Sekitar shubuh hari, kami berdua sampai didepan rumahku. Dari depan rumah tampak terlihat keadaan rumahku masih agak gelap. Mungkin ibu dan ayah masih belum bangun akibat suasana hujan yang tidak mau berhenti.
  Kekhawatiran ku mulai lagi ada, terbesir dalam pikiran ku apakah kedua orang tuaku akan menerima wanita yang aku bawa ini dan seperti apa jadinya jika Alin tahu kalau aku sudah menikah.
  Didepan pintu, kami berhenti sebentar untuk mengatasi kegelisahan yang menyelimuti pikiranku. Sehingga mengundang perhatian Alin, dia lalu bertanya padaku dengan nada yang paling mesra.
  "Syarif, laki-laki yang menggemparkan hatiku karena kuasa cintamu telah kekuatan diriku, apa yang kamu lakukan ? Mengapa tidak mengetuk pintu rumahmu ?. Cepatlah ketuk, aku mau istirahat, Syarif. Aku capek, dingin dan perasaan ini ingin segera memeluk mu dengan cara yang paling unik."
  Melihat keadaan Alin yang agak menggigil karena kedinginan, aku merangkulnya dengan nilai transfer hawa hangat agar terhubung kesuluruh sekucur tubuhnya supaya merasakan bagaimana rasanya jika antusias rasa tidak pernah putus.
  Tidak berlangsung lama, ternyata ibuku sudah melihat kami dari dalam jendela depan pintu bahwa aku datang, kembali kerumah dengan membawa sebuah intan bercahaya yang kilaunya masih tertutup oleh lilitan kiswa bajuku.
  "Apakah kamu yang datang, Syarif ?." Tanya ibuku dari dalam rumah sambil membuka pintu rumah.
  Aku tidak bisa menjawab dengan lantang sebab keadaan sewaktu aku meninggalkan rumah tidak dalam baik-baik saja.
  Sekedarnya saja, aku merespon pertanyaan ibuku, " iya, Bu. Aku yang datang !."
  Bisikkan kata yang seadanya pun keluar dari wanita yang aku cintai, "apakah wanita itu adalah ibumu, Syarif ?.''
  "Iya." Jawabku pada Alin.
  "Oh. Ibumu masih muda juga. Belum terlalu tua dan terlihat amat begitu ramah."
  "Masuklah, nak !." Suruh ibuku pada kami. Lanjut ibuku, "siapa wanita yang bersamamu itu. Bukankah wanita yang amat kamu cintai sudah tiada. Lalu siapa wanita yang mirip dengan nya itu ?." Tanya ibuku memperjelas maksud nya.
  "Dia adalah wanita yang jauh, Bu. Kedatangan nya kesini pada awalnya hanya ingin melakukan sebuah penelitian tapi skema rangkaian tugas itu berada pada posisi kebaikan yang aku sendiri mendapatkan tempat untuk berteduh dalam hatinya."
  Sambil memegang pergelangan tangan ku, ibuku berkata, "maksudmu, nak ?. Tapi masuklah dulu kerumah, biarkan dulu dia istirahat, ganti bajunya, dan setelah itu baru kita cerita."
  Kamipun masuk kedalam rumah. Alin menuju kamar mandi untuk mencuci badanya sementara aku hanya tersenyum melihat nya amat bergairah dalam rumah ini.
  Setelah Alin selesai dan akupun selesai mengganti pakaianku, kemudian kami duduk dikursi panjang berhadapan dengan ibuku.
  "Dimana ayah ?." Tanyaku pada ibuku.
  "Ayahmu masih dikamar, nak. Coba ceritakan pada ibu siapa wanita itu.''
  Alin yang duduk disampingku tak henti-hentinya menggenggam tangan hingga mengundang perhatian ibuku.
  "Jadi gini Bu. Dia adalah Alin, seorang wanita yang datang dari jauh untuk sebuah tujuan yang tadi sempat aku bahasakan pada ibumu. Cuman ada hal yang aku lihat, yang menarik perhatian ku dan bahkan sebagian orang yang pernah bertemu dengannya bahwa dia mirip Lina. Aku juga begitu heran dan kaget saat pertama kali melihatnya. Waktu itu aku mengira bahwa dia adalah Lina karena sangat mustahil di dunia ini ada seseorang yang memiliki kemiripan yang tidak berbeda. Ternyata pandangan berbeda itu hanya ada pada mata manusia"_
  "Ditambah lagi bola matanya yang agak kebiruan, aku lebih yakin lagi Alin adalah Lina."
  Jadi namanya Alin ya ?. Ibu juga heran melihat nya, nak. Dia memang mirip Lina. Berbeda hanya pada segi postur tubuh, cara bicara dan mungkin juga pada caranya melihat.''
  Dalam suasana yang tengah hangat ini, dipagi hari yang masih buta. Ketika senja mulai tampak dengan wajah mempesonanya, aku melihat Alin menguap, dia mengantuk karena tadi malam tidak ada tidurnya.
  Ibuku penuh pengertian. Ibuku menyuruh Alin agar masuk kedalam kamar untuk istirahat dulu. "Nak, bawa masuk Alin kekamarnya, biarkan dia menikmati keindahan pagi dengan beristirahat dulu dan kamu sudah itu, temui ibu disini ya."
  "Baik, Bu !."
  Akupun mengajak Alin untuk masuk kedalam kamarnya. Setelah sampai didalam kamar, aku mengatakan padanya untuk istirahat dulu.
  "Tidurlah dulu !. Nanti kalau sudah bangun temui aku sekehendak mu. Jangan lupakan aku ya, bawa aku kedalam mimpimu di pagi ini agar senja yang baru menampakan dirinya dapat menerangi kehidupan yang baru saja dimulai ini.'' Kataku padanya.
  Mata indah yang berbentuk bulat itu terbuka agak lebar sambil memandang kearah ku dengan sedikit kemauan. Ada tanda yang tersirat, menunjukkan kepada ku bahwa hadirnya dirumahku sama sekali lebih ingin dekat denganku. Karena tanda itu tidak bisa dia sembunyikan dariku, Alin kemudian berkata lagi dengan nada yang paling begitu indahnya, "Syarif, kukira setelah aku dirumahmu bahwa untuk sedikit waktu pun, aku tidak ingin jauh darimu."
  Dadaku seakan dibuat berdetak, aku dekat tapi tidak mungkin bisa bersamanya dalam kamar ini. Kukatakan padanya, "Alin, ini tidak biasa, seromantis kehendak rasa, dirumahku akan berbeda. Bukan karena aku tidak bisa masuk kedalam ruangan kecil itu tapi karena keadaan tidak mengharuskan kita untuk bersatu dalam damai yang sesungguhnya.''
  "Tapi kenapa ?. Bukankah disini lebih aman ?. Bukankah disini, tidak akan ada lagi yang bisa mengusik ketenangan kemelut yang apabila itu adalah suatu prosa fiksi ilmiah kita."
  "Alin, tidurlah dulu !. Kalau kita tidak bisa berdiskusi dalam satu ruangan paling tidak ruangan mimpimu, disana aku adalah orang yang paling sering kamu jumpai yang memerankan peran sebagai aktor tampan untuk suatu catur cinta. Sampai saat alarm batin telah meras puas maka bangunlah untuk meneruskannya. Aku akan berusaha lebih keras memahami sampai dimana kita berdua menanam mawar dalam mimpu itu."
  "Jadi kamu akan meninggalkan aku sendiri didalam kamar ini ?."
  "Untuk sebentar, ibu menungguku diruangan tamu. Aku akan kembali kalau kamu sudah bangun, Alin !."
  "Ya, kalau begitu pergilah !. Jangan lupakan aku ya."
  Alin-pun lalu berbaring diatas tempat tidur sementara aku membuatnya lebih nyaman dengan menutupi seluruh tubuhnya memakai selimut. Namun mataku tak berkedip menatap kearah yang luar biasa memagnetik perasaan ini, perasaan yang sama juga dimiliki nya.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H