Kita mungkin sudah tidak asing dengan istilah silent treatment.
Akhir-akhir ini, ada lagi satu istilah yang mendeskripsikan perilaku diam, yaitu stonewalling.
Apa itu stonewalling? Apa bedanya dengan silent treatment? Apakah berbahaya? Apakah bermanfaat?
Lalu, memang ada apa dengan diam? Kenapa perilaku diam dihindari dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik?
Bukankah diam adalah emas?
Tidak bolehkah kita diam? Atau justru harusnya kita banyak diam?
Mari kita bahas.
Apa apa dengan diam?
Di dunia yang terus menjejali kita dengan komunikasi yang terus-menerus, perilaku diam sering disalahpahami. Di media sosial, semua orang bisa bersuara dan menyuarakan apapun. Hidup dalam pola di mana semua orang punya opini membuat banyak dari kita mungkin merasa kita juga harus selalu memiliki sesuatu untuk dikatakan. Ketika kita dihadapkan pada keheningan, banyak dari kita mungkin jadi tidak nyaman. Penting untuk kita sadari bahwa tidak memiliki tanggapan bukanlah sesuatu yang salah atau tidak wajar. Diam pun memiliki makna dan kekuatannya sendiri dalam interaksi manusia.
Memilih untuk tidak menanggapi bisa menjadi tindakan yang disengaja dan bermakna. Ini memungkinkan individu untuk mundur selangkah, mengumpulkan pemikiran mereka, dan benar-benar mendengarkan orang lain. Di saat-saat hening inilah pemahaman dan empati yang lebih dalam dapat berkembang.
Perilaku diam juga berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk introspeksi dan refleksi diri. Ini memberikan kesempatan untuk memproses informasi, mengevaluasi keyakinan sendiri, dan mempertimbangkan perspektif alternatif. Alih-alih terburu-buru memberikan jawaban langsung, merangkul keheningan memungkinkan respons yang lebih bijaksana dan otentik pada saat yang tepat