Dalam perspektif kajian budaya relasi sosial yang tidak menguntungkan bagi perempuan seni tradisi perlu diupayakan agar terjadi rekonstruksi yang proporsional.  Upaya ini mendapat peluang cukup besar sejalan dengan wacana baru yang terus berkembang secara dinamis, khususnya di kalangan tokoh-tokoh umat Islam yang telah menerima nilai-nilai baru tentang pluralisme, demokrasi, dan kesamaan hak.
      Dalam konteks ini, pendekatan yang diperkirakan paling sesuai adalah memandang bahwa keberadaan perempuan seni tradisi yang selama ini termajinalisasi dan tereksploitasi dari berbagai sisi harus dipandang sebagai konstruksi sosial dan kultural dan sebagai bentuk-bentuk kekerasan jender. Sejumlah kegiatan yang diperkirakan signifikan, seperti pendidikan publik tentu akan memberikan kontribusi besar untuk mematahkan asumsi-asumsi sosial tertentu yang mengotakkan perempuan seni tradisi dan untuk melawan diskriminasi yang telah mengakar berdasarkan budaya, tradisi, dan agama.
Dalam hal ini perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut.
1) Menumbuhkan dan memperkuat potensi perempuan seni tradisi sebagai pelaku seni (survival strategy) dan membangun wacana baru tentang perempuan seni tradisi di kalangan masyarakat, khususnya pada kalangan agama sehingga tercipta konstruk baru yang dapat diterima.
2) Mencoba menawarkan pendekatan-pendekatan baru dalam menyikapi seni tradisi sehingga seni tradisi dapat diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang selama ini resisten.
3) Memberi pelatihan dan sosialisasi tentang hak-hak perempuan seni tradisi dalam bidang politik, hukum, sosial, dan budaya.
4) Memberikan penyadaran terhadap perempuan seni tradisi tentang statusnya yang berhak memperoleh perlakuan yang adil di depan hukum dan penghormatan publik, serta mampu melakukan pembelaan (advokasi) ketika mendapat perlakuan tidak adil dari pihak luar
      Dalam upaya pemberdayaan perempuan, khususnya perempuan seni tradisi terdapat banyak metode dan strategi yang diterapkan. Salah satunya kerangka pemberdayaan perempuan dirancang oleh Sarah Longwe (dalam Muttalib, 1972) yang meliputi lima tingkatan pemerataan, yakni:
1) Tingkat Kesejahteraan. Tingkat ini merupakan tingkat kesejahteraan perempuan yang   bersifat material, seperti tingkat pendapatan.
2) Tingkat akses. Mengatasi kesenjangan jender berarti akan meningkatkan akses  perempuan sehingga setara dengan laki-laki.
3) Tingkat penyadaran kritis. Tingkat kesetaraan ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah mereka tidak berasal dari ketidakmampuan pribadi, melainkan karena ditundukkan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi dalam diri perempuan.