Sosialisasi tentang transformasi seleksi masuk PTN menjadi kabar yang menggelisahkan untuk guru BK salah satunya adalah saya. Sebagai guru Bimbingan dan Konseling di sekolah yang selama ini mengarahkan karir anak-anak sesuai dengan passionnya agar enjoy dalam menjalani perkuliahan dan bisa mencapai IPK maksimal sehingga bisa bersaing di dunia kerja, wajar saja jika saya merasa sedih atas informasi tentang tranformasi seleksi masuk PTN tahun ini yang disebut sebagai upaya untuk memperbaiki mekanisme seleksi masuk PTN.Â
Mana yang lebih dipentingkan? Mekanisme atau kualitas input mahasiswa. Bisa disimpulkan dengan bahasa sederhana bahwa kelas IPA bisa mengambil jurusan IPS, dan Kelas IPS bisa mengambil jurusan IPA. Sesederhana itukah masuk kuliah? Kuliah bukan sekedar bisa masuk, lolos tes, tapi bagaimana seorang mahasiswa bisa menjalani kehidupan melahap mata kuliah selama 4 tahun.
Permendikbudristek no 48 tahun 2022 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Diploma dan Program Sarjana pada PTN telah diterbitkan, yang dalam pelaksanaannya didampingi Kepmendikbudristek no 345/M/2022 sebagai acuan seleksi berdasarkan prestasi. Yang didalamnya telah dijelaskan tentang mata pelajaran pendukung untuk jurusan-jurusan yang dipilih, baik linier maupun yang lintas jurusan.Â
Jurusan apapun bisa diambil oleh kelas apapun dan yang dibuat acuan adalah nilai matematika. Contoh, kelas Bahasa bisa masuk jurusan Informatika, Teknologi, dengan mengandalkan nilai Matematika. Kelas IPS dan Bahasa bisa mendaftar jurusan kedokteran, farmasi, teknologi Kesehatan, ilmu gizi dan lain-lain dengan mengandalkan nilai Matematika. Mungkin saat seleksi bisa saja lolos. Namun dalam perjalanan kuliahnya apa tidak kesulitan?.
Untuk kelas IPA mengambil jurusan IPS, barangkali masih memungkinkan, dan selama ini sudah terfasilitasi oleh lembaga seleksi yang ada (sebut saja LTMPT) dengan adanya lintas jurusan. Dan itupun bukan sekedar pilihan begitu saja (tidak bisa melalui SNMPTN/nilai rapot), namun harus melalui seleksi tulis (SBMPTN) Â sebagai uji kompetensi bahwa secara keilmuan IPS dia mampu dan layak.Â
Namun bagaimana dengan kelas IPS yang bisa mengambil jurusan IPA? sedangkan Tes masuk tidak lagi menggunakan TPA (Tes Potensi Akademik) bagaimana perjalanan kuliahnya nanti? Bagaimana ia menyelesaikan mata kuliah yang memerlukan pengetahuan dasar IPA seperti Kimia, Biologi dan yang lain?. Bisakah ia menjalani kuliahnya dengan enjoy. Okelah, mungkin di dalam kurikulum merdeka siswa memungkinkan mempelajari semua mata pelajaran tapi untuk saat ini belum semua sekolah menerapkan kumer.
Selain fokus bimbingan pada penyesuaian passion agar kuliah bisa lancar, Saya juga membimbing siswa untuk membaca peluang masuk, memanfaatkan dan menghitung betul setiap jalur-jalur seleksi yang ada dengan kompetensi dan daya saing yang dimiliki. Pemetaan-pemetaan kemampuan dan pilihan jurusan kerap kali saya lakukan agar target masuk PTN bagi siswa saya terlampaui. Â
Mekanisme baru ini dikhawatirkan justru mem-PHP siswa dan orang tua. Bagaimana tidak, orang tua dan siswa bisa saja menelan mentah-mentah informasi bahwa kelas IPS dan bahasa bisa mengambil jurusan IPA. Orang tua yang sejak semula menginginkan anaknya kuliah pada jurusan IPA bisa saja langsung tergiur dengan mekanisme ini, Â tapi bagaimana dengan peluang masuknya? kecil. Dan ini menjadi sia-sia. Hilang kesempatan masuk pada jalur yang pertama. Yang biasanya berupa jalur prestasi nilai raport. Bisa mendaftar tapi tidak bisa diterima.
Fakta bertahun-tahun menggambarkan bahwa yang murni kelas IPA saja masih banyak kesulitan menembus kuliah jurusan IPA, apa lagi dari kelas IPS. Namun sebaliknya, kebijakan transformasi ini didasari dengan argument bahwa pendidikan tidak boleh ada pengkotak-kotakkan jurusan.Â
Kebijakan transformasi ini memberi peluang antara kelas IPA, IPS dan bahasa bebas memilih jurusan yang diinginkan ketika kuliah. Di sinilah kekhawatiran itu membayangi Saya. Â Jika sampai terjadi kuliah tanpa bekal ilmu dasar, bagaimana kualitas kesarjanaannya. Kita ambil contoh jurusan Pendidikan Dokter. Pendidikan dokter butuh waktu lebih lama daripada jurusan lain. Total waktu yang dibutuhkan kisaran 7 tahun. Sedemikian rumit dan susahnya ilmu kedokteran . Tercatat banyak pula yang harus mundur karena tidak kuat. Nah bagaimana jika yang masuk pendidikan dokter anak IPS, atau anak Bahasa? Bisa terbayang lebih berat tantangannya ketika kuliah.
Menanggapi masalah pendidikan dokter ini, salah satu Rektor PTN ternama sangat mendukung kebijakan Transformasi Seleksi masuk PTN ini. Kedepan akan tumbuh dinamika yang bagus. Contoh yang diberikan, seorang dokter juga paham tentang  manajemen, atau keuangan health ekonomi. Saya setuju, bagus sekali jika seorang dokter ilmunya bervariasi, namun dengan tujuan tersebut apakah lantas harus dibuka secara bebas peminat pendaftarnya? meskipun tidak mempunyai dasar ilmu IPA? kenapa bukan mata kuliahnya saja yang ditambah dengan manajemen ataukeuangan. Bukan berarti Saya apriori terhadap jurusan IPS atau Bahasa, tidak, sama sekali tidak. Saya hanya memikirkan kenyamanan dan keberhasilan menjalani kuliah. Saya hanya ingin lahir sarjana-sarjana yang ijazahnya berkualitas bukan sekedar formalitas.
Kekhawatiran saya bukan tanpa alasan. Pengalaman pernah mempunyai siswa yang kuliah pada jurusan Arsitektur, namun tidak tuntas dan akhirnya DO, atau siswa yang masuk pendidikan dokter dan setiap harinya harus menangis karena beratnya tugas yang harus diselesaikan, atau siswa-siswa lain yang terpaksa mengulang kuliah lagi dengan jurusan yang baru karena ketidaksesuaian dengan passion, membuat saya selalu berhati-hati dalam pembimbingan ini. Sekali lagi saya tekankan bahwa kuliah tidak sekedar bisa masuk saat mendaftar, tapi bagaimana bisa menjalani selama masa kuliah.
Diantara mekanisme yang baru dalam seleksi tulis tahun ini adalah cukup TPS (Tes Potensi Skolastik) tidak adanya TKA (Tes Kompetensi Akademik) yang salah satu alasannya adalah agar siswa dan orang tua tidak lagi tergantung pada lembaga-lembaga bimbingan belajar. Dan ini menjadi penghematan pengeluaran bagi orang tua.Â
Bagi saya meskipun ada tambahan pembinaan dari bimbel namun peran guru tetap paling besar dalam mempersiapkan siswa karena guru mendampingi siswa lebih lama daripada lembaga bimbel. Dan faktanya, di daerah saya, justru hanya ortu atau sekolah-sekolah tertentu saja yang menggandeng lembaga bimbel. Lebih banyak yang tidak. Dan jika TPA dihapus, apakah dijamin lembaga-lembaga bimbel bakal tutup? Tidak. Karena TPS pun tetap memerlukan bimbingan agar bisa tetap bersaing. Dan orangtuapun tetap akan memilih keluar uang lebih demi peluang besar bisa lolos seleksi.
Pada akhirnya, segala kebijakan selalu ada plus minusnya. Dan saya hanya ingin berpesan. Kita tidak mengkritisi kebijakan pemerintah, tapi kita sendiri yang harus bisa mensikapi hal ini. Apapun kebijakannya kebutuhan dan kenyamanan siswa ketika kuliah tetap yang utama.Â
Meskipun TKA tidak lagi ada, tapi kualitas diri harus tetap dijaga. Tetap belajar, tetap pahami ilmunya, jangan sampai lengah. Karena seleksi masuk kuliah bukan hanya BP3 semata, namun seleksi lain seperti Utul, Simak, Kedinasan dan lain-lain tetaplah butuh TKA. UPT BP3 (Badan Pengelolaan Pengujian Pendidikan ) merupakan badan yang ditunjuk oleh Kemendikbudristek sebagai pengganti LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H