Mohon tunggu...
Qenan Saputra
Qenan Saputra Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah Kehidupan

Waktu itu tak berhenti, jangan ada kata sesal di kemudian hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya: Perempuan Seni Tradisi dalam Sistem Patriarki

2 Maret 2022   16:15 Diperbarui: 2 Maret 2022   16:29 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan Seni Tradisi dalam Sistem Patriarki

         Perbincangan tentang perempuan seni tradisi merupakan kajian yang menarik.  Perempuan seperti tandha', ronggeng, dan gandrung telah menjadi daya tarik setiap pertunjukan seni tradisi. Mereka adalah para penyanyi dan penari yang suara dan gerakannya disucikan dan dikecam oleh norma-norma masyarakat. Bahkan sering digiring dalam pemaknaan dan penerimaan sebagai pihak yang terpojok, penggoda duniawi, dan sederet julukan yang serba tidak mengenakkan serta menjadi sasaran cemooh, sindiran, dan fatwa haram masyarakat. Stereotif itu harus ditelan sebagai dampak dari konstruksi relasi kuasa tertentu yang merasa terusik oleh perilaku penari di atas pentas.

          Pada era saat ini mengisyaratkan bahwa perempuan seni tradisi dan kesenian tradisi tidak hanya diartikan sebagai hiburan atau ekspresi diri sebuah komunitas lokal, melainkan juga berhadapan dengan dua kekuatan: agama dan negara.

          Secara politis, negara dan agama tidak hanya menempatkan perempuan seni tradisi sebagai subordinat, melainkan juga merepresi dan membatasi keberadaan mereka. Dalam konteks ini agama bukanlah wahyu atau material teks yang bersifat Illahiah, melainkan serangkaian penafsiran yang mewujud dalam tataran pemikiran maupun realitas sosio-kultural dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Agama lebih berupa realitas manusiawi yang terbentuk atas dasar interaksi antarberbagai aspek yang kasat mata dengan makna yang diproduksi dari pembacaan atas material teks tersebut. Menurut Gramsci (1971), kelas-kelas subaltern adalah mereka yang disubordinasikan oleh kekuasaan yang dominan, dipinggirkan dari dari representasi politik. Subaltern adalah mereka yang berada pada posisi non-dominan dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari kelompok-kelompok mainstream yang memiliki kekuasaan. Dalam konsep hegemoni Gramsci, kaum intelektual memiliki peran untuk menegosiasikan agar kelas subaltern yang dimarginalisasi di luar sistem tidak lagi berada dalam posisi tersebut.

          Perempuan seni tradisi memperlihatkan terdapat pemihakan terhadap perempuan yang dianggap subaltern. Hal tersebut memunculkan asumsi dasar untuk melesatkan hak otorit.

           Bila kelompok intelektual (peneliti, akademisi, dan budayawan) ingin melakukan pendampingan bagi kelompok subaltern, maka yang diperlukan adalah melaporkan realitas subaltern dan kesubalternitas mereka yang tidak terwakili dalam ruang sosial. Situasi ini pun dipersoalkan kembali oleh Spivak (1988) bahwa menarasikan dan menafsirkan problem kelompok subaltern tidak akan pernah lepas dari subjektivikasi penafsir.

             Salah satu hambatan dalam kesetaraan gender adalah adanya ideologi patriarki, karena konsep kekuasaan secara tradisional diasosiasikan dengan maskulinitas. Sampai saat ini ideologi patriarki masih menjadi ideologi dominan. Perspektif ini menempatkan perempuan berada pada status subordinat daripada sebagai pribadi yang setara. Dalam mencari solusi atas pandangan ideologis tersebut menjadi kompleks karena telah melahirkan sistem nilai, norma, dan budaya yang terlembaga yang relatif mantap dan ajeg. Bahkan telah menjadi konstruksi yang kokoh.

Hal lain yang menyebabkan lemahnya posisi perempuan seni tradisi adalah upaya dunia industri kapitalis yang telah menjadikan perempuan seni tradisi sebagai komoditas seni. Perempuan seni tradisi dipandang sebagai variabel faktor produksi yang nilainya sama dengan faktor-faktor produksi lainnya. Dalam kasus perempuan seni tradisi, mereka telah ditempatkan oleh kaum lelaki yang umumnya para pengelola sebagai produk yang ditawarkan oleh sistem pertunjukan untuk dijual. Selain itu, sikap ketidakberdayaan mereka menyikapi tindak ketidakadilan tersebut sangat berhubungan dengan kondisi internal mereka sendiri. Dilihat dari pendidikan umumnya perempuan seni tradisi hanya memiliki pendidikan formal yang rendah dengan status sosial-ekonomi yang tidak mencukupi.       

Fenomena tersebut terjadi karena bias gender masih sangat menguasai perempuan, sehingga hak-hak, status, dan akses atas kekuasaan atas dirinya perlu untuk diaktualisasikan. Perempuan seni tradisi seharusnya juga menikmati hak-hak seperti hak sipil dan politik, hak ekonomi dan sosial, dan yang lebih penting adalah hak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan baik di ruang publik maupun domestik.

            Struktur nilai secara tidak langsung telah menjadi landasan konstruk masyarakat Indonesia. Konstruk itulah yang melahirkan persepsi, citra, sikap, dan perlakuan terhadap keberadaan perempuan seni tradisi. Terdapat konstruk yang membentuk kesadaran masyarakat, bahwa secara normatif menikmati seni yang dilakukan oleh seorang perempuan adalah tindakan amoral. Dalam hubungan ini yang paling tersudut adalah perempuan seni tradisi. Dalam berbagai kasus yang ada perlakuan yang tidak wajar terhadap perempuan seni tradisi secara yuridis formal mestinya dapat dinilai sebagai pelecehan, penipuan, pelanggaran hukum, bahkan tindak kriminal. Akan tetapi, karena secara normatif perempuan seni tradisi oleh masyarakat dikategorikan sebagai kelompok "tidak baik", maka tindakan membela diri kurang mendapat dukungan yang signifikan dari masyarakat. Bahkan, mereka lebih dilecehkan. Jadi, dengan kesadaran demikian terdapat situasi sosial yang terpecah. Di satu pihak masyarakat membutuhkan seni, di pihak lain nilai yang dianut tidak memberi justifikasi. Konstruk inilah yang akhirnya melahirkan perlakuan yang tidak menguntungkan, khususnya bagi perempuan seni tradisi.

Adanya konstruk yang melahirkan hubungan tidak adil terhadap keberadaan perempuan seni tradisi seharusnya tidak perlu terjadi. Dalam pandangan pluralisme ekspresi budaya dalam bentuk apa pun harus dapat diterima dengan sikap netral. Pemberian nilai dan makna subjektif terhadap bentuk ekspresi estetik seharusnya ditujukan pada substansinya dan bukan pada efek yang menyertainya, sehingga terbuka sebuah kesadaran akan hak budaya bagi perempuan seni tradisi dalam kehidupannya.         Kesenian dalam hal ini tidak hanya sekedar media hiburan melainkan sebagai bagian yang sangat penting dari diri seseorang sebagai totalitas diri seorang seniman. Untuk itu, rekonstruksi ini harus dapat memberi kesadaran baru bahwa perempuan seni tradisi adalah orang yang secara sosial, budaya, dan agama menjalankan profesi yang sah. Oleh karena itu, mereka berhak mendapatkan perlakuan dan hak-hak yang sama sebagaimana perempuan yang melakukan profesi lain. Hal yang terpenting adalah terbukanya hak-hak budaya sebagai warga masyarakat yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia.

            Dalam perspektif kajian budaya relasi sosial yang tidak menguntungkan bagi perempuan seni tradisi perlu diupayakan agar terjadi rekonstruksi yang proporsional.  Upaya ini mendapat peluang cukup besar sejalan dengan wacana baru yang terus berkembang secara dinamis, khususnya di kalangan tokoh-tokoh umat Islam yang telah menerima nilai-nilai baru tentang pluralisme, demokrasi, dan kesamaan hak.

            Dalam konteks ini, pendekatan yang diperkirakan paling sesuai adalah memandang bahwa keberadaan perempuan seni tradisi yang selama ini termajinalisasi dan tereksploitasi dari berbagai sisi harus dipandang sebagai konstruksi sosial dan kultural dan sebagai bentuk-bentuk kekerasan jender. Sejumlah kegiatan yang diperkirakan signifikan, seperti pendidikan publik tentu akan memberikan kontribusi besar untuk mematahkan asumsi-asumsi sosial tertentu yang mengotakkan perempuan seni tradisi dan untuk melawan diskriminasi yang telah mengakar berdasarkan budaya, tradisi, dan agama.

Dalam hal ini perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut.

1) Menumbuhkan dan memperkuat potensi perempuan seni tradisi sebagai pelaku seni (survival strategy) dan membangun wacana baru tentang perempuan seni tradisi di kalangan masyarakat, khususnya pada kalangan agama sehingga tercipta konstruk baru yang dapat diterima.

2) Mencoba menawarkan pendekatan-pendekatan baru dalam menyikapi seni tradisi sehingga seni tradisi dapat diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang selama ini resisten.

3) Memberi pelatihan dan sosialisasi tentang hak-hak perempuan seni tradisi dalam bidang politik, hukum, sosial, dan budaya.

4) Memberikan penyadaran terhadap perempuan seni tradisi tentang statusnya yang berhak memperoleh perlakuan yang adil di depan hukum dan penghormatan publik, serta mampu melakukan pembelaan (advokasi) ketika mendapat perlakuan tidak adil dari pihak luar

            Dalam upaya pemberdayaan perempuan, khususnya perempuan seni tradisi terdapat banyak metode dan strategi yang diterapkan. Salah satunya kerangka pemberdayaan perempuan dirancang oleh Sarah Longwe (dalam Muttalib, 1972) yang meliputi lima tingkatan pemerataan, yakni:

1) Tingkat Kesejahteraan. Tingkat ini merupakan tingkat kesejahteraan perempuan yang    bersifat material, seperti tingkat pendapatan.

2) Tingkat akses. Mengatasi kesenjangan jender berarti akan meningkatkan akses  perempuan sehingga setara dengan laki-laki.

3) Tingkat penyadaran kritis. Tingkat kesetaraan ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah mereka tidak berasal dari ketidakmampuan pribadi, melainkan karena ditundukkan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi dalam diri perempuan.

4) Tingkat partisipasi aktif. Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuan dalam proses pengambilan keputusan.

5) Tingkat kontrol/kekuasaan. Pada tingkat kontrol, kesenjangan jender diwujudkan sebagai ketidaksetaraan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. 

            Menurut Weiler (1988) adapun agenda untuk mengakhiri sistem yang ketidakadilan ini yaitu: (1) Melawan hegemoni yang merendahkan kaum perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi ideology. Melakukan rekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja, pada tingkat dan dalam bentuk apa saja. Bisa jadi dengan pendidikan kritis mampu menolak ideology dan norma yang dipaksakan. Tujuan upaya ini untuk membangkitkan kesadaran kritis jender yakni kesadaran akan ideology hegemoni dominan dan kaitannya dengan penindasan jender. Maka melalui pendidikan kritis ini yang menjadi dasar bagi transformasi jender; (2) Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa  keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Gerakan transformasi jender lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil. Transformasi jender sebagai jalan menuju proses penghapusan segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi yang meliputi hubungan ekonomi, sosial, cultural, ideology, lingkungan, dan hubungan laki-laki dan perempuan (Nugroho, 2003:155). Dengan demikian, langkah gerakan transformasi gender perlu diwadahi dalam bentuk model pemberdayaan pendidikan adil jender bagi perempuan seni tradisi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun