Perbedaan psikologis antara merespons dan bereaksi sangatlah signifikan. Respons adalah tanggapan kita atas kritik, reaksi adalah tindakan kita atas kritik.
Luangkan waktu untuk memproses kritik sebelum merespons. Respons yang bijaksana menunjukkan kecerdasan emosional dan pendekatan proaktif terhadap pertumbuhan pribadi.
Terutama, ketika kita tidak berada dalam kondisi fisik atau emosional yang baik-baik saja, atau ketika yang dikritik adalah sesuatu yang tidak ingin kita bicarakan atau sesuatu yang memalukan.Â
Respons pertama kita atas kritik adalah refleksi diri dan empati, sementara reaksi atau tindakan kita atas kritik tersebut sebaiknya muncul setelah berbagai pertimbangan dalam refleksi diri tersebut.
#8 Menetapkan Batasan
Menetapkan batasan yang sehat sangat penting untuk kesejahteraan psikologis. Sadarilah kapan kritik melewati batas menjadi serangan pribadi, dan bersikaplah tegas dalam menetapkan batasan untuk melindungi kesehatan mental kita.
Kita harus mampu memilah berbagai kritik yang datang.
Jika kritik tersebut ada benarnya, terlepas dari kita ingin/tidak ingin mengakuinya, harus kita terima dan tindak lanjuti agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika kritik tesebut tidak benar atau saran yang diberikan tidak sesuai dengan nilai baik yang kita percayai dan menjadi prinsip, maka kita juga harus mampu tegas.
Dengan demikian, harapannya kita bisa terbuka terhadap masukan dan menjadi lebih baik tanpa kehilangan identitas diri atau nilai/prinsip yang dipercayai.
#9 Fokus pada Solusi, Bukan Menyalahkan
Secara psikologis, mengubah pola pikir dari sikap menyalahkan (misal, "Saya begini karena A" atau, "Dia mengkritik saya B padahal dia C" atau, "Bagaimana saya mau menerima kritik kalau caranya saja seperti itu" dan sebagainya) ke pemikiran yang berorientasi pada solusi dapat memberdayakan kita. Daripada terus memikirkan siapa atau apa yang salah, berkonsentrasilah untuk menemukan solusi konstruktif yang mengatasi permasalahan yang diangkat dalam kritik tersebut.
Meskipun demikian, terkadang kita perlu menggali dengan pertanyaan kenapa atau bagaimana kita menjadi X agar dapat berubah menjadi lebih baik. Jika kasusnya begitu, kita harus mampu mengatur porsi mencari tahu untuk mendapat solusi agar jangan sampai mencari tahu hanya untuk melihat hasil ulah siapa/apa semua ini.Â