Ada ibu rumah tangga
Keluarga muda anak dua
Ia protes pada Tuhan Nya
Kenapa kehidupannya terpuruk menderita
Mengapa, mengapa dan mengapa lainnya
Diruang tamu, diatas kursi kayu
Ibu itu duduk tanpa kata
Membelai anak belia, yang pulas di pangkuannya
Sambil pandangi gelas di meja
Berisi racun tikus berbisa
Rumah itu begitu hening
Sengaja semua pintu ditutup rapat
Dikunci dari dalam
Jendela jendala juga tidak ada yang terbuka
Suaminya sedang bekerja dari pagi
Dan anak sulung bermain di rumah temannya
Ia ambil secarik kertas dan bulpoin
Lalu menulis singkat beberapa kata
"Ayah tolong jaga anak anak kita"
"Maafkan istrimu pergi dulu"
"Anak anak maafkan ibu belum bisa jadi ibu baik"
"Semua harus nurut sama ayah, ya"
"Cincin dan kalung ibu dijual aja buat bayar hutang"
"Ayah jangan nikah lagi.!!"
Tanpa dilipat kertas itu ditaruh meja
Dan bulpoin diletakkan diatasnya
Ibu itu menghela nafas panjang
Lalu mencium kening dan pipi anaknya
Yang masih lelap tidur entah mimpi apa
-000-
Siang itu cuaca begitu panas
Pemuda penjual cilok berdiri gemetaran
Terik matahari tak ia rasakan
Keringat bercururan di sekujur tubuh kerempengnya
Basahi kaos putih bergambar 'coblos presiden'
Sudah dua bulanan ia berjualan
Pagi di pasar, siang di sebelah perempatan
Baginya ini adalah pilihan
Merintis usaha mandiri, atau mati kelaparan
Pandemi Covid yang tak berkesudahan
Membuatnya di PHK dari perusahanan
Katanya "untuk efisiensi maka harus pengurangan kariawan"
Jalan depan tempatnya berjualan
Ramai orang lalu lalang
Namun, tak banyak yang berhenti dan beli
Jam dua siang, dagangannya belum separo terjual
Jangankan laba, ini masih belum balik modal
"Cilok pakai kuah, sambalnya sedikit"
Kata gadis kecil sambil sodorkan uang dua ribuan
Dengan cekatan, pemuda itu melayaninya
Tak lupa ucapkan terimakasih berbalut senyum kasih
Sesekali ia menekan nekan perutnya
Berharap hilang rasa perih laparnya
Beberapa hari sudah berpuasa
Terkadang tanpa sahur, hanya buka saja
Lebih karena untuk penghematan, katanya
Matahari semakin menjauh ke ufuk barat
Pemuda itu menunduk gelisah
Memikirkan uang kontrakan
Bayar listrik bulanan
Belanja dapur istri esok pagi
Biaya sekolah anaknya yang besar
Juga beli susu anaknya yang kecil
"Aku tak boleh menyerah,"
"Aku harus bisa melalui ini,"
"Aku harus bekerja lebih keras lagi,"
"Demi anak istriku di rumah,"
"Demi kebahagiaan keluarga, aku harus bisa,"
"Pasti bisa, pasti bisa, pasti bisa."
Kata sanubarinya menyemangati diri
-000-
Diambang keputus asaan
Dipuncak pedih kehidupan yang ia rasakan
Gelas berisi racun sudah ditangan
"Menenggaknya bisa terlepas dari semua beban"
Pikir, ibu muda itu
Gelas mulai mendekat ke bibirnya
 Ia melirik jam dinding di tembok samping
Terlihat disebelahnya, foto anak pertama
Tesenyum renyah sambil membawa piala
"Foto anakku juara cerdas cermat"
Gumam nya
Air matanya tiba tiba meleleh
Bak lahar merapi
Hangat basahi bekuanya pipi
Sambil sesenggukan
Hatinya mulai bimbang
Tentang kehidupan, dan harapan
"Aku tak siap berpisah,"
"Dengan orang orang yang kucinta,"
Katanya gemetaran
Tangisnyapun meledak tak tertahan
"Betapa malang anakku,"
"Jika tumbuh tanpa ibu"
Ia teringat pesan mendiang bapak nya
Bahwa keluarga adalah harta paling berharga
Jaga, jangan pernah menelantarkannya
Saat engkau mulai menua
Pastilah akan merasa
Cinta itu sumber energi luar biasa
Membuatmu tegar, dan ingin terus berada
Seakan baru tersadar dari mimpi buruk
Ibu itu berdiri tegak, menghirup nafas dalam
Lalu tumpahkan gelas di halaman
Tak lupa baca ulang kata wasiatnya
 Disobeknya kecil kecil kertas itu
Dengan tawa tertahan
Dalam hati terdalam ia berkata
Terima kasih Tuhan
Telah menyadarkan, sesatnya pikiran
Aku memilih tetap hidup, dan bertahan
Melawan segala problematika kehidupan
Blitar, 15 Agustus 2021
Penulis ; Putut D (Alumni Sekolah Jurnalisme Sastrawi Kalifa Society)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H