Manusia adalah ciptaan yang kompleks dan sering memiliki pikiran dan emosi yang saling bertentangan. Kita punya kecenderungan untuk selalu menjaga diri kita sendiri dan memprioritaskan kesejahteraan kita. Meskipun demikian, pada saat yang sama, kita mungkin melakukan perilaku yang berbahaya bagi diri kita sendiri.
Bagaimana bisa?
Kita hidup dalam masyarakat yang sering mempromosikan budaya perfeksionis, di mana kita diharapkan memiliki segalanya, sukses dalam karir dan pendidikan, serta bahagia sepanjang waktu. Tekanan untuk menjadi sempurna ini dapat menyebabkan perasaan tidak mampu dan keraguan diri, yang dapat mempersulit praktik mencintai diri sendiri (self-love).
Selain itu, kita mungkin memiliki pengalaman atau trauma masa lalu yang membuat kita percaya bahwa kita tidak pantas mendapatkan cinta atau kebahagiaan, yang dapat menyebabkan kita melakukan sabotase diri (self-sabotage).
Misalnya, ketika beban kerja sangat besar dengan waktu pengerjaan yang sempit, kita menolak untuk langsung mengerjakan sampai tuntas lalu rehat, melainkan kita memilih untuk mengambil rehat tanpa perhitungan dengan alasan sedang mempraktikkan self-love, yang padahal justru menjadi bumerang karena waktu pengerjaan yang sempit menjadi semakin sedikit dengan beban kerja yang tetap besar. Tekanan yang dialami menjadi lebih tinggi ketika waktu pengerjaan lebih sedikit. Hal ini adalah self-sabotage yang dikemas dalam judul self-love.
Kenapa self-love bisa menjadi rentan akan self-sabotage?
Kita mungkin tidak selalu menyadari keyakinan dan motivasi yang mendasari tindakan kita. Kita mungkin terlibat dalam perilaku self-sabotage tanpa menyadarinya, atau kita mungkin terlibat dalam perilaku yang menurut kita adalah self-love tetapi sebenarnya dimotivasi oleh keinginan untuk menghindari ketidaknyamanan atau rasa sakit.
Pada akhirnya, mempertanyakan "self-love atau self-sabotage?" adalah langkah penting untuk menjadi lebih sadar diri dan memahami pola perilaku kita sendiri.
Dengan memahami pikiran dan emosi kita, kita dapat mengenali diri kita saat kita melakukan self-sabotage lalu berupaya mengubah pola pikir kita menuju self-love.
Proses eksplorasi diri dan penemuan diri ini bisa jadi menantang, tetapi pada akhirnya bermanfaat dan dapat mengarah pada kehidupan yang lebih sejahtera.