Mohon tunggu...
Qisthi
Qisthi Mohon Tunggu... Mahasiswa -

biarkan mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Sebuah Bintang

4 Februari 2019   11:05 Diperbarui: 4 Februari 2019   11:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.campliveoakfl.com

"When you let your heart be the compass
You won't get lost, not if you trust it."

- Almost Home, Mariah Carey

Malam ini, langit Desember lebih cerah dari biasanya, sehingga beberapa bintang menampakkan dirinya tanpa malu-malu. Mereka yang nampak, setidaknya mampu bersaing mengalahkan polusi cahaya di bumi malam ini, terutama di kota kecilku. Terkadang, aku sangat ingin Bapak Petugas PLN memadamkan listrik di-seluruh-tempat secara serentak, khusus malam hari saja. Sehingga kami, para manusia, bisa sejenak melupakan segala hal yang kami anggap sangat besar seolah kami tak kuasa lagi menghadapinya. Agar kami, sejenak saja, leluasa memandang keatas, mengagumi kuasa-Nya.

Gugusan bintang yang memesona mata, dan jika beruntung, beserta pemandangan langka Galaksi Bima Sakti. Ah, aku sampai ngiler membayangkan keajaibannya. Di beberapa tempat dengan polusi cahaya yang rendah, mereka semua dapat dilihat tanpa bantuan teropong bintang sekalipun di malam yang cerah. Sementara di sebagian besar tempat lainnya salah satunya di tanah kelahiranku, kita mesti bersusah payah untuk melihatnya. Dengan mendaki gunung, misalnya.

Dua menit yang lalu, aku melihat satu bintang yang cukup terang di langit sebelah utara. Oh, aku sebenarnya tak terlalu paham apakah itu utara atau selatan. Bintang itu berpendar-pendar seakan tengah mengerjap kepadaku. Cahayanya cukup terang, hingga awan kini sempurna menutupinya. Dan membuyarkan dunia mimpi yang tengah ku bangun malam ini.

Lalu, seketika muncul wajah itu, terlihat nyata seakan aku tengah berhadapan dengannya langsung. Kurasa aku melihatnya tersenyum. Dan mata teduhnya, aku bertatapan dengan mata itu untuk ribuan kalinya. Mata yang selalu memenangkan hati kecilku yang keras seperti batu. Malam ini, di penghujung Desember yang dingin, aku bertemu dengannya sekali lagi. Seseorang yang memenangkan hatiku, untuk yang pertama kalinya.

"Mbak, ayolah masuk kedalam, nasi gorengnya udah mateng dari tadi, kami itu nungguin kamu lho",sebuah suara yang menyelamatkanku. Itu suara Nando, adik tampanku satu-satunya. Kurasa ini ketiga kalinya ia memintaku masuk.

"Iya, Ndo, iya. Mbak masuk deh," jawabku seadanya.

"Mbak nggak papa kan? Kayaknya Nando lagi ga boleh nggangguin Mbak ya?",

"Ngomong apa sih kamu? Emang Mbak keliatan sakit ya?", kataku sembari mengacak-acak rambutnya. Aku tahu betul, bukan itu yang Nando ingin dengar. Tapi, peduli amat lah, setidaknya aku mau menjawab. Kami berdua berjalan menuju ruang makan tanpa satupun percakapan lagi. Nah, ini lebih baik, kataku dalam hati.

Harum nasi goreng buatan Ibu memenuhi ruang makan yang kini terlihat lengang, tapi memang ku akui, soal rasa dan aroma, membuatku selalu jatuh cinta dengan masakan Ibu. Entah bagaimana, itu membuatku selama 18 tahun ini hampir-hampir selalu memilih makan masakan Ibu alih-alih jajan masakan ibunya orang lain. Bahkan ketika aku kuliah sekalipun, aku masih membawa bekal yang dibuatkan Ibu. Namun, tidak lagi belakangan ini.

"Naura, kamu apa enggak kedinginan sering duduk di luar malam-malam begini, Nduk?"kata Ibuku terdengar cemas, sesaat setelah aku dan Nando duduk di tempat kami masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun