Sebelumnya, saya telah menulis artikel mengenai "Paradoks Eksistensi: Kita Spesial Tapi Kita Akan Tergantikan" yang dapat dibaca di sini.
Di artikel ini kita membahas mengenai paradoks dalam perasaan bangga, di mana kita lebih baik tapi kita juga penuh salah dan khilaf.
Sebelumnya, mari kita lihat dari perspektif psikologi.
Secara psikologis, kebanggaan adalah emosi yang memiliki banyak aspek, baik dimensi positif maupun negatif. Paul Ekman, seorang psikolog ternama, mengkategorikan kebanggaan menjadi dua jenis: kebanggaan autentik dan kebanggaan hubristik.Â
Kebanggaan autentik muncul dari pencapaian dan dikaitkan dengan rasa harga diri yang sehat, sedangkan kebanggaan hubristik terkait dengan arogansi dan rasa superioritas.
Kunci untuk menguasai seni menjadi sombong terletak pada memupuk kebanggaan sejati sambil menghindari jebakan keangkuhan.Â
Mari selami prinsip-prinsip psikologis yang dapat membantu kita menghargai siapa diri kita tanpa berlebihan.
1. Rayakan Kemajuan, Bukan Hanya Kesempurnaan:
Secara psikologis, mengejar kesempurnaan dapat menimbulkan ketidakpuasan kronis. Daripada terpaku pada hasil yang sempurna, rayakanlah kemajuan yang telah kita capai, sekecil apa pun itu. Mengenali dan menghargai perjalanan pribadi kita, beserta tantangan dan keberhasilannya, berkontribusi pada rasa bangga yang lebih sehat dan berkelanjutan.
2. Terhubung dengan Motivasi Intrinsik:
Psikolog, termasuk Edward Deci dan Richard Ryan, menyoroti pentingnya motivasi intrinsik untuk kesejahteraan berkelanjutan. Saat mengakui pencapaian kita, manfaatkan kegembiraan dan kepuasan intrinsik yang diperoleh dari upaya Anda. Motivasi intrinsik ini memastikan bahwa kebanggaan berakar pada kepuasan pribadi dan bukan pada validasi eksternal. Jadi, jangan menunggu dirayakan, karena kita bisa merayakan diri sendiri.