Kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah silent treatment.
Akhir-akhir ini, ada lagi satu istilah yang mendeskripsikan perilaku diam, yaitu stonewalling.
Apa itu stonewalling? Apa bedanya dengan silent treatment? Apakah berbahaya? Apakah bermanfaat?
Lalu, memang ada apa dengan diam? Kenapa perilaku diam dihindari dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik?
Bukankah diam adalah emas?
Tidak bolehkah kita diam? Atau justru harusnya kita banyak diam?
Mari kita bahas.
Apa apa dengan diam?
Di dunia yang terus menjejali kita dengan komunikasi yang terus-menerus, perilaku diam sering disalahpahami. Di media sosial, semua orang bisa bersuara dan menyuarakan apapun. Hidup dalam pola di mana semua orang punya opini membuat banyak dari kita mungkin merasa kita juga harus selalu memiliki sesuatu untuk dikatakan. Ketika kita dihadapkan pada keheningan, banyak dari kita mungkin jadi tidak nyaman. Penting untuk kita sadari bahwa tidak memiliki tanggapan bukanlah sesuatu yang salah atau tidak wajar. Diam pun memiliki makna dan kekuatannya sendiri dalam interaksi manusia.
Memilih untuk tidak menanggapi bisa menjadi tindakan yang disengaja dan bermakna. Ini memungkinkan individu untuk mundur selangkah, mengumpulkan pemikiran mereka, dan benar-benar mendengarkan orang lain. Di saat-saat hening inilah pemahaman dan empati yang lebih dalam dapat berkembang.
Perilaku diam juga berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk introspeksi dan refleksi diri. Ini memberikan kesempatan untuk memproses informasi, mengevaluasi keyakinan sendiri, dan mempertimbangkan perspektif alternatif. Alih-alih terburu-buru memberikan jawaban langsung, merangkul keheningan memungkinkan respons yang lebih bijaksana dan otentik pada saat yang tepat
Selain itu, diam bisa menjadi tindakan penghormatan dan pertimbangan. Itu mengakui bahwa beberapa pertanyaan atau situasi membutuhkan waktu dan ruang untuk perenungan yang bijaksana. Dengan menahan diri untuk tidak memberikan tanggapan yang cepat namun dangkal, sikap diam memberikan ruang untuk analisis dan pertimbangan yang lebih dalam tentang masalah yang sedang dihadapi.
Orang mungkin memilih untuk tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan karena berbagai alasan. Memahami alasan-alasan ini dapat memberikan wawasan tentang mengapa seseorang mungkin tetap diam:
- Memproses Informasi: Beberapa individu memerlukan waktu untuk memproses dan menginternalisasi informasi sebelum merespons. Keheningan memungkinkan mereka untuk berpikir secara mendalam tentang apa yang telah dikatakan dan mempertimbangkan pemikiran dan pendapat mereka dengan hati-hati.
- Merefleksikan Emosi: Diam bisa menjadi tanda bahwa seseorang sedang bergulat dengan emosi yang kompleks dan berusaha menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan diri. Mereka mungkin perlu waktu sejenak untuk mengumpulkan pikiran dan mengatur emosi mereka sebelum merespons.
- Merasa Kewalahan: Situasi atau topik tertentu dapat membuat individu kewalahan, membuat mereka menarik diri atau tetap diam. Mereka mungkin merasa tidak mampu mengartikulasikan pikiran mereka atau takut mengatakan hal yang salah, jadi mereka memilih untuk diam.
- Kurang Percaya Diri: Beberapa individu mungkin kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk berkontribusi secara aktif dalam sebuah percakapan. Mereka mungkin merasa terintimidasi oleh bahan pembicaraan atau kehadiran orang lain, yang akhirnya membuat mereka memilih diam daripada merasa malu atau dihakimi.
- Faktor Budaya atau Pribadi: Dalam beberapa budaya, diam dihargai dan dilihat sebagai tanda hormat atau perhatian. Selain itu, preferensi pribadi dan pengalaman masa lalu dapat membentuk kecenderungan seseorang untuk tetap diam. Misalnya, ada orang-orang yang secara alamiah lebih suka memproses secara internal sebelum merespons.
- Tidak Setuju atau Tidak Tertarik: Perilaku diam juga bisa menjadi bentuk ketidaksetujuan atau ketidaktertarikan. Orang mungkin memilih untuk tidak menanggapi jika mereka sangat tidak setuju dengan suatu pernyataan atau jika topiknya tidak menarik perhatian mereka. Diam, dalam hal ini, bisa menjadi indikasi kurangnya keterlibatan atau keselarasan mereka dengan percakapan.
- Gaya Komunikasi: Setiap individu memiliki gaya komunikasinya sendiri, dan bagi sebagian orang, diam adalah cara berekspresi yang lebih disukai. Mereka mungkin merasa lebih nyaman mendengarkan dan mengamati daripada berpartisipasi aktif dalam percakapan verbal.
Penting untuk dicatat bahwa alasan diam dapat sangat bervariasi dari orang ke orang, dan itu tidak selalu menunjukkan sikap negatif atau tidak kooperatif. Menghormati keputusan seseorang untuk tetap diam dan menciptakan lingkungan di mana mereka merasa nyaman untuk berbagi pemikiran dapat mendorong komunikasi yang terbuka dan inklusif.
Silent treatment dan stonewalling
Silent treatment berbeda dari sekadar memilih untuk tidak merespons dalam situasi tertentu. Silent treatment adalah perilaku yang disengaja dan manipulatif dimana seseorang dengan sengaja menggunakan diam sebagai alat kontrol atau hukuman. Ini sering digunakan sebagai taktik pasif-agresif untuk menimbulkan rasa sakit emosional atau menggunakan kekuasaan atas orang lain. Silent treatment adalah perilaku berbahaya yang merusak hubungan, sedangkan memilih diam sebagai respons pada umumnya belum tentu negatif, tergantung konteksnya.
Melakukan silent treatment dapat menyebabkan kerugian emosional yang mendalam bagi individu dan hubungan. Silent treatment menciptakan lingkungan tidak sehat yang ditandai dengan isolasi emosional, kebencian, dan rusaknya kepercayaan. Perlakuan silent treatment menimbulkan kesenjangan komunikasi dan mencegah resolusi konflik yang sehat, membuat orang semakin jauh satu sama lain, dan tidak menumbuhkan pemahaman.
Istilahsilent treatment dan stonewalling sering digunakan secara bergantian, tetapi mereka memiliki perbedaan yang jelas. Silent treatment adalah taktik komunikasi tidak sehat yang motifnya berangkat dari kontrol dan manipulasi. Silent treatment dilakukan dengan sengaja mengabaikan atau menghindari seseorang sebagai hukuman atau menegaskan siapa yang berkuasa. Di sisi lain, stonewalling adalah respons emosional saat seseorang menarik diri dan menutup diri selama konflik, seringkali sebagai mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk melindungi diri dari perasaan kewalahan (overwhelming) atau diserang.
Stonewalling berbeda dari silent treatment karena seringkali merupakan respons sementara terhadap perasaan kewalahan atau membutuhkan ruang untuk memproses emosi. Stonewalling tidak dimaksudkan untuk memanipulasi atau mengendalikan orang lain, melainkan untuk melindungi diri dari potensi bahaya. Namun, jika stonewalling menjadi pola kebiasaan, hal ini dapat menghambat komunikasi yang efektif dan merenggangkan hubungan.
Silent treatment dan stonewalling adalah perilaku diam atau tidak responsif dalam hubungan interpersonal. Mereka mirip, namun berbeda. Berikut adalah rangkuman dari persamaan dan perbedaan antara silent treatment dan stonewalling:
Persamaan:
- Kurangnya Komunikasi: Baik ilent treatment dan stonewalling melibatkan penolakan atau keengganan untuk terlibat dalam komunikasi verbal. Dalam kedua kasus tersebut, individu memilih untuk menahan pikiran, emosi, dan tanggapan mereka.
- Dampak Emosional: Kedua perilaku dapat memiliki efek emosional negatif pada penerima. Orang yang menerima mungkin merasa diabaikan, terisolasi, sakit hati, atau ditolak karena kurangnya komunikasi dan keterlibatan.
Perbedaan:
- Niat dan Motivasi: Perbedaan utama terletak pada niat dan motivasi di balik perilaku ini. Silent treatment adalah taktik yang disengaja digunakan untuk memanipulasi, mengontrol, menghukum, atau mendapatkan kekuasaan atas orang lain. Silent treatment sering didorong oleh kemarahan, kebencian, atau keinginan untuk menimbulkan reaksi atau penyerahan tertentu. Sementara itu, stonewalling umumnya dilakukan secara tidak sadar karena individu kewalahan atau tidak mampu menerima dan memproses emosi atau kejadian yang dirasakan dan dialami. Meskipun niatnya berbeda, keduanya tetap berdampak bagi lawan bicara.
- Mekanisme Pertahanan vs. Kontrol: Stonewalling seringkali merupakan mekanisme pertahanan yang digunakan sebagai strategi penanggulangan untuk melindungi diri dari perasaan kewalahan atau diserang selama konflik atau diskusi yang sulit. Ini adalah respons pasif yang didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan diri. Stonewalling tidak memiliki tujuan untuk mengontrol atau memanipulasi orang lain. Jika ada tujuan tersirat atau tersurat untuk mengontrol dan memanipulasi, maka perilaku tersebut adalah silent treatment.
- Durasi dan Intensitas: Silent treatment cenderung lebih lama dan intens daripada stonewalling. Silent treatment bisa berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan lebih lama, tergantung sampai tujuan mengontrol dan memanipulasi tercapai. Sementara itu, stonewalling biasanya tidak terlalu lama. Ketika individu sudah tidak kewalahan, ia akan terlibat lagi.
- Dinamika Hubungan: Silent treatment lebih sering dikaitkan dengan ketidakseimbangan kekuatan, masalah kontrol, dan pola hubungan yang tidak sehat. Silent treatment sering melanggengkan siklus pelecehan emosional (emotional abuse) dan merusak kepercayaan dan koneksi. Stonewalling, meski juga bisa menjadi perilaku bermasalah, bisa terjadi dalam hubungan di mana tidak ada niat untuk menyakiti melainkan sebagai respons terhadap emosi atau konflik yang meluap-luap.
- Gangguan Komunikasi vs. Regulasi Emosional: Silent treatment menciptakan gangguan total dalam komunikasi, menutup setiap peluang untuk penyelesaian atau pemahaman. Stonewalling, sambil membatasi komunikasi, seringkali merupakan kondisi sementara untuk mengatur emosi dan mengumpulkan pikiran sebelum terlibat kembali dengan cara yang lebih konstruktif.
Penting untuk diperhatikan bahwa kedua perilaku tersebut dapat merusak hubungan dan menghalangi komunikasi yang efektif. Hubungan yang sehat berkembang dengan komunikasi yang terbuka dan jujur, mendengarkan secara aktif, dan saling menghormati. Mengatasi dan menyelesaikan konflik melalui dialog terbuka, empati, dan pemahaman sangat penting untuk menjaga hubungan yang positif.
Diam adalah emas
Kalau diam banyak kekurangannya, bagaimana dengan yang katanya diam adalah emas?
Perilaku diam, bila digunakan dengan sadar dan disengaja secara seimbang, dapat berdampak positif pada komunikasi dan hubungan. Ini memungkinkan individu untuk mengumpulkan pemikiran mereka, berlatih mendengarkan secara aktif, dan merespons dengan bijaksana. Keheningan dapat menciptakan ruang yang aman untuk refleksi, empati, dan pertumbuhan pribadi. Ini menawarkan kesempatan untuk benar-benar memahami orang lain dan mengembangkan koneksi yang bermakna.
Kuncinya terletak pada menemukan keseimbangan antara diam dan terlibat aktif. Hal ini membutuhkan kesadaran diri, empati, dan keterampilan komunikasi yang efektif. Mengenali kapan diam diperlukan untuk refleksi pribadi atau untuk menghormati batasan sangatlah penting. Sama pentingnya untuk berkomunikasi secara terbuka, mengungkapkan empati, dan menindaklanjuti dengan tanggapan yang bijaksana pada saat yang tepat.
Adakalanya diam itu baik, adakalanya jangan diam.
Saya pribadi bukan orang yang banyak diam, namun akan miskin kata-kata ketika dalam posisi yang tidak nyaman. Jadi, saya bukan orang yang tidak nyaman ketika orang lain diam, melainkan adalah orang yang menciptakan ketidaknyamanan karena terlalu diam.
Apa motif saya diam? Kesalahan dalam berpikir, saya kira. Saya memiliki kekhawatiran akan mengucapkan hal yang salah atau memperburuk situasi dengan bersuara. Padahal, diam justru lebih buruk ketika kita mampu berkomunikasi efektif. Ketika saya sudah menyadari kesalahan berpikir ini pun, perilaku saya tidak serta merta berubah karena diam sudah menjadi respons yang refleks karena seumur hidup di rumah saya dihadapkan dengan orang-orang yang bisa tersinggung, meledak, dan bahkan hilang kontrol diri cuma karena sesuatu yang saya ucapkan bukan sesuatu yang diharapkan.Â
Apakah tidak bisa diubah?
Tentu bisa. Tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.
Ada orang seperti saya, dan ada orang yang justru tidak suka mendiamkan sesuatu.
Dalam bahasa berantem, saya mungkin tipe flight, dan ada orang yang tipe fight. Semua hal harus langsung dibahas dan diselesaikan. Tentu sekilas kedua tipe orang ini gak nyambung kalau berkonflik. Meskipun demikian, sepengalaman saya, saya memiliki hubungan-hubungan yang lebih bermakna dengan orang-orang tipe fight, mulai dari pertemanan yang sampai bertahun-tahun sampai hubungan yang lebih serius; dengan catatan mereka adalah orang-orang yang terus mau belajar. Saya jadi pelan-pelan belajar berbicara, dan mereka pelan-pelan belajar menerima jeda.
Mungkin, kita bisa memulai dengan tahu kapan harus diam dan kapan sebaiknya menghindari diam.
Kapan harus diam?
Tetap diam bisa menjadi pilihan yang tepat dalam berbagai situasi, antara lain:
- Saat active listening: Diam memungkinkan kita untuk sepenuhnya fokus dan secara aktif mendengarkan orang lain. DIam dapat menunjukkan rasa hormat dan menunjukkan bahwa kita benar-benar tertarik untuk memahami perspektif orang lain. Dengan menahan untuk langsung menanggapi, kita dapat menciptakan ruang bagi orang lain untuk mengekspresikan diri sepenuhnya tanpa gangguan.
- Sebagai bentuk dukungan emosional: Terkadang, ketika seseorang membagikan emosinya atau mengalami masa sulit, diam bisa menjadi bentuk dukungan yang kuat. Diamnya kita memungkinkan mereka untuk merasa didengarkan dan diakui. Perilaku diam pada saat-saat ini dapat menawarkan ruang yang aman dan tidak menghakimi bagi orang lain untuk memproses perasaan mereka.
- Sebagai waktu untuk introspeksi dan refleksi: Diam dapat memberikan kesempatan untuk introspeksi dan refleksi yang mendalam. Diam memungkinkan kita untuk mempertimbangkan pikiran, keyakinan, dan nilai kita dengan hati-hati sebelum menanggapi. Meluangkan waktu untuk merenung dapat menghasilkan kontribusi yang lebih bijaksana dan dipertimbangkan untuk diskusi atau keputusan.
- Untuk menghormati batasan: Diam bisa menjadi cara untuk menghormati batasan atau kebutuhan seseorang akan ruang pribadi. Ini sangat relevan, terutama ketika orang lain secara eksplisit mengungkapkan keinginan untuk menyendiri atau menunjukkan preferensi untuk diam. Menghormati batasan orang lain menunjukkan perilaku berempati dan pengertian.
- Sebagai bentuk komunikasi nonverbal: Diam bisa menjadi bentuk komunikasi nonverbal yang kuat. Ada yang bilang, "silence is an answer, too" yang mana diam tetap bukanlah jawaban, tapi diam adalah respons yang mengisyaratkan jawaban. Diam bisa menyampaikan emosi seperti kesedihan, kontemplasi, atau persetujuan tanpa perlu kata-kata. Dalam beberapa situasi, diam dapat berkomunikasi lebih efektif daripada respons lisan apa pun. Meskipun demikian, tidak banyak orang mampu memahami komunikasi tanpa kata-kata.
- Untuk mengizinkan orang lain mengambil alih: Dalam kelompok atau lingkungan kolaboratif, tetap diam dapat menciptakan ruang bagi orang lain untuk berkontribusi dan memimpin. Ini mendorong beragam perspektif dan mencegah satu suara dominan membayangi yang lain. Dengan menahan tanggapan langsung, kita dapat mendorong diskusi yang lebih inklusif dan seimbang.
- Karena we choose our fights: Diam bisa menjadi pilihan strategis ketika dihadapkan pada situasi yang tidak layak untuk berbicara atau di mana kata-kata mungkin tidak memberikan hasil yang produktif. Ini dapat membantu mencegah konflik atau argumen yang tidak perlu dan menjaga kedamaian batin.
Penting untuk diperhatikan bahwa meskipun diam dapat bermanfaat dalam situasi ini, komunikasi yang efektif memerlukan keseimbangan antara mendengarkan secara aktif, tanggapan yang bijaksana, dan keterlibatan yang bermakna.Â
Konteks, individu yang terlibat, dan hasil yang diinginkan semuanya harus dipertimbangkan saat memutuskan untuk tetap diam.
Meskipun ada situasi di mana tetap diam bisa menjadi pilihan yang valid, ada juga kelemahan potensial untuk tidak mengatakan apa-apa secara konsisten sebagai tanggapan:
- Berakibat pada miskomunikasi dan kesalahpahaman: Diam dapat menciptakan ruang untuk ambiguitas dan salah tafsir. Tanpa komunikasi yang jelas, orang lain mungkin kesulitan untuk memahami perspektif atau niat kita, yang menyebabkan kebingungan dan hubungan yang renggang.
- Sebagai tanda ketidaktertarikan atau ketidakpedulian: Ketika seseorang mengharapkan tanggapan dan ditanggapi dengan diam, mereka mungkin menganggapnya sebagai ketidaktertarikan, ketidakpedulian, atau bahkan ketidakpedulian. Ini dapat menciptakan persepsi bahwa kita yang diam mungkin tidak terlibat dalam percakapan atau bahwa kita tidak menghargai masukan mereka.
- Hubungan menjadi renggang: Memilih diam secara konsisten sebagai respons dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan pribadi dan profesional. Hal ini dapat membuat orang lain merasa tidak didengarkan, tidak penting, atau dikucilkan dari komunikasi yang berarti, yang mengarah ke hubungan yang memburuk.
- Ketidakefektifan dalam penyelesaian konflik: Tidak menanggapi atau diam dapat menghambat penyelesaian konflik yang efektif. Ini dapat mencegah pengungkapan kekhawatiran, perasaan, dan kebutuhan, sehingga sulit untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah secara konstruktif. Mau bagaimana pun juga, komunikasi verbal saja tidak selalu mudah, apalagi komunikasi tanpa kata-kata.
Diam memiliki kelebihan dan kelemahan. Diam bisa jadi emas atau perusak hubungan, sepenuhnya tergantung kita.
Kuncinya adalah seimbang.
Bagaimana cara untuk seimbang?
Seimbang di sini tidak berarti 50:50, melainkan tahu situasi dan kondisi kapan harus diam dan kapan jangan diam. Seimbang di sini berarti mengetahui apa yang harus dilakukan untuk tidak menjerumuskan diri dan orang lain dalam komunikasi yang tidak sehat.
Menemukan keseimbangan antara tetap diam saat diperlukan dan menghindari perilaku seperti stonewalling atau silent treatment membutuhkan kesadaran diri, keterampilan komunikasi yang efektif, dan komitmen untuk menjaga hubungan yang sehat.
Berikut adalah beberapa strategi untuk membantu kita untuk mencapai keseimbangan itu:
- Refleksi Diri: Pahami motivasi dan niat kita ketika kita memilih untuk diam. Renungkan apakah kebisuan kita berakar pada kebutuhan sejati akan refleksi atau jika didorong oleh penghindaran, agresivitas pasif, atau keinginan untuk memanipulasi orang lain. Refleksi diri yang jujur membantu kita untuk menyelaraskan keheningan kita dengan komunikasi yang sehat.
- Komunikasikan Niat: Jika kita memilih untuk tetap diam dalam suatu situasi, komunikasikan alasan kita kepada orang lain. Beri tahu mereka bahwa kita perlu waktu untuk memproses, merenungkan, atau mengumpulkan pemikiran kita sebelum merespons. Memberi tahu niat kita secara terbuka menumbuhkan pemahaman dan mencegah orang lain merasa diabaikan atau disingkirkan.
- Tetapkan Batasan yang Jelas: Menetapkan batasan mengenai kapan dan mengapa kita memilih untuk diam dapat membantu menghindari kesalahpahaman. Komunikasikan batasan ini dengan orang terdekat kita untuk memastikan mereka memahami kebutuhan kita dan sadar bahwa sikap diam kita tidak dimaksudkan untuk menyakiti atau memanipulasi mereka. Jika mereka peduli, mereka akan mengerti.
- Mendengarkan Secara Aktif: Diam tidak berarti melepaskan diri dari percakapan. Berlatih mendengarkan secara aktif dengan memberikan perhatian penuh pada pembicara, menjaga kontak mata, dan menggunakan isyarat nonverbal untuk menunjukkan minat dan pengertian kita. Ini membantu orang lain merasa diakui dan dihargai, meskipun kita tidak langsung memberikan tanggapan verbal.
- Ekspresikan Empati: Saat kita memilih untuk diam, pastikan orang lain tahu bahwa kita masih berempati dan terlibat dalam percakapan. Gunakan isyarat non-verbal seperti mengangguk, tersenyum, atau sentuhan lembut untuk menyampaikan pengertian dan dukungan kita. Ini membantu mencegah diamnya kita dianggap sebagai tidak tertarik atau tidak peduli.
- Tetapkan Batas Waktu: Jika kita membutuhkan waktu untuk diam yang cukup lama, komunikasikan perkiraan jangka waktu kepada orang lain. Beri tahu mereka saat kita kira-kira akan siap untuk melanjutkan percakapan atau memberikan tanggapan. Selain itu, hal ini membuat kita tidak berlarut-larut untuk diam dan diamnya kita benar-benar adalah untuk menata hati dan pikiran dengan introspeksi dan refleksi.
- Terlibat dalam Komunikasi Lanjutan: Setelah kita meluangkan waktu untuk refleksi atau introspeksi, berusahalah untuk menghubungi kembali orang-orang yang terlibat. Bagikan pemikiran, perasaan, dan perspektif kita dengan cara yang penuh hormat dan konstruktif. Hal ini memastikan bahwa sikap diam kita bukanlah cara untuk menghindari percakapan, melainkan cara untuk berkontribusi secara bijaksana.
- Mencari Bantuan Profesional jika Dibutuhkan: Jika kita merasa kesulitan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara diam dan bebicara, pertimbangkan untuk mencari bimbingan dari profesional kesehatan mental seperti psikolog. Mereka dapat membantu kita mengeksplorasi masalah yang mendasari, meningkatkan keterampilan komunikasi kita, dan mengembangkan strategi yang lebih sehat untuk mengekspresikan diri kita.
Ingat, tujuannya adalah menggunakan diamsebagai alat untuk refleksi dan pemahaman yang bijaksana, tanpa beralih ke perilaku berbahaya seperti silent treatment atau stonewalling. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting dalam menjaga hubungan yang sehat, dan menemukan keseimbangan antara diam dan berbicara dapat berkontribusi pada hubungan yang efektif dan bermakna dengan orang lain.
Penutup
Dalam jaringan hubungan interpersonal kita yang kompleks, komunikasi memainkan peran penting. Namun, ada kalanya berdiam diri diperlukan untuk refleksi, empati, dan batasan pribadi.Â
Perilaku diam adalah alat yang ampuh yang dapat berkontribusi secara positif pada interaksi kita dengan orang lain, tetapi penting untuk membedakannya dari perilaku seperti stonewalling atau silent treatment. Dengan memahami perbedaan dan mengembangkan pendekatan yang seimbang terhadap perilaku diam, kita dapat memanfaatkan manfaatnya untuk pertumbuhan pribadi.Â
Memanfaatkan kelebihan dari diam sambil mempertahankan komunikasi yang terbuka dan efektif akan menghasilkan hubungan yang lebih sehat dan lebih memuaskan. Dengan menemukan keseimbangan antara perilaku diam dan keterlibatan aktif, kita dapat memupuk hubungan yang lebih sehat dan memanfaatkan aspek positif dari perilaku diam.
Penting untuk membedakan antara memilih diam sebagai bentuk tanggapan atau refleksi yang bijaksana dan menggunakan diam sebagai taktik manipulatif atau berbahaya.Â
Dalam komunikasi yang sehat, sangat penting untuk menemukan keseimbangan antara mengekspresikan diri dan mendengarkan orang lain, mendorong dialog yang terbuka dan saling menghormati.
Bersama-sama, kita dapat menavigasi dinamika dari seni diam dan meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang lain dengan terus belajar menjadi orang yang lebih baik. (oni)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H