Lagipula, jika seseorang terlahir dari orang tua yang tidak cerdas, apakah mereka juga tidak akan cerdas dan tidak dapat melangsungkan keturunan yang cerdas? Hal ini membentuk pola pikir bahwa kecerdasan adalah takdir yang tidak dapat diubah. Pola pikir ini memiliki berbagai dampak negatif, seperti diskriminasi dan kesenjangan sosial.
(Baca tulisan saya mengenai berbagai miskonsepsi mengenai ukuran kecerdasan di sini)
Padahal, kenyataannya, lingkungan berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan kecerdasan seseorang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua yang cerdas memiliki kemungkinan lebih besar untuk memfasilitasi anak dalam lingkungan yang mendukungnya untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki. Fasilitas ini dapat berbentuk dukungan finansial, emosional, dan berbagai privilege lainnya.
Untuk memastikan lebih banyak anak yang terkondisi dalam lingkungan yang mendukung mereka untuk mengembangkan kemampuanya, diciptakanlah berbagai program pendidikan yang dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan anak yang dapat membantunya secara pelan-pelan meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam masyarakat.
Di Amerika ada program "Head Start", dan di Indonesia kita mengenal program "Wajib Belajar 9 Tahun".
Modifikasi lingkungan mungkin tidak mudah, tetapi lebih mudah dicapai dan dikembangkan jika dibandingkan dengan modifikasi genetik.
Artikel ini pada akhirnya hanya ingin menegaskan bahwa bukan hanya perempuan yang calon ibu yang harus cerdas, tetapi semua orang harus cerdas.
Calon ayah dan ibu bukan hanya sebaiknya cerdas, tetapi juga sebaiknya siap memiliki anak dan siap memfasilitasi proses tumbuh kembangnya.
Karena cerdas juga bukan sesuatu yang diterima saja bagaimana bawaan lahirnya, tetapi dapat diusahakan dengan terus belajar.
Cerdas bukan hanya berarti peringkat 1 di sekolah. Cerdas berarti memiliki berbagai kemampuan yang dapat membawa diri ke kehidupan yang baik.