Seperti koin, ada dua sisi dari cancel culture, positif dan negatif. Positifnya, cancel culture membawa perubahan yang lumayan konkret.Â
Contoh, karena ada kasus KDRT oleh tokoh publik, masyarakat menjadi lebih aware akan kasus serupa, masyarakat juga bisa lebih berempati dan tidak lagi menganggap remeh kasus kekerasan domestik yang sejatinya banyak terjadi.Â
Tindak lanjutnya, pemerintah dan instansi terkait bisa lebih memperkuat undang-undang perlindungan akan korban KDRT.
Selain efek positif, ada juga efek negatifnya. Karena di-cancel, semua perilaku dan kegiatan seseorang akan dianggap sebagai sesuatu yang salah.Â
Menurut Vox, cancel culture menjadi salah satu cara untuk mengakhiri karir si pembuat skandal. Nama si pembuat skandal akan menjadi buruk di mata publik. Sederhananya, fenomena ini adalah bentuk terbaru sanksi sosial dari publik.
Banyak dari korban cancel culture beristirahat dari sosial media dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, mereka yang diboikot akan merasa dikucilkan dan terasingkan.Â
Tindakan inilah yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental, mulai dari kesepian, stress, kecemasan, depresi, hingga tingkat kemungkinan bunuh diri yang tinggi.
Selain efek negatif pada mereka yang diboikot, keluarga dan orang disekitar akan mendapatkan getahnya.Â
Walaupun tidak separah apa yang terjadi pada tokoh publik yang diboikot, kebanyakan dari mereka juga mendapatkan pandangan buruk dan mendapatkan perlakuan yang buruk. Tidak diterima di masyarakat, mendapatkan komentar kebencian di sosial media, hingga teror di lingkungan rumah.
Tampaknya, efek negatif dari cancel culture lebih banyak memberikan tekanan pada mereka yang diboikot.Â