BANDUNG (12/02/24) – Kejahatan penipuan di media sosial merujuk pada berbagai praktik penipuan yang dilakukan melalui platform-platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Modus operandi penipuan ini sangat bervariasi, mulai dari iming-iming hadiah palsu, penawaran investasi yang menggiurkan, hingga kloning akun teman atau keluarga untuk meminta uang atau informasi pribadi.
Penipu sering menggunakan teknik manipulasi psikologis dan berbagai trik untuk menarik perhatian korbannya, termasuk membuat tautan palsu, memanfaatkan identitas palsu, atau mengirim pesan tekanan yang mengklaim keadaan darurat. Mereka juga sering memanfaatkan informasi pribadi yang sudah dipublikasikan secara online untuk memperkuat kesan keaslian mereka
Salah satu modus yang semakin mengkhawatirkan dan paling sering terjadi adalah penipuan melalui akun palsu yang mengatasnamakan customer service bank pada platform media sosial. Hal ini sering terjadi karena maraknya orang-orang yang menggunakan platform X untuk menghubungi call centre bank melalui akun resmi twitter.
Penipuan yang mengatasnamakan bank di Twitter adalah modus penipuan di mana penipu menciptakan akun palsu yang meniru identitas resmi sebuah bank di platform Twitter. Mereka kemudian menggunakan akun tersebut untuk menghubungi pengguna Twitter yang terlihat memiliki masalah dengan akun bank mereka atau sedang mencari bantuan layanan pelanggan.
Dalam percakapan tersebut, penipu akan meminta informasi pribadi atau rahasia dari korban, seperti nomor akun, nomor kartu, atau kata sandi, dengan alasan untuk "verifikasi" atau "bantuan". Setelah mendapatkan informasi tersebut, penipu kemudian bisa menggunakan informasi tersebut untuk melakukan pencurian identitas atau penipuan keuangan.
GA, adalah seorang mahasiswa asal Kopo yang menjadi salah satu korban penipuan tersebut. Sehari-harinya, GA sering menggunakan platform media sosial X untuk mengetahui berita dan hal yang sedang terjadi di dunia. GA jarang memiliki uang tunai sehingga ia biasanya menggunakan aplikasi m-banking (mobile banking) untuk bertransaksi.
Saat itu GA hendak berbelanja online dan harus mentransfer untuk membayarnya. Namun aplikasi m-banking miliknya tidak bisa diakses dan mengalami erorr. Hingga kemudian GA pun menggunakan platform media sosial X untuk bertanya terkait aplikasi m-banking yang error.Â
Karena biasanya, customer service yang ada di X atau Twitter lebih cepat tanggap dalam membalas pesan langsung atau DM dibandingkan menelpon aplikasi dan tidak perlu memakan pulsa. Dalam postingannya, GA memention akun resmi bank untuk bertanya perihal m-banking yang error.
Sesaat setelahnya, akun yang mengatasnamakan bank tersebut membalas postingan GA kemudian menyuruh GA untuk memulai pesan di WhatsApp. Karena akun tersebut sangat mirip dengan akun bank dan GA sudah panik karena batas pesanannya harus segera dibayar, sehingga dengan tanpa curiga GA pun menghubungi nomor yang tertera pada balasan tersebut di platform WhatsApp.
GA pun mengirimi pesan dan nomor tersebut memberikan arahan kepada GA untuk memberikan informasi pribadi untuk diverifikasi. GA pun tanpa curiga mengikuti arahan dari nomor tersebut untuk membuka m-banking, memberikannya informasi pribadi hingga membawanya untuk memasukan kode OTP (One Time Password) dan pada akhirnya nomor rekening GA pun diretas oleh penipu dengan uang senilai 1,2 juta raib begitu saja.
Barulah GA menyadari bahwa dia telah menjadi korban penipuan call center bank. Orang yang menghubunginya bukanlah staf bank, melainkan penipu yang sangat mahir dalam menyamar dan memanfaatkan teknologi untuk mencuri informasi pribadi dan uang.
GA segera melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang dan juga ke bank. Meskipun upaya diputuskan dilakukan, uang GA yang hilang tidak bisa dikembalikan sepenuhnya. Lebih dari sekadar kerugian finansial, pengalaman tersebut juga meninggalkan dampak psikologis yang mendalam pada GA, membuatnya merasa tidak aman dan waspada dalam melakukan transaksi perbankan online di masa mendatang.
Modus penipuan berupa balasan pada cuitan yang mengatasnamakan bank sudah sering terjadi di sosial media, khususnya X atau Twitter. Karena kurangnya pengetahuan tentang modus penipuan online sehingga masyarakat pun cepat mempercayai apapun yang ada di internet.
Kisah GA adalah satu dari banyaknya kasus penipuan. Penipuan call center bank menjadi ancaman nyata bagi para nasabah, karena penipu semakin canggih dalam menyusun skenario dan teknik manipulasi mereka.
Dampak dari kejahatan penipuan di media sosial bisa sangat merugikan, tidak hanya secara finansial tetapi juga emosional dan psikologis bagi para korban. Penting bagi pengguna media sosial untuk selalu waspada, memeriksa keaslian setiap tawaran atau permintaan, tidak mengungkapkan informasi pribadi yang sensitif secara terbuka, dan melaporkan kejadian mencurigakan kepada pihak berwenang atau platform media sosial yang bersangkutan.
Selain itu, edukasi tentang keamanan cyber juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat lebih cerdas dalam menghadapi ancaman online yang semakin kompleks. Pentingnya sosialisasi mengenai kejahatan cyber pada masyarakat, agar hal serupa tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang.
Karena kerugian akibat penipuan biasanya akan sulit diproses oleh pihak kepolisian dan bank karena sulitnya melacak para penipu yang mungkin saja menggunakan alamat web acak sehingga menyulitkan pihak berwenang untuk menangkap pelaku penipuan yang jumlahnya tidak sedikit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H