Setiap tahun, umat Islam selalu menjalankan ibadah puasa, ibadah yang diwajibkan kepadanya, baik laki-laki ataupun perempuan, kecuali bagi mereka yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan beberapa ketentuan. Hadirnya bulan Ramadan berdampak siginifikan terhadap semua lini kehidupan, baik kehidupan sosial, ekonomi, dan agama.
Dari sudut sosial, pada bulan Ramadan interaksi dan toleransi serta jalinan silaturrahmi antarsesama umat Islam menjadi lebih meningkat dan terjalin dengan erat, dan begitu juga dengan pemeluk agama lain, meraka yang tidak menjalankan puasa begitu toleran dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu kehusukan orang yang sedang berpuasa, dengan tidak makan dan minum di tempat umum, karena masing-masing agama mengajarkan serta menjunjung tinggi toleransi.
Sementara di bidang ekonomi, kehadiran bulan Puasa sangat berdampak terhadap perubahan harga, terbukti dengan beberapa harga sandang dan pangan mulai naik, sehingga tidak sedikit yang memanfaatkan momentum Ramadan untuk mengambil keuntungan dalam berbisinis, sehingga budget  pada bulan Puasa meningkat dibandingkan dengan di luar bulan Puasa.Â
Adapun dari sudut agama, kehadiran bulan puasa sangat terasa, semua dimensi yang ada bernuansa religius. Selama Ramadhan sangat terasa, baik di rumah, di lingkungan, di masjid dan bahkan di televisi, apa yang ditayangkan semua berlandaskan religius.Â
Cobalah lihat, masjid, mushola dan surau jamaahnya penuh saat Ramadan, yang sebelum Ramadan jarang berjamaah shalat di masjid, saat Ramadan ringan betul melangkahkan kaki bersama anak-anak ke masjid. Ini merupakan fenomena tahunan yang selalu hadir selama bulan Ramadan berlangsung.Â
Ketiga dimensi fenomena bulan Ramadan tersebut merupakan bagian kecil dari eksistensi puasa, namun yang paling utama dalam menjalankan puasa bukan pada kualitas pakaian, dan lezatnya makanan tetapi apakah jiwa masing-masing insan yang berpuasa mampu merealisasikan nilai-nilai puasa dalam kehidupan sosial-religius sehari-harinya?
Dari semua dimensi puasa, yang paling penting dipahami adalah esensi puasa dalam memupuk kesalehan sosial-religius. Esensi  Puasa (ash-shiyam) secara dasarnya adalah al-imsak, yang artinya mengendalikan diri. Kemampuan pengendalian diri ini merupakan kunci sentral terwujudnya tatanan kehidupan yang baik dan berkualitas, baik di lingkungan keluarga, sekolah, kampus dan masyarakat.Â
Sebaliknya, kegagalan mengendalikan diri dari godaan Hawa, Nafsu, Dunia, Syaitan (HNDS), akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan. Sebagai sebuah ilustrasi: Seorang penguasa yang gagal mengendalikan dirinya, akan menyalahgunakan kekuasaannya.
Tidak heran korupsi masih marak terjadi di negeri yang mayoritas muslim ini, dan seorang pebisnis yang gagal mengendalikan diri akan melakukan berbagai cara pintas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya, meskipun merugikan orang lain dan melanggar nilai-nilai agama.Â
Begitu juga seorang remaja yang gagal mengendalikan diri dalam pergaulanmnya, akan terjebak dalam pergaulan bebas yang merusak moralitas dan masa depannya. Hadirnya bulan yang penuh berkah dan ampunan ini menjadi momen belajar dalam pengendalian diri selama puasa Ramdaan dan hendaklah dilestarikan selama dan setelah Ramadan usai.
Di samping pengendalian diri, puasa juga mengajarkan sikap kejujuran, karena saat seorang yang berpuasa sendirian di suatu tempat yang tidak ada orang lain melihat, ia sebenarnya bisa saja makan atau minum dan kemudian berpura-pura puasa kembali.Â
Tidak ada orang yang tahu. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan karena orang-orang yang berpuasa sadar akan kebersamaan Allah dalam hidupnya (ma'iyatullah). Meskipun orang lain tidak melihat, tetapi ia sadar bahwa Allah melihatnya.Â
Berbagai penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat, termasuk korupsi dan kolusi, dikarenakan tidak adanya kesadaran pelakunya bahwa Allah melihat perbuatan dan tingkah lakunya.
Sifat ini telah banyak disebutkan dalam Al-Quran. Di antaranya, firman Allah:
"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan dia bersama kamu di mana saja kamu berada, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hadid: 4)
Dimensi kejujuran dalam puasa sangat ditekankan, karena kejujuran merupakan bukti paling niscaya bahwa seseorang dalam suasana taqwa. Kejujuran juga gerbang menuju segala kebaikan, sedangkan ketidakjujuran akan membawa kepada pelbagai penyimpangan dan kejahatan.Â
Orang harus berlatih untuk jujur, sekali dua kali tiga kali dan seterusnya, sehingga ia dicatat oleh Allah sebagai pribadi yang jujur AL SHIDDIEQ. Kemudian telah ada jaminan dari Allah, bahwa orang jujur akan mujur, sedang yang tidak jujur cepat atau lambat akan hancur. Bukti empirik telah begitu banyak membenarkan korelasi ini.
Bulan Ramadan adalah bulan suci, dan bagi yang menjalankannya dengan baik akan membersihkan dirinya dari segala noda dan dosa, sebab sebulan penuh orang yang puasa menjalani proses pembersihan yang menyeluruh. Hanya dengan cara demikian puasa seseorang diterima, dan do'anya dikabulkan.
Dalam keadaan lapar dan dahaga shiyamu  Ramadan memacu insan beriman untuk lebih giat lagi melakukan aktifitas taqarrub ilallah seperti salat,  membaca Quran dan kegiatan yang bemanfaat bagi kehidupan sosial, seperti shilaturahim, infaq shadaqah, mengajarkan ilmu, memberi makanan berbuka bagi yang puasa, bahkan berjihad di jalan Allah.Â
Wajarlah sejarah mencatat di antara hasil mujahadah ramadhan berupa kemenangan gemilang di perang badar pada tahun ke-2 Hijriyah, pembebasan Makkah (fathu Makkah) pada tahun ke-6 Hijriyah, dan kemenangan perang Amoria yang meluluh lantahkan pasukan Romawi di Byzantium pada tahun 214 H pada masa Al Mu'tashim Billah. Memang semangat ramadhan adalah semangat juang untuk meraih pelbagai kemenangan.
Shiyamu ramadhan mendidik surplus spiritual dan moral, menjaga diri agar tidak terjebak pada kekerdilan jiwa dan kenihilan moral. Mendidik para shaimin untuk mengokohkan jiwanya serta melapangkan dadanya. Dengan menegaskan pada dirinya "inni shaimun" aku ini sedang puasa, ia mampu menggagalkan setiap provokasi negatif yang akan merusak hubungan sosial menjadi konflik yang menghancurkan semua pihak. Bahkan semakin surplus jiwanya insan puasa yang telah memantapkan statusnya sebagai "'ibadurrahman/hamba Allah yang Rahman" sanggup membalas hal-hal yang buruk dengan kebaikan, tarikan negatif dengan ajakan yang positif.
Jadi dari beberapa uraian di  atas, penulis menyimpulkan bahwa, nilai positif dari puasa Ramadan mencakup semua lini kehidupan manusia, baik dari aspek sosial maupun dari aspek religius (kesalhean sosial-religius), namun semua dampak positif dari  puasa dapat diperoleh, jika puasa dilakukan dengan penuh keikhlasan. Wallahua'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H