Mohon tunggu...
Qisthi
Qisthi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

biarkan mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Sebuah Bintang

4 Februari 2019   11:05 Diperbarui: 4 Februari 2019   11:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.campliveoakfl.com

"Ndak papa kok Bu,"jawabku berbohong.

"Ibu tahu, perasaanmu. Ibu tahu kamu. Besok, peringatan 100 hari kepergian Bapak, Nduk. Apapun itu, yang ada di pikiranmu, bahkan hatimu, tolong ceritakan pada Ibu," kata Ibu

"Entahlah, Bu."

Ibu berkata pelan, sembari mengelus rambutku"Ketahuilah Nduk, Ibu pun sangat sedih, begitu juga adikmu Nando. Tak seharipun Ibu tidak rindu sama Bapakmu, tapi kesedihan itu tidak boleh membuatmu seperti ini."

"Naura masih berusaha, Bu. Jangan cemaskan Naura," kataku pelan, berharap percakapan ini selesai sampai disini.

"Baiklah, Nduk. Ibu harap kamu mau lebih terbuka setelah ini. Selamat tidur, semoga mimpi indah ya Nduk,"Ibu mengecup keningku. Lalu beranjak pergi.

Tinggallah aku, dengan semua pikiranku. Besok peringatan 100 hari kepergian Bapak. Lihatlah aku, masih sangat menyedihkan. Aku tahu, semua orang sedih. Aku tahu berat sekali bagi Ibu, berusaha terlihat kokoh di depan semua orang. Pernah suatu malam, aku mendapatinya tersedu di dalam kamarnya, memeluk erat pigura foto keluarga kecil kami. Semua kesedihannya, ia tutupi rapat-rapat. Tapi aku bukan Ibu. Aku tak bisa seperti Ibu, betapapun aku mencoba.

Aku masih saja berdiam diri, menggali kubangan kesedihanku sendiri. Tiap malam aku masih melakukan tradisi kecil kami berdua, aku dan Bapak -- kami menatap bintang-bintang. Selepas shalat Isya dan tepat sebelum makan malam.

Aku ingat betul waktu itu, BonBon, satu-satunya kucingku, mati entah karena apa. Aku yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, merajuk seharian penuh. Mengurung diri di kamar, menangis seharian. Ibu amat gusar waktu itu, tapi tidak dengan Bapak. Ia selalu berhasil membujukku. Tepat sebelum waktu makan malam tiba, ia menggendongku, membawaku keluar rumah. Di balik bahu kokohnya, aku masih sesenggukan. Entah apa maksud Bapak, membawaku keluar di malam yang dingin ini, pikirku dalam hati. Kami duduk di halaman rumah, di atas rumput jepang yang selalu rapi.

"Ra lihatlah bintang di atas sana,"katanya pelan sambil mengarahkan telunjuknya ke arah langit. Aku hanya mengangguk malas.

"Ra, Bonbon saat ini juga diatas sana. Bersama bintang-bintang. Sedang melihat Ra yang sedih."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun