Mohon tunggu...
Qanita Zulkarnain
Qanita Zulkarnain Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Psikologi

Psychology Undergraduate and Psychometrics Graduate.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Bunuh Diri dan Kesehatan Mental Indonesia

26 Juli 2017   12:01 Diperbarui: 10 Maret 2023   10:17 10849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bulan ini, dunia maya dihebohkan dengan kasus bunuh diri Chester Bennington, vokalis Linkin Park, dalam usia 41 tahun. Beberapa hari sebelumnya, salah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang merupakan CEO muda salah satu agensi selebgram Indonesia juga menutup usia dengan isu serupa. 

Jika melihat beberapa bulan sebelumnya, Indonesia dihebohkan oleh seorang netizen WNI yang bunuh diri di Jagakarsa, Jakarta Selatan, dalam siaran langsungnya di Facebook.

Ditambah lagi belum seminggu beredar berita kakak-adik yang bunuh diri di Bandung, Jawa Barat. Belum lagi serentetan kasus bunuh diri lainnya yang memunculkan highlight'Indonesia Darurat Kesehatan Mental' di beberapa situs berita di dunia maya.

Dewasa ini, bunuh diri bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Dalam situsnya, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 1.4% dari penyebab kematian di seluruh dunia adalah bunuh diri dan oleh sebab itu menjadi penyebab kematian terbanyak di urutan ke-17 pada tahun 2015. Di Indonesia sendiri, sekitar 4-5 kematian dari 100.000 populasi disebabkan oleh bunuh diri.

Bunuh diri, secara langsung maupun tidak langsung penyebabnya adalah terganggunya kesehatan mental individu.

Lebih dari 90% pelaku bunuh diri merupakan orang dengan gangguan mental yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat.

Beberapa standar mental yang sehat menurut WHO adalah individu dapat mengetahui potensi yang ia miliki, dapat berkontribusi terhadap lingkungannya, dapat bekerja dengan produktif, dan dapat melakukan koping terhadap stresor dalam hidupnya.

Data mengenai statistik kesehatan mental masyarakat di Indonesia yang banyak beredar adalah data Riskesdas tahun 2013 tanpa dapat ditemukan dengan mudah mengenai data tahun-tahun setelahnya sampai hari ini.

Terdapat berbagai kemungkinan alasan, namun yang jelas adalah Indonesia belum memperhatikan kesehatan mental sebagai isu vital dalam dunia kesehatan. 

Walaupun terdapat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Jiwa namun sama saja jika hal ini tidak didukung oleh pembiayaan yang memadai.

Dalam data mengenai alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot 5% dari APBN 2016, dan rata-rata anggaran untuk kesehatan mental hanya 1% dari total anggaran kesehatan.

Menilik dari penyebab gangguan mental, terdapat dua sisi, yaitu dari dalam diri individu dan lingkungan. Dalam hal ini, dari sisi internal, individu dikatakan memiliki diathesis, atau predisposisi mengalami gangguan mental sehingga jika ada faktor pencetus dan penguat, individu akan rentan mengalami gangguan mental ringan sampai berat.

Dari sisi eksternal, terdapat stres yang merupakan tekanan dari lingkungan. Stres pada dasarnya bukanlah sesuatu yang mutlak buruk, di mana stres terbagi menjadi stres yang membangun (Eustress) dan stres yang merusak (Distress).

Kemampuan setiap orang menangani tekanan dan mengatur sifat stresnya berbeda-beda, yang kemudian berdampak pada perbedaan tingkatan dalam kecendrungan individu mengalami gangguan mental.

Diathesis dan distres bersinergi meningkatkan probabilitas seseorang mengalami gangguan mental. Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan jumlah orang dengan gangguan mental; yang secara sederhana bertujuan menguatkan mental individu dan "menyehatkan" lingkungan sekitar individu.

Salah satu cara dalam upaya prevensi gangguan mental adalah dengan edukasi mengenai gangguan mental itu sendiri. Masyarakat luas perlu mengetahui seperti apa gangguan mental, dan cara menghadapi gangguan mental atau orang dengan gangguan mental. Salah satu tujuannya adalah mengurangi stigma mengenai gangguan mental, khususnya depresi, di kalangan masyarakat. 

Sejauh ini, orang dengan gangguan mental, terutama depresi, memiliki label buruk dan alih-alih dibantu, orang dengan gangguan mental justru secara tidak langsung ditolak.

Seperti orang yang fisiknya sakit lalu harus dibuatkan bubur karena pencernaannya sedang  tidak cukup kuat untuk menerima nasi atau yang harus memakai kruk untuk berjalan karena kakinya sedang tidak cukup kuat menopang tubuhnya, orang dengan depresi dan gangguan mental lainnya juga membutuhkan dukungan karena psikisnya sedang tidak cukup kuat.

Tidak ada salahnya jika masyarakat memiliki paradigma yang beragam mengenai gangguan mental -- mulai dari sisi biologis hingga mistis -- namun yang perlu ditekankan adalah bagaimana setiap dari masyarakat tersebut menyikapi persepsinya dalam menghadapi orang dengan gangguan mental karena salah satu isu sentral lainnya dalam topik kesehatan mental adalah stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan mental.

Terjadinya stigmatisasi dan diskriminasi berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, bahkan kesehatan di masyarakat.

Analogi berikutnya adalah, jika seseorang yang mengalami gangguan pencernaan tidak diberi bubur dan justru diberi oralit tentu saja akan memperparah keadaannya. Sama dengan orang dengan gangguan mental yang tidak mendapat bantuan profesional dan justru mendapat feedback negatif dari masyarakat.

Padahal, bagaimanapun juga, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Dalam peringatan Hari Kesehatan Dunia pada 7 April 2017 kemarin, diangkat tema global "Depression: Let's Talk" mengingat angka depresi dan bunuh diri di seluruh dunia yang  terus meningkat.

Kampanye yang temanya menjadi "Depresi: Yuk Curhat" di Indonesia ini menyerukan masyarakat untuk terbiasa untuk bercerita (curhat) dalam rangka prevensi dan kurasi depresi.

Beberapa lembaga dan komunitas independen melakukan banyak hal dalam rangka Indonesia yang lebih sehat secara mental, mulai dari kampanye (seperti yang dilakukan saveyourselves.id dan proud.project), fasilitas konsultasi online (seperti yang dilakukan ibunda.id, psycholearner, pijarpsikologi.com, dan aplikasi Riliv), dan sebagainya.

Selain itu, salah satu kontribusi paling mudah dalam upaya mengurangi gangguan mental di masyarakat yang adalah dengan mendengar; dengarkan keluhan dan cerita orang-orang disekitar anda dengan tidak menyalahkan mereka, lebih baik lagi jika dapat memahami. Perasaan didukung dan didengarkan dapat membantu individu mengurangi tingkat distres yang dialaminya. Bantu orang dengan gangguan mental untuk menemukan tenaga profesional jika memungkinkan.

Selain itu, di Indonesia, mulai diberlakukan penempatan psikolog sebagai tenaga kesehatan dalam pelayanan primer kesehatan masyarakat yang dalam hal ini adalah Puskesmas.

Psikolog sendiri baru diakui sebagai tenaga kesehatan masyarakat di Indonesia sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara SK Menpan No.Per/11/M.Pan/5/2008 tentang Jabatan Fungsional Psikologi Klinis dan Angka Kreditnya.

Program ini telah dirintis Pemerintah Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mulai berkembang di beberapa daerah di Indonesia.

Berdasarkan data tahun 2016, realita yang terjadi di lapangan adalah Indonesia belum memenuhi standar jumlah psikolog yang seharusnya memiliki rasio 22:100.000 penduduk. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 241 juta jiwa, Indonesia baru memiliki 365 psikolog klinis.

Di beberapa negara di Eropa, tim kesehatan mental dari fasilitas kesehatan tingkat I mendampingi dokter umum melakukan tugasnya terhadap pasien. Hal yang sama juga terjadi di Australia.

Baik Eropa maupun Australia menggunakan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dalam menghindari kesalahan umum dari motivational interviewing sebagai bentuk penanganan depresi sedang sampai berat yang biasanya ditangani psikolog yang sudah mendapat pelatihan sebagai petugas keamanan fasilitas kesehatan.

Kembali pada kasus, diharapkan baik pemerintah maupun masyarakat dapat bersinergi mengurangi angka gangguan mental di Indonesia, yang bilamana tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan kematian dengan cara seperti bunuh diri. Yang perlu selalu ditekankan adalah bahwa tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan yang utuh dan kesehatan keduanya sama pentingnya. (oni)

***

Daftar Pustaka

Global Health Observatory country views
Suicide rates, age-standardized
Facts About Mental Illness and Suicide
Hari Kesehatan Dunia 2017 Soroti Masalah Kesehatan Jiwa
Indonesia Darurat Kesehatan Mental?
Pijar Psikologi, Sediakan Layanan Konsultasi Psikologi Online
Menelusuri akar gangguan kesehatan jiwa dalam masyarakat Indonesia
Mental health: a state of well-being
Mental Health Care Delivery
Mental health Suicide data
Bunuh Diri Live di FB, Indonesia Darurat Kesehatan Mental

Wardhani, Yurika Fauzia dan Astridya Paramita. 2016.PELAYANAN KESEHATAN MENTAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN DISABILITAS DAN GAYA HIDUP MASYARAKAT INDONESIA (ANALISIS LANJUT RISKESDAS 2007 DAN 2013). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan : Vol. 19 No.1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun