"Iya tuh, Mbak kalo keluar rumah kayak gitu sering ga pake jaket, Bu" Nando ikut berpendapat.
"Enggak Bu, Naura mah udah kebal sama dingin. Lagipula, Naura kan udah biasa, Bu.", aku berusaha menenangkan Ibu, dan juga Nando.
"Ibu kan udah paham, Naura suka melihat bintang-bintang, Bu," aku menambahkan lagi.
Akhirnya, ku keluarkan jawaban pamungkas itu. Meja makan lengang selama 10 menit kami makan bersama malam ini. Belakangan, itulah yang selalu ku lakukan. Melihat bintang-bintang, jika langit tengah berpihak kepadaku. Lalu, menjawab pertanyaan Ibu setelahnya, karena aku tetap saja tak bisa membuat Ibu gusar.
Dan seperti yang kuharapkan, makan malam yang tenang dan lebih cepat dari biasanya.
"Nasi gorengnya Ibu selalu enak, Naura suka. Ngomong-ngomong, Naura pamit tidur dulu ya Bu. Naura udah ngantuk banget, mau langsung tidur aja,"
"Eh...iya Nduk. Jangan lupa pakai selimut ya.."
Aku beranjak dari kursi, membawa piring kotorku ke wastafel. Lalu bergegas menuju tempat dimana aku menyebutnya "My Red-Zone". Kurebahkan badanku di ranjang. Tak ada tempat senyaman kamarku ini, meski luasnya hanya 3x2 meter, tapi kesan minimalis selalu menjadi favoritku. Terlebih lagi, aku mendekor kamar ini bersama Bapak, pikiranku kembali menarikku menuju masa itu, tepat ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
"Iya, masuk saja Bu", kataku. Aku tahu, itu pasti Ibu.
Pintu berderit perlahan, Ibu melangkah masuk, langkahnya selalu pelan dan hati-hati. Ia duduk tepat di samping ranjangku. Jaraknya begitu dekat, sehingga aku bisa melihat gari-garis di wajahnya, ia terlihat amat lelah.
"Naura, kamu tidak apa-apa Nduk?", ah lagi-lagi pertanyaan itu.