Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Moralisasi di Era Sosial Media, Sudah Lewat Batas?

28 Maret 2023   14:38 Diperbarui: 31 Maret 2023   17:24 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by camilo jimenez on Unsplash

Maraknya media sosial telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Berbagai platform yang membuat kita dapat mengungkapkan pemikiran dan pendapat kita kepada khalayak luas. Namun, "kebebasan baru" ini menimbulkan isu moralisasi. 

Sejak media sosial semakin menjamur dan digunakan oleh hampir seluruh kelompok usia dari berbagai kalangan, jumlah orang yang melakukan moralisasi (moralizing behavior) semakin meningkat dengan signifikan di media sosial. 

Apa itu perilaku moralisasi? Apakah perilaku ini harus dihindari atau justru dilakukan? Bagaimana bisa perilaku moralisasi dapat dikatakan "sudah lewat batas"?

Apa itu moralisasi?

Moralizing behavior, atau moralisasi, merupakan perilaku seseorang ketika dia membuat penilaian moral tentang perilaku orang lain. Hal ini telah menjadi sesuatu yang sangat umum di media sosial, sadar tidak sadar. 

Contoh perilaku ini adalah ketika seseorang menilai (judging) seseorang melalui interaksi di dunia maya dan melabeli orang lain "benar" atau "salah, serta "baik" atau "buruk". Sangat mudah untuk jatuh ke dalam perangkap mempermalukan seseorang di depan umum karena dianggap melakukan kesalahan, baik itu selebritas atau orang biasa.

Perilaku moralisasi ini banyak bentuknya, seperti mempermalukan orang lain di depan umum atas perilaku mereka, mengungkapkan kemarahan atau kecaman di media sosial, atau memaksakan standar moral seseorang kepada orang lain. 

Perilaku moralisasi sering kali dimotivasi oleh keinginan untuk menegakkan norma sosial atau menandakan superioritas moral seseorang. Perilaku ini memang memiliki tujuan yang mulia dalam meminta pertanggungjawaban individu atas tindakan mereka. Perilaku ini juga menjunjung tinggi dan mempromosikan perilaku etis. 

Dari perspektif psikologi, moralisasi di media sosial dapat dipahami sebagai bentuk moral grandstanding atau penanda sinyal-sinyal kebajikan. 

Penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa orang terlibat dalam perilaku ini untuk meningkatkan status dan reputasi sosial mereka sendiri, bukan karena kepedulian yang tulus terhadap masalah yang terjadi. 

Dengan kata lain, moralisasi dapat berfungsi sebagai cara bagi individu untuk menunjukkan keunggulan moral mereka sendiri dan mendapatkan persetujuan dari orang lain.

Moralisasi di media sosial juga didukung oleh anonimitas dan keterbatasan jarak yang terdapat di dunia maya. Orang-orang merasa berani untuk terlibat dalam perilaku yang lebih ekstrem ketika mereka tidak bertatap muka dengan target mereka. Hal ini menjadi salah satu sebab banyaknya penghinaan publik yang menjadi begitu umum di platform media sosial.

Apakah moralisasi sudah lewat batas?

Yang jelas, perilaku moralisasi ini overused. Terdapat sejumlah alasan di balik penggunaan moralisasi yang berlebihan di era media sosial. Salah satu alasannya adalah keinginan untuk persetujuan dan validasi sosial. 

Platform media sosial menyediakan ruang di mana individu dapat melakukan nilai-nilai moral mereka dan menandakan keunggulan moral mereka kepada pengikut mereka. 

Kemampuan untuk menampilkan nilai-nilai moral secara terbuka dan menerima suka dan komentar dapat memberikan rasa validasi dan persetujuan sosial. Hal ini dapat mendorong individu untuk bermoral agar dapat menerima umpan balik yang positif dari teman sebayanya.

Alasan lain di balik penggunaan moralisasi yang berlebihan di media sosial adalah keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok atau komunitas sosial tertentu. 

Platform media sosial sering berisi kelompok atau komunitas dengan nilai dan kepercayaan yang sama. Agar cocok dengan komunitas ini, individu mungkin merasa perlu untuk bermoral dan menandakan komitmen mereka terhadap nilai-nilai moral kelompok. Hal ini dapat mengakibatkan moralisasi perilaku menjadi bentuk mata uang sosial, dimana individu dapat memperoleh modal sosial dengan melakukan nilai-nilai moralnya.

Selain itu, anonimitas dan jarak yang disediakan oleh media sosial dapat memudahkan individu untuk bermoral tanpa mengalami konsekuensi atau pertanggungjawaban nyata. 

Kurangnya interaksi tatap muka dan kemampuan untuk bersembunyi di balik layar dapat mengakibatkan individu mengambil posisi yang lebih ekstrem dan membuat penilaian moral yang keras tanpa sepenuhnya mempertimbangkan dampak kata-kata mereka. Ini dapat mengakibatkan kurangnya dialog yang produktif dan lingkungan online yang tidak sehat.

Penggunaan moralisasi yang berlebihan di media sosial mungkin merupakan respons terhadap meningkatnya polarisasi dan perpecahan di masyarakat. 

Perilaku bermoral dapat memberi individu rasa memiliki tujuan dan rasa memiliki, karena mereka mampu menyelaraskan diri dengan posisi moral tertentu dan mengambil sikap melawan sudut pandang yang berlawanan. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan kurangnya dialog yang produktif dan semakin mengakarnya individu dalam keyakinan mereka sendiri.

Apakah perilaku yang berlebihan ini sudah lewat batas?

Moralisasi di era media sosial dapat dianggap sudah lewat batas karena sejumlah alasan. Utamanya karena kita dengan sangat mudah melabeli dan menyerang orang lain yang akhirnya menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang manfaat. Perilaku ini juga sampai dijadikan bentuk virtue signaling. 

Hal ini mengacu pada individu yang secara terbuka menampilkan kebajikan moral mereka dan menandakan superioritas moral mereka, seringkali tanpa komitmen nyata terhadap masalah tersebut. 

Pada platform media sosial, individu dapat menampilkan nilai-nilai moral mereka dengan cara yang dangkal dan performatif, dengan lebih menekankan pada penampilan yang berbudi luhur daripada benar-benar membuat dampak positif pada dunia. Ini dapat mengarah pada promosi moralitas yang tidak tulus, yang dapat mengurangi nilai moral itu sendiri.

Moralisasi juga seringkali dapat mengakibatkan orang mengambil posisi ekstrem, membuat penilaian moral, dan mengakar dalam pandangan mereka sendiri, yang dapat menyebabkan kurangnya pemahaman dan kemajuan. Alih-alih terlibat dalam dialog yang produktif, moralisasi terkadang dapat membuat individu lebih tertarik untuk membuktikan pendapat mereka dan mengkritik mereka yang memiliki pandangan berbeda.

Hal ini dapat mendorong perpecahan dan konflik. Media sosial menyediakan platform bagi individu untuk menyuarakan pendapat moral mereka dan mengekspresikan kemarahan. Hal ini dapat menciptakan lingkungan yang tidak sehat, di mana beragam perspektif dan dialog konstruktif tertahan, dan pelecehan serta intimidasi daring merajalela.

Ketika sudah lewat batas, perilaku moralisasi bisa menjadi dangkal dan tidak tulus. Keinginan untuk menunjukkan superioritas moral kadang-kadang bisa melebihi kepedulian yang tulus terhadap suatu masalah. Hal ini dapat mengarah pada promosi moralitas yang dangkal dan performatif, di mana individu lebih peduli untuk tampil berbudi luhur secara moral daripada benar-benar membuat dampak positif pada dunia. Hal ini dapat dilihat sebagai penilaian yang berlebihan dan mengurangi nilai pendapat moral, karena pendapat tersebut menjadi lebih tentang kinerja daripada perhatian yang tulus terhadap perilaku etis.

Moralisasi pada dasarnya bertujuan mulia. Namun, jika sudah lewat batas dapat perlu dievaluasi ulang. Kita harus berusaha untuk mendahulukan kepedulian yang tulus terhadap perilaku etis dan perubahan positif, dan bukan sekedar melabeli moralitas orang lain. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan daring yang lebih positif dan konstruktif.

Kelebihan dan kekurangan dari perilaku moralisasi

Meskipun moralisasi dapat menjadi alat yang berguna untuk meminta pertanggungjawaban orang atas tindakan yang mereka lakukan, penting untuk mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perilaku ini. 

Moralisasi seringkali dapat menyebabkan lingkungan daring yang tidak sehat mental. Saat orang merasa diserang, mereka mungkin merespons dengan kemarahan dan agresi, memicu lingkaran setan kebencian di dunia maya. Perilaku ini juga dapat digunakan secara berlebihan dan mengarah pada lingkungan yang tidak sehat yang menghambat dialog konstruktif dan menghambat beragam perspektif.

Selain itu, moralisasi ironisnya juga dapat menyebabkan kurangnya empati dan pengertian. Dengan mereduksi masalah kompleks menjadi penilaian moral yang sederhana, kita berisiko menyederhanakan situasi dan kehilangan poin-poin penting. Ini juga dapat mencegah orang untuk terlibat dalam dialog konstruktif dan menemukan solusi untuk masalah, karena fokusnya bergeser dari menemukan solusi menjadi menyalahkan.

Secara umum, kelebihan dan kekurangan dari perilaku moralisasi adalah sebagai berikut:

Kelebihan perilaku moralisasi di media sosial adalah sebagai berikut:

  • Meningkatkan kesadaran pengguna: Dengan adanya moralisasi, pengguna media sosial lebih sadar dalam berperilaku.
  • Menjamin akuntabilitas pengguna: Moralisasi dapat meminta pertanggungjawaban pengguna atas tindakan yang perilaku tidak etis atau individu yang terlibat dalam perilaku berbahaya.
  • Membangun komunitas daring: Ketika orang terlibat dalam perilaku moralisasi, mereka dapat membangun komunitas individu yang berpikiran sama yang berbagi nilai dan keyakinan mereka. Komunitas ini dapat menjadi sumber dukungan dan dorongan bagi individu yang bekerja untuk menciptakan perubahan positif.

Dapat dilihat bahwa kelebihan perilaku moralisasi tidak berlaku mutlak. Sementara itu, kerugian dari perilaku moralisasi di media sosial adalah sebagai berikut:

  • Lingkungan daring yang tidak sehat mental: Perilaku moralisasi dapat menyebabkan lkemarahan, agresi, dan perpecahan ketika pelaku tidak dewasa secara emosional. Hal ini dapat menghambat dialog yang produktif dan menciptakan suasana ketakutan dan intimidasi.
  • Kurangnya empati dan pengertian: Moralisasi dapat menyebabkan kurangnya empati dan pengertian, karena individu mereduksi masalah kompleks menjadi penilaian moral yang sederhana. Hal ini dapat mencegah orang untuk terlibat dalam dialog konstruktif dan menemukan solusi untuk masalah.
  • Polarisasi: Moralisasi dapat menyebabkan polarisasi, di mana individu menjadi lebih mengakar dalam keyakinan mereka dan kurang mau mempertimbangkan perspektif alternatif. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kompromi dan ketidakmampuan untuk menemukan titik temu.
  • Hal-hal yang tidak diinginkan: Moralisasi dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mempermalukan individu yang tidak bersalah di depan umum atau penguatan stereotip negatif tentang kelompok orang tertentu.

Moralisasi yang lebih sehat

Jadi bagaimana kita sebaiknya melakukan moralisasi atas perilaku orang lain? Secara umum, kita harus  berusaha untuk lebih berempati dan pengertian dalam interaksi daring kita. 

Alih-alih langsung melakukan moralisasi (judging), kita dapat meluangkan waktu untuk mendengarkan perspektif orang lain dan mencoba memahami dari mana asalnya. Hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan online yang lebih produktif dan terhormat, tempat orang merasa nyaman untuk mengungkapkan pikiran dan pendapat mereka.

Selain itu, kita juga dapat berusaha untuk lebih sadar akan bias dan prasangka kita sendiri. Sangat mudah untuk jatuh ke dalam perangkap membuat penilaian moral berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai kita sendiri, tetapi ini dapat mengarah pada pandangan dunia yang sempit. Dengan mengakui bias kita dan secara aktif mencari berbagai sudut pandang, kita dapat memperluas pemahaman kita tentang dunia dan menjadi individu yang lebih berpikiran terbuka.

Untuk mencapai keseimbangan dari moralisasi yang berlebihan (overrated) di media sosial dan beralih ke posisi yang lebih moderat, kita dapat melakukan hal-hal berikut:

1. Hindari virtue signaling: Kita harus berusaha untuk terlibat dalam perilaku moralisasi di media sosial karena kepedulian yang tulus terhadap masalah yang ada, dan bukan menunjukkan keunggulan moral kita sendiri atau untuk mendapatkan status sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan berfokus pada masalah yang ada dan bukan pada diri dan citra (image) kita sendiri.

2. Mengusahakan dialog yang konstruktif: Kita harus mengusahakan dialog konstruktif di media sosial, dan bukan malah terlibat dalam perilaku polarisasi yang menciptakan lingkungan daring yang tidak sehat mental. Hal ini dapat diusahakan dengan secara aktif mencari perspektif yang beragam, terlibat dalam mendengarkan secara aktif, dan menghindari membuat penilaian moral yang sederhana.

3. Bertindak secara konkret: Moralisasi di media sosial bukanlah solusi untuk permasalahan yang ada, tetapi dapat menjadi salah satu jalan untuk mencapai solusi tersebut. Kita harus mengambil tindakan nyata untuk menciptakan perubahan positif, bukan hanya dengan menilai moralitas orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadi sukarelawan, menyumbang untuk suatu tujuan, atau terlibat dalam kerja advokasi. 

4. Kenali kompleksitas masalah: Banyak masalah sosial yang kompleks dan beragam, dan tidak dapat direduksi menjadi penilaian moral yang sederhana. Kita harus berusaha untuk mengenali kerumitan masalah ini dan terlibat dalam diskusi bernuansa yang mempertimbangkan berbagai perspektif dan solusi.

5. Latih refleksi diri (self-reflection): Kita juga harus mempraktikkan refleksi diri dan mengevaluasi motivasi dan bias yang mendorong perilaku kita saat melakukan moralisasi di media sosial. Ini dapat membantu kita menghindari perilaku yang didorong oleh ego, sehingga tindakan yang dilakukan lebih didasari oleh keinginan tulus untuk menciptakan perubahan positif.

Secara umum, dengan mengadopsi pendekatan yang lebih moderat, kita dapat memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menciptakan perubahan positif, bukan hanya menambah kegaduhan. 

Moralisasi di media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kesadaran dan meminta pertanggungjawaban orang, tapi penting untuk menggunakannya dengan hati-hati dan mengenali keterbatasannya. Kita harus berusaha untuk terlibat dalam diskusi yang produktif dan bernuansa tentang masalah sosial, dan mengambil tindakan nyata untuk menciptakan perubahan positif, bukan sekadar moralisasi dari balik layar.

Penutup

Moralisasi di media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kesadaran dan meminta pertanggungjawaban orang, tapi penting untuk menggunakannya dengan hati-hati dan mengenali keterbatasannya. Kita harus berusaha untuk terlibat dalam diskusi yang produktif dan bernuansa tentang masalah sosial, dan mengambil tindakan nyata untuk menciptakan perubahan positif, bukan sekadar moralisasi dari balik layar. 

Moralisasi di era media sosial sudah lewat batas. Meskipun merasa baik untuk mempermalukan seseorang di depan umum karena dianggap melakukan kesalahan, hal itu sering kali mengarah pada lingkungan daring yang tidak sehat mental dan hal ini menyebabkan seseorang kurang berempati dan pengertian. 

Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk lebih berempati dan memahami dalam interaksi kita dan menyadari bias dan prasangka kita sendiri. 

Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan daring yang lebih produktif dan terhormat, di mana orang merasa nyaman untuk mengekspresikan pikiran dan pendapat mereka tanpa takut dihakimi atau dihujat. (oni)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun