Dalam ranah pengembangan individu dan pemahaman perilaku manusia, kita pasti pernah menemukan istilah IQ, EQ, dan SQ.
Pada suatu seminar yang tidak dapat saya ingat detail lokasi dan waktu kegiatannya bertahun-tahun yang lalu ketika saya masih remaja, narasumber mengatakan bahwa kepanjangan dari IQ, EQ, dan SQ adalah Intelligence Question, Emotional Question, dan Spiritual Question, yang mana secara kasar dapat kita sebut definisi yang ngawur.
Lalu, beliau mengatakan bahwa Question dalam bahasa Indonesia ketika diterjemahkan secara metaforikal berarti Kecerdasan. Hal ini disebabkan karena orang yang cerdas mengajukan banyak pertanyaan (questions), yang mana hal ini secara kasar dapat kita sebut mengada-ada.
Saya kira, banyak dari kita sudah mengetahui bahwa kepanjangan dari IQ, EQ, dan SQ adalah Intelligence Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient, yang dalam bahasa Indonesia ketika kita terjemahkan sesuai konteksnya (bukan harfiah), berarti Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual.
Dari mana asalnya, kenapa quotient bisa diartikan sebagai "kecerdasan"?
Apa alternatif istilah dalam bahasa Inggris yang lebih tepat yang  mendeskripsikan yang kita kenal sebagai IQ, EQ, dan SQ?
Kita akan menjawab pertanyaan di atas dalam artikel ini.
Quotient sebagai kecerdasan
Asal mula quotient diartikan sebagai kecerdasan dapat kita pahami dengan menelusuri sejarah kecerdasan.
Jadi, pada awal abad ke-20, Alfred Binet di Perancis mengembangkan seperangkat alat ukur untuk mendeteksi keberhasilan proses belajar mengajar.Â
Seperangkat alat ukur tersebut mengukur usia mental seseorang, lalu ketika usia mental dibagi dengan usia kronologis (usia sebenarnya) seseorang, diperoleh skor atau nilai. Skor atau nilai tersebut secara sederhana disebut sebagai kecerdasan atau intelligence.
Sebelum adanya tes Binet, kecerdasan diukur dengan berbagai cara yang subjektif. Pengukuran kecerdasan dengan tes yang dibuat oleh Binet merupakan sesuatu yang objektif karena ada aturan dan panduan yang menjadikan tesnya baku.
Tes Binet kemudian terus dikembangkan, termasuk oleh Binet sendiri bersama koleganya, Theodore Simon, dan tes tersebut dikembangkan lagi di Stanford University yang terus diperbaharui dan digunakan sampai sekarang.
Kontribusi signifikan dari Tes Stanford-Binet adalah tes ini memperkenalkan konsep inteligensi sebagai pembagian atau rasio (quotient) dari usia mental dan usia kronologis (Terman, 1916).Â
Rasio ini disebut sebagai rasio inteligensi, atau intelligence quotient, yang sampai sekarang terus digunakan meskipun kalkulasi skor inteligensi dari berbagai tes tidak menggunakan rasio usia mental dan usia kronologis (Farmer & Floyd, 2018).
Jadilah rasio kecerdasan (intelligence quotient) sebagai ukuran kuantitatif kecerdasan (ukuran di sini maksudnya tinggi/rendahnya kecerdasan) yang baku.
Lalu, konsep kecerdasan berkembang. Untuk memahami perkembangan kecerdasan, kita perlu memahami apa itu kecerdasan.
Jadi, di waktu yang kurang lebih sama dengan waktu Binet mengembangkan tesnya, di Inggris ada Charles Spearman dan di Amerika ada Louis Thurstone yang meneliti mengenai sesuatu laten yang ada dalam diri manusia yang mendasari kemampuan seseorang.Â
Gagasan utamanya secara sangat umum adalah jika sesuatu laten tersebut dimiliki oleh seseorang maka seseorang tersebut memiliki kemampuan yang membawanya sukses.Â
Sesuatu laten tersebut dalam perkembangannya dikenal sebagai kecerdasan atau inteligensi, yang berdasarkan penelitian terdiri dari kemampuan-kemampuan kognitif seperti kemampuan verbal, numerikal, spasial, memori, dan sebagainya.
Tes kecerdasan, seperti milik Binet, atau tes-tes kecerdasan lain yang berkembang, akhirnya hanya mengukur kemampuan kognitif.
Namun, perjalanan mencari tahu faktor laten yang membuat seseorang lebih mampu beradaptasi dan menjadikannya sukses tidak berhenti sampai di situ.Â
Memang, awalnya orang yang lebih mampu beradaptasi dan bisa sukses adalah orang yang cerdas secara kognitif (yang mana logis, karena kalau seseorang memiliki kemampuan verbal yang baik, memiliki ingatan yang baik, mampu membayangkan ruang dengan baik, rasional dan mampu melakukan perhitungan dengan tepat, harusnya orang tersebut mampu menyelesaikan banyak puzzle dalam kehidupan yang membantunya beradaptasi dan meraih kesuksesan).Â
Meskipun demikian, dalam perkembangannya ternyata kecerdasan kognitif bukan satu-satunya faktor yang menentukan bahwa seseorang mampu beradaptasi dan meraih kesuksesan, bahkan kecerdasan kognitif yang tinggi tidak menjamin seseorang mampu beradaptasi dan sukses.
Ada variabel laten lain, yaitu kecerdasan emosional. Secara umum, rasanya logis karena manusia sangat dipengaruhi oleh emosinya, apalagi dengan gempuran stimulus dari berbagai arah karena perkembangan teknologi dan adanya globalisasi. Belum lagi kita hidup sebagai makhluk sosial dan segala konsekuensinya; moral kolektif, politik, dan sebagainya. Menjadi pintar saja tidak cukup kalau tidak mampu menjaga kewarasan diri dan orang lain, kecuali kita bisa menjadi super genius (dan tetap bukan jaminan).
Lalu muncul tipe kecerdasan lain, yang mana tidak berkaitan dengan ranah kognitif dan emosional, yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan kultural, kecerdasan digital, dan banyak lagi jenisnya.
Apakah relevan menggunakan quotient untuk menjelaskan berbagai kecerdasan tersebut?
Yang pasti, banyak orang di berbagai belahan bumi memahami bahwa spiritual quotient berarti kecerdasan spiritual, cultural quotient merujuk pada kecerdasan kultural, dan sejenisnya.
Adakah alternatif istilah untuk berbagai jenis kecerdasan tersebut?
Alternatif Quotient sebagai Kecerdasan
Seperti yang sudah dijelaskan, tidak masalah menggunakan intelligence quotient, emotional quotient, dan spiritual quotient untuk merujuk pada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut merupakan istilah umum yang dipahami oleh semua orang.
Untuk alternatif penyebutan istilah kecerdasan, tentu adalah intelligence. Emotional intelligence atau spiritual intelligence juga merupakan istilah umum, dan mungkin lebih mudah dipahami ketika seseorang mengartikannya secara harfiah.
Lalu bagaimana dengan intelligence quotient?
Secara pribadi, saya sendiri mengartikan intelligence quotient atau IQ sebagai ukuran kuantitatif kecerdasan yang artinya memiliki nilai tertentu, yang meskipun cara memperolehnya tentu saja tidak lagi dengan menghitung rasio atau quotient dari usia mental dan usia kronologis.Â
Jadi, saya pribadi, untuk merujuk pada kecerdasan secara umum, lebih nyaman menggunakan istilah intelligence ketimbang IQ, kecuali yang dibicarakan adalah nilai/skor kecerdasan tersebut. Tapi, ini preferensi saya pribadi.
Secara umum dan universal, alternatif dari intelligence quotient adalah cognitive ability atau intelligence saja. Dalam bahasa Indonesia, yang banyak kita gunakan adalah "kecerdasan intelektual" untuk merujuk pada intelligence quotient, yang akhirnya kalau dilihat polanya sebagai berikut:
Intelligence Quotient: Kecerdasan Intelektual
Emotional Quotient: Kecerdasan Emosional
Spiritual Quotient: Kecerdasan Spiritual
dst.
Jadi, tidak heran kalau quotient dianggap artinya adalah kecerdasan.
Padahal, pada intelligence quotient, yang merujuk pada kecerdasan adalah si intelligence dan bukan si quotient.
Akan tetapi, pada akhirnya, kita berbahasa dengan efektif ketika maksud kita dipahami. Sesimpel itu.
Artikel ini ditulis untuk menambah wawasan atau mengingatkan kembali mengenai sejarah kecerdasan, dan penyebab penggunaan quotient untuk merujuk pada kecerdasan.
Masih dalam lingkup bahasan mengenai kecerdasan, memang ada banyak miskonsepsi seputar kecerdasan. Berikut adalah beberapa artikel saya yang berkaitan:
Benarkah Kecerdasan Diturunkan oleh Ibu?
Semoga bermanfaat. (oni)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H