dari kasus Amanda! Alasan kenapa tulisan ini saya juduli dengan namanya, karena bullying tidak pernah benar. Jika kita dengan sengaja ingin membuat orang lain merasa buruk, maka sebetulnya kita sendiri yang merasa buruk sampai tidak mampu melihat kebaikan diri kita sendiri. Karena kita terlalu fokus pada keburukan, maka keburukan orang lain terlihat begitu berkilau di mata kita. Itulah kenapa korban bully merasa seperti sampah, tidak berarti dan ingin lenyap dari dunia ini, sehingga pada beberapa kasus berakhir dengan bunuh diri.Â
Setiap remaja bisa berbuat kesalahan, walaupun orangtuanya menyayangi dan melindunginya. Namanya juga remaja, masih labil. Sayangnya, tidak semua orang dewasa mau melihat ke dalam dirinya sendiri, bahwa kesalahan itu bisa saja kita lakukan juga. Mari kita sebagai orang dewasa menyadari ini. Seorang pembuat kesalahan perlu dimaafkan dan diajak berpikir tentang masa depan yang lebih baik, bukannya di-bully. Kita sudah tahu dia salah, kenapa kita masih perlu membuatnya merasa buruk?
Jika seorang remaja sampai depresi karena di-bully, tidak berarti dia lebay. Justru depresi itu tanda-tanda bahwa bebannya terlalu berat. Tanda-tanda bahwa para bully sudah keterlaluan. Jika kita malah berperan sebagai penambah bebannya, maka introspeksilah!
Bagaimana tindak lanjut kasus Amanda? Ibunya menyayangkan kenapa ketika dia melapor ke polisi tentang pria penyebar foto Amanda, tidak terlalu mendapat tanggapan. Saran polisi hanya supaya Amanda menutup semua akun online-nya. Setelah Amanda bunuh diri, polisi baru bereaksi sigap. Dengan menugaskan 20 orang untuk memecahkan kasus ini, akhirnya polisi menemukan pelakunya yaitu seorang pria dari Belanda berusia 35 tahun. Dia ternyata sudah punya 39 korban di Eropa, Amerika, dan Kanada. Baru tahun ini si pelaku divonis hukuman penjara 10 tahun. Ibu Amanda, yang awalnya berkata "Sampai saya mati, saya akan terus penasaran dengan siapa capper yang sudah melakukan ini ke Amanda" akhirnya lega mendengar keputusan hukum ini.
Hal lain yang bisa kita pelajari dari kasus Amanda adalah soal melindungi anak-anak dan remaja waktu berinteraksi dengan orang asing secara online. Di Kanada, ada kasus serupa dengan kasus Amanda, di mana pelakunya adalah seorang pria muda berusia 21 tahun yang dikenal pemalu dan tidak berani menatap mata lawan bicaranya. Tidak ada yang menyangka bahwa pria ini mampu berlaku seperti itu, karena semua yang dia lakukan tersembunyi di kamarnya. Demikian juga bagi para korbannya, para remaja ini tidak terlihat dari luar. Seorang korban, mengaku diajak lepas busana oleh pria ini, bahkan ketika ibunya sedang menonton TV tidak jauh darinya. Hanya dengan menutup pintu kamar, ibunya tidak tahu apa yang terjadi. Untung pelaku segera tertangkap, sehingga tidak terjadi depresi berkepanjangan pada korbannya.
Bagi para orang orangtua:
1. Jadilah ahli situs-situs online. Ajak ngobrol anak-anak, apa yang lagi menarik buat mereka. Ayah Amanda yang punya password anaknya untuk mengecek chatting-nya pun tidak tahu ada situs seperti Younow!
2. Pastikan komputer mati benar-benar mati. Ada kalanya, anak mengaku sudah mematikan komputer, tapi setelah orangtua tidur dia kembali menyalakannya. Ayah Afi sempat menyita ponsel anaknya selama 10 hari. Coba bikin tempat penitipan ponsel dan laptop di kamar orangtua saat jam tidur?
3. Jangan anggap remeh bullying. Anak yang sudah jadi korbannya biasanya sudah merasa sampah, sehingga bahkan tidak mau mengaku jadi korban, karena merasa layak di-bully. Amanda pernah dipukuli dan terjatuh di selokan namun tidak mengaku ke ayahnya kalau telah di-bully. Biasakan mendengarkan cerita anak sepulang sekolah.
Selain itu, harapan saya semoga Kepolisian Indonesia bisa lebih canggih dalam menangkap para pembuat akun palsu yang menjadi bully di internet apalagi pembuat hoax! Kepolisian Kanada sudah bekerja sama dengan Facebook. Ketika ada orang yang masih tega menulis caci-maki di laman Facebook yang dibuat untuk mengenang Amanda, polisi segera bertindak dengan menghapus akun orang itu.
Berkah dari kasus Afi meniru video Catherine Olek, kita jadi tahu kasus Amanda Todd. Demikian uneg-uneg saya tentang kedua kasus ini, semoga bisa diambil hikmahnya.
Sumber:
2. Film Dokumenter oleh CBC News
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H