Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Kecerdasan Diturunkan oleh Ibu?

22 Juni 2023   07:00 Diperbarui: 23 Juni 2023   03:25 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak | Image by shurkin_son on Freepik

Perempuan harus cerdas. Laki-laki pun juga. Kecerdasan adalah sesuatu yang kita anggap sangat penting dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang. Tidak mengherankan jika kita melihat ke belakang, mengenai bagaimana sejarah lahirnya konsep intelligence atau kecerdasan.

Konsep kecerdasan muncul pada awalnya sebagai sesuatu yang mendasari kemampuan kognitif manusia. Mereka dengan kemampuan kognitif yang tinggi dipercaya memiliki kecenderungan untuk lebih sukses.

Seiring berjalannya waktu, lebih banyak penelitian mengenai faktor yang berkontribusi dalam kesuksesan seseorang. Selain kecerdasan, ada kemampuan regulasi emosi, kemampuan sosial, grit, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, kecerdasan masih menjadi sesuatu yang kita dambakan dan kagumi. Tidak sedikit dari kita yang lebih segan dengan mereka dengan IQ genius ketimbang mereka yang mampu menguasai 10 bahasa berbeda.

Intinya adalah kecerdasan merupakan sesuatu yang kita anggap penting. Akan tetapi, apakah kita benar-benar memahami apa itu kecerdasan, bagaimana sifatnya, dan dari mana ia berasal? Jangan-jangan, selama ini kita hanya berasumsi bahwa kita tahu tapi sebenarnya tidak.

Mau bagaimana lagi, para ahli saja banyak tidak sepakat mengenai definisi tunggal kecerdasan. Ada yang mengatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan kognitif, ada yang mengatakan bahwa kecerdasan bersifat triarkis, ada yang mengatakan bahwa kecerdasan memiliki banyak jenis. Pada akhirnya, seluruh definisi yang ada dapat dirangkum menjadi kecerdasan adalah sesuatu mendasar yang dimiliki manusia yang menjadikannya mampu.

Tentu saja, untuk melakukan dan meraih tujuan hidup, kita harus mampu dan berdaya. Kita, sadar tidak sadar, percaya bahwa kecerdasan berkontribusi dalam membuat kita mampu dan berdaya.

Lalu, bagaimana cara untuk cerdas? Dari mana kecerdasan berasal?

Kita mungkin pernah mendengar bahwa kecerdasan diturunkan secara genetis dari ibu, sehingga para perempuan sebaiknya menjadi ibu yang cerdas untuk melahirkan anak yang cerdas.

Jika demikian, calon ibu yang cerdas juga harus dilahirkan dari perempuan sebelumnya yang juga cerdas? Atau, calon ibu bisa berusaha untuk menjadi cerdas dengan belajar atau berguru? Jika calon ibu dari perempuan yang kurang cerdas bisa menjadi cerdas melalui belajar atau berguru, bukankah artinya faktor lingkungan (nurture) lebih dominan dari faktor genetis (nature)?

Perdebatan mengenai dominansi nature VS nurture merupakan cerita lama. Ada banyak topik dalam psikologi dan filsafat yang memperdebatkan hal tersebut.

Pada konteks mengenai asal usul kecerdasan, argumen nature masuk akal karena ada orang yang terlihat cerdas tanpa berusaha. Belajar sekedarnya, tidak les atau kursus, tapi tetap bisa menguasai ilmu yang relatif rumit.

Meskipun demikian, argumen nurture juga menarik. Ada orang yang kedua orang tuanya cerdas namun anaknya tidak bisa apa-apa. Atau, ada orang tua yang tidak berpendidikan tinggi yang memiliki anak dengan prestasi segudang. Faktor ini dapat berupa pendidikan, gizi, dan pola asuh.

Dari mana kecerdasan berasal sudah pernah saya bahas pada artikel saya yang membahas kecerdasan secara jauh lebih lengkap, yang berjudul, "Kecerdasan, Bawaan Lahir atau Dari Lingkungan?" (Untuk baca, klik di sini)

Pada artikel ini, kita akan berfokus pada jawaban dari pertanyaan yang berbunyi, "Benarkah kecerdasan diturunkan oleh ibu?"

Jawabannya adalah tidak juga.

Lalu, dari mana miskonsepsi ini berasal?

Ada beberapa artikel populer yang menyebarluaskan hasil penelitian bahwa kecerdasan diturunkan secara genetis oleh ibu. Sayangnya, ketika ditelusuri, interpretasi hasil penelitian tersebut kurang tepat dan menyebabkan banyak kesalahpahaman.

Secara ilmiah, sudah banyak penelitian yang berusaha membuktikan asal usul kecerdasan, termasuk kemungkinan bahwa kecerdasan diturunkan secara genetik.

Studi genetik yang dilakukan pada tahun 1990an pada tikus laboratorium menunjukkan bahwa tikus dengan gen jantan ganda memiliki otak lebih kecil ketimbang tikus dengan gen betina ganda. Selain itu, pada dekade yang sama, studi genetik lain membuktikan bahwa kecerdasan terkandung dalam kromosom X.

Studi eksperimen tikus laboratorium belum pernah diuji pada manusia. Sementara itu, studi mengenai kromosom X menjadi dasar pernyataan misleading yang berbunyi, "Kecerdasan diturunkan dari ibu".

Hal ini misleading karena laki-laki juga memiliki salinan kromosom X. Jika kecerdasan diturunkan melalui kromosom X, maka ayah juga dapat menurunkan kecerdasan secara genetik.

Lagipula, jika seseorang terlahir dari orang tua yang tidak cerdas, apakah mereka juga tidak akan cerdas dan tidak dapat melangsungkan keturunan yang cerdas? Hal ini membentuk pola pikir bahwa kecerdasan adalah takdir yang tidak dapat diubah. Pola pikir ini memiliki berbagai dampak negatif, seperti diskriminasi dan kesenjangan sosial.

(Baca tulisan saya mengenai berbagai miskonsepsi mengenai ukuran kecerdasan di sini)

Padahal, kenyataannya, lingkungan berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan kecerdasan seseorang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua yang cerdas memiliki kemungkinan lebih besar untuk memfasilitasi anak dalam lingkungan yang mendukungnya untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Fasilitas ini dapat berbentuk dukungan finansial, emosional, dan berbagai privilege lainnya.

Untuk memastikan lebih banyak anak yang terkondisi dalam lingkungan yang mendukung mereka untuk mengembangkan kemampuanya, diciptakanlah berbagai program pendidikan yang dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan anak yang dapat membantunya secara pelan-pelan meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam masyarakat.

Di Amerika ada program "Head Start", dan di Indonesia kita mengenal program "Wajib Belajar 9 Tahun".

Modifikasi lingkungan mungkin tidak mudah, tetapi lebih mudah dicapai dan dikembangkan jika dibandingkan dengan modifikasi genetik.

Artikel ini pada akhirnya hanya ingin menegaskan bahwa bukan hanya perempuan yang calon ibu yang harus cerdas, tetapi semua orang harus cerdas.

Calon ayah dan ibu bukan hanya sebaiknya cerdas, tetapi juga sebaiknya siap memiliki anak dan siap memfasilitasi proses tumbuh kembangnya.

Karena cerdas juga bukan sesuatu yang diterima saja bagaimana bawaan lahirnya, tetapi dapat diusahakan dengan terus belajar.

Cerdas bukan hanya berarti peringkat 1 di sekolah. Cerdas berarti memiliki berbagai kemampuan yang dapat membawa diri ke kehidupan yang baik.

Terakhir, cerdas bukan satu-satunya hal yang penting untuk dimiliki untuk sukses dalam menjalani hidup ini. Ada ketekunan, ada empati, ada regulasi emosi, ada kerendahan hati, ada grit, ada privilege, ada support system, dan sebagainya.

Yang terpenting adalah, terus belajar untuk memahami lebih banyak hal dan upgrade diri untuk terus menjadi lebih baik. (oni)

Bacaan lebih lanjut:

Genes for intelligence on the X chromosome (Gerner & Partington, 1991)

Importance of Genomic Imprinting in the Evolution and Development of the Maternal Brain (Keverne, 2012)

X-linked genes and mental functioning (Skuse, 2005)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun